Teguran dari Allah

"Betapa banyak nikmat Allah yang lupa saya syukuri selama ini. Sejak saat itu, saya berusaha mengerem mulut dan hati untuk tidak sedikit-sedikit mengeluh, lalu berusaha memperbanyak rasa syukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan. Hal itu membuat hati saya merasa lebih tenang dan lapang."

Oleh. Sekar Dina Fatimah
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.com-Bulan lalu, penyakit asma saya kambuh cukup parah hingga dokter memaksa saya untuk opname. Saya mengalami sesak napas ditambah sakit kepala, demam, dan batuk pilek yang membuat tubuh ini terkapar tak berdaya. Gejalanya mirip Covid, tapi alhamdulilah setelah di-swab hasilnya negatif. Saya menarik napas lega, setidaknya saya tidak perlu dirawat di ruang isolasi.

Selama saya dirawat di rumah sakit, tidak ada keluarga yang menemani. Suami harus bekerja dan juga mengurus anak kami yang masih kecil. Kami tidak punya asisten rumah tangga dan juga tinggal jauh dari sanak saudara. Saat ini kami merantau di Jember, sementara keluarga besar tinggal di Yogyakarta dan Purworejo. Jarak yang lumayan jauh, memaksa kami untuk mandiri dalam hal apa pun, termasuk ketika kami sakit.

Awal-awal opname, saya terus saja mengeluh, bahkan dalam hal sepele seperti masalah kamar. Kamar rawat inap yang saya tempati itu berisi dua pasien. Hal itu membuat saya tidak nyaman. Terlebih, pasien teman sekamar saya adalah seorang laki-laki. Sungguh membuat saya tidak bebas karena harus selalu memakai jilbab. Waktu itu kamar VIP sudah penuh semua. Jadi, mau tidak mau, saya harus dirawat di kamar kelas satu yang berisi dua pasien.

Namun, justru itu yang akhirnya membuat saya bersyukur karena setidaknya saya tidak sendirian melewati malam demi malam yang mencekam di rumah sakit. Suami tidak bisa menginap di rumah sakit karena harus menjaga anak kami yang masih kecil di rumah. Alhamdulillah, teman sekamar saya sangat sopan. Ibu dari pasien lelaki di sebelah saya itu setiap hari menemani. Ibunya ramah dan baik. Beliau sering mengajak saya ngobrol dan bercanda sehingga saya tidak merasa kesepian.

Hari ketiga, pasien sekamar saya sudah membaik dan diperbolehkan pulang. Pasien lelaki dan ibunya itu pun berpamitan, lalu tinggallah saya seorang diri. Tak lama setelah mereka keluar, masuklah pasien baru. Seorang ibu paruh baya yang menderita penyakit langka. Ia bercerita bahwa darahnya selalu saja habis sehingga membuatnya harus melakukan transfusi darah secara rutin.

Sampai sekarang belum diketahui penyakitnya apa. Ia datang dalam kondisi lemas karena kekurangan darah. Wajahnya sampai pucat pasi, mulutnya tak henti mengeluh sakit. Ia selalu muntah-muntah. Ibu itu mengatakan kalau stok darah dengan golongan darah yang sama dengannya sedang habis, padahal ia harus segera ditransfusi. Golongan darah si ibu tadi termasuk paling susah dicari di PMI karena langka. Ia memiliki golongan darah AB negatif (AB-).

Si ibu tadi mengalami lemas, pusing, demam, mual, dan muntah jika belum ditransfusi darahnya. Sungguh kasihan melihat kondisi si ibu yang semakin lama semakin lemah. Untunglah, ada sang suami yang selalu setia menjaganya. Saya melihat suaminya begitu sabar menghadapi keluhan istrinya itu. Ia tak henti-henti mengingatkan istrinya untuk beristigfar. Suasana semakin panik ketika dokter spesialisnya berkunjung ke kamar dan mengatakan jika tidak segera ditransfusi, si ibu nyawanya tidak akan tertolong.

Berhubung stok darah yang cocok dengannya tidak tersedia, maka dokter menyarankan agar si ibu tadi mau ditransfusi dengan golongan darah yang berbeda. Namun, resikonya juga sangat besar. Pasien yang menerima transfusi dari golongan darah yang berbeda akan mengalami alergi seperti gatal-gatal serta sakit di organ dalam lainnya.

Sang suami tampak bingung mengambil keputusan. Ia dilanda dilema. Satu sisi, ia ingin istrinya segera mendapatkan transfusi darah agar nyawanya bisa tertolong. Namun, di sisi lain, istrinya ngotot menolak karena takut sakitnya akan tambah parah jika menerima donor dari golongan darah yang berbeda.

Saya ikut larut dalam kepanikan mereka berdua. Apalagi, si istri terus menerus menangis dan berteriak kesakitan.

“Aku gak kuat, Yah. Aku gak kuat,” rintihnya berulang kali.

“Istigfar, Bu.” Sang suami berusaha menenangkan istrinya itu.

Rasanya pilu mendengar percakapan mereka. Ah, sakit yang saya keluhkan selama ini ternyata tidak ada apa-apanya dibanding sakitnya si ibu itu. Ia tampak begitu menderita dan tersiksa. Nyawanya tinggal di ujung tanduk. Jika sekantong darah dengan golongan darah yang sama dengannya itu tak kunjung datang, entah bagaimana nasibnya. Hanya Allah saja yang tahu.

“Selain transfusi darah, apa tidak ada cara lain, Bu? Mungkin bisa minum obat atau terapi apa gitu?” Cecarku saat itu.

Ibu tadi hanya menggeleng lemah sambil berkata, “Tidak ada cara lain lagi, Mbak. Satu-satunya cara, ya, harus transfusi darah. Saya sebenarnya sudah tidak kuat lagi. Transfusi darah itu rasanya sakit sekali, mana lama banget, sampai empat jam lamanya tiap transfusi.”

“Sakitnya sudah lama, ya, Bu?” Aku menatapnya prihatin.

“Baru setahun ini, Mbak. Saya juga heran, dari mana datangnya penyakit ini. Waktu itu saya cuma pingsan, terus katanya itu karena kekurangan darah. Entah karena apa, dokter juga tidak tahu. Tiba-tiba, darah saya bisa langsung berkurang drastis. Makanya, saya harus transfusi rutin tiap bulan,” terangnya sedih.

“Ya Allah, yang sabar, ya, Bu. Semoga lekas ada pendonor yang golongan darahnya sama dengan njenengan.”

Ibu itu mengangguk mengaminkan. Saat itu, saya hanya bisa menyabarkan dan mendoakannya. Setiap detik, setiap menit, setiap jam, kami lalui dengan harap-harap cemas. Namun, kabar dari PMI tidak kunjung datang. Hingga kemudian, saya diperbolehkan pulang oleh dokter paru, si ibu tadi masih belum juga mendapatkan donor.

Sebelum pulang, saya pamit dengan si ibu dan suaminya itu. Aura kesedihan begitu menguar memenuhi ruangan. Wajah si ibu yang kian memucat dan si bapak yang tampak makin cemas membuat hati ini menjadi sesak dan pedih.

Tak ada yang bisa saya lakukan, kecuali mendoakannya. Sepanjang perjalanan pulang, saya masih memikirkan si ibu itu, apakah bisa tertolong atau tidak. Bagaimana kalau dia tidak juga mendapatkan transfusi darah? Bayangan kematiannya sudah menari-nari di benak.

Saya terus beristigfar dalam hati. Betapa saya merasa telah mendapatkan teguran dari Allah. Saya merasa malu karena terlalu sering mengeluh selama ini. Mengeluh untuk hal-hal yang sepele, mengeluh karena penyakit asma yang sering kambuh. Sesakit-sakitnya saya selama ini, saya masih harus bersyukur karena tidak perlu melakukan transfusi darah rutin seperti ibu tadi. Setidaknya saya juga masih punya fisik yang lengkap, anggota badan yang sempurna dan tidak ada cacat.

Sementara si ibu yang menderita penyakit langka itu, ternyata juga mempunyai cacat fisik. Kakinya hanya tinggal sebelah hingga membuatnya harus memakai tongkat ke mana-mana. Sungguh berat ujian hidup yang ditanggungnya. Ujian hidup saya selama ini tidak seberapa dibanding ujian hidupnya.

Ah, ternyata saya jauh lebih beruntung dibanding si ibu tadi. Betapa banyak nikmat Allah yang lupa saya syukuri selama ini. Sejak saat itu, saya berusaha mengerem mulut dan hati untuk tidak sedikit-sedikit mengeluh, lalu berusaha memperbanyak rasa syukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan. Hal itu membuat hati saya merasa lebih tenang dan lapang.

Sungguh, nikmat dan kasih sayang Allah itu luas, tapi rasa syukur kita yang terbatas. Ternyata, bukan nikmat Allah yang kurang, tapi kita yang kurang bersyukur. Astaghfirullahal'adzim.

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat’.” (TQS. Ibrahim: 7)

Wallahu a'lam bishawab.[]


Photo : Pinterest

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Sekar Dina Fatimah Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Surga di Telapak Kaki Ibu
Next
Tak Perlu Risau dengan Prasangka
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Meri Fitriani
Meri Fitriani
2 years ago

MasyaAllah. Betapa masih alpanya kita sebagai hamba di muka bumi ini.
Terkadang baru ditegur sedikit saja, meraung-raungnya bukan main. Terima kasih Mbak Sekar telah membagikan tulisan ini.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram