Meneladani Sifat Pemaaf Nabi Muhammad saw

"Rasulullah saw. pun memerintahkan kepada kita untuk memaafkan siapa pun yang telah berlaku tidak baik kepada kita. Hatta, tidak membicarakan sikap buruk mereka ke orang lain, meskipun kita telah memaafkannya. Sebab, jika hal itu kita lakukan, justru akan mendatangkan dosa gibah pada diri kita."

Oleh. Mariyah Zawawi

NarasiPost.Com-Rasulullah saw. adalah teladan kita. Beliau adalah uswatun hasanah. Segala tingkah laku maupun ucapannya adalah wahyu. Tidak ada satu pun yang berasal dari hawa nafsu beliau. Akhlaknya terpuji. Adabnya menawan hati. Semua itu karena didikan langsung dari Ilahi.

Rasulullah senantiasa berkata baik dan jujur. Itu sebabnya beliau dijuluki Al-Amiin oleh orang-orang Quraisy. Meskipun julukan itu tidak mampu membuat orang-orang Quraisy itu otomatis menerima dakwah beliau.

Dakwah yang membuat mereka sering mengolok-olok Rasulullah dan para sahabatnya. Meski demikian, Rasulullah saw. tidak pernah membalas olok-olok mereka. Hal itu karena Rasulullah telah dididik langsung oleh Allah Swt. Dalam sebuah hadis, dari Ibnu Mas'ud ra., Rasulullah saw. bersabda,

أن الله أدبني فأحسن تأديبي ثم أمرني بمكارم الأخلاق فقال خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين

"Sesungguhnya Allah telah mendidikku, maka pendidikanku menjadi baik. Kemudian Dia telah memerintahkan diriku untuk berakhlak yang mulia. Maka, Allah berfirman, “Jadilah pemaaf dan serulah orang-orang untuk berbuat yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (QS. Al-A'raaf [7]: 199)." (HR. Abu Sa'id Ibnu as-Sam'aany, dalam Adabu al-Imlaa)

Abdullah Muhammad Ash-Shiddiq Al-Ghumary Al-Idrisy di dalam kitabnya, Al-Ahaadiits Al-Mukhtaarah fii Al-Akhlaaq wa Al-Aadaab menjelaskan, bahwa Allah Swt. telah memberikan pendidikan kepada Rasulullah. Melalui pendidikan dari Allah, Rasulullah menjadi lebih baik dari orang tua dan keluarganya. Allah yang telah mengurus beliau saat beliau dalam keadaan yatim piatu. Allah juga yang memberikan hidayah kepada beliau, sehingga beliau tidak tersesat. Hal ini telah dinyatakan oleh Allah dalam Al-Qur'an Surat Adh-Dhuha [93]: 6-8 dan Surat An-Nisaa [4]: 113.

Kemudian, beliau menjelaskan bahwa Rasulullah diperintahkan untuk menjadi orang yang pemaaf. Yakni, memberikan kemudahan kepada mereka yang berakhlak buruk kepada beliau. Di samping itu, tidak melakukan pembalasan atas keburukan mereka. Sebab, tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang tidak pernah berbuat salah.

Karena itu, Rasulullah pun memerintahkan kepada kita untuk memaafkan siapa pun yang telah berlaku tidak baik kepada kita. Hatta, tidak membicarakan sikap buruk mereka ke orang lain, meskipun kita telah memaafkannya. Sebab, jika hal itu kita lakukan, justru akan mendatangkan dosa gibah pada diri kita.

Rasulullah saw. senantiasa menahan diri dari sikap keras hati mereka yang berbuat jahat kepada beliau. Beliau justru menganjurkan kepada mereka untuk berbuat baik. Beliau sampaikan kepada mereka untuk berakhlak baik dan melakukan perbuatan yang mulia. Misalnya, menjalankan salat, bersedekah, bersabar, dan sebagainya. Bahkan, kita diperintahkan untuk mendoakan kebaikan bagi mereka. Sungguh, akhlak yang sangat mulia.
Allah juga memerintahkan kepada Rasulullah untuk berpaling dari orang-orang yang bodoh. Yakni, tidak membalas kebodohan mereka dengan kebodohan pula. Ja'far Ash-Shadiq mengatakan bahwa di dalam Al-Qur'an tidak ada ayat yang membahas tentang berbagai akhlak mulia, yang lebih lengkap dari ayat ini.

Ada satu kisah, bagaimana Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra. menahan kemarahannya setelah dibacakan ayat ini. Kisah ini terdapat dalam Sahih Bukhari. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Uyainah bin Husn menemui keponakannya yang bernama Al-Hurr bin Qais. Al-Hurr bin Qais ini termasuk orang yang dekat dengan Amirul Mukminin, Umar bin Khattab karena ilmunya. Ia termasuk salah satu anggota majelis syura. Uyainah bin Husn meminta Al-Hurr bin Qais untuk memintakan izin baginya bertemu dengan Umar bin Khattab.

Sebenarnya, Umar bin Khattab bukanlah seorang pemimpin yang sulit ditemui. Beliau sering berada di luar, dan masyarakat bisa dengan mudah menemuinya. Namun, Uyainah bin Husn ingin bertemu secara pribadi. Semacam pertemuan empat mata, sehingga tidak di depan banyak orang.

Ketika Al-Hurr bin Qais berhasil mendapatkan izin, Uyainah bin Husn pun bertemu dengan Umar bin Khattab. Al-Hurr bin Qais pun ikut dalam pertemuan tersebut. Saat itu, tanpa sopan santun, Uyainah bin Husn berkata kepada Umar bin Khattab, "Berhati-hatilah engkau, wahai anak dari Khattab! Engkau tidak memberikan kepada kami bagian yang banyak dan engkau telah berlaku tidak adil dalam menetapkan hukum di antara kami."

Mendengar hal itu, Umar bin Khattab pun marah. Ia mengangkat tangannya dan bermaksud memukul Uyainah bin Husn. Melihat hal itu, Al-Hurr bin Qais pun berkata, "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah Ta'ala telah berkata kepada Nabi-Nya saw. 'Maafkan, dan perintahkanlah kepada kebaikan, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A'raaf [7]: 199).
Sesungguhnya, orang ini (Uyainah bin Husn) termasuk orang yang bodoh." Mendengar perkataan Al-Hurr bin Qais, Umar bin Khaththab pun mengurungkan niatnya sambil berkata, "Aku adalah orang yang melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya."

Uyainah bin Husn berkata seperti itu kepada Umar bin Khattab karena ia kecewa hanya mendapatkan bagian ghanimah yang sedikit. Padahal, Rasulullah saw. memberinya bagian yang besar. Umar bin Khattab yang waktu itu menjabat sebagai khalifah menganggap Uyainah bin Husn sudah mantap keislamannya, sehingga tidak perlu diikat lagi. Sebab, saat Rasulullah saw. memberikan bagian yang besar kepada Uyainah bin Husn, tujuannya adalah mengikat hati Uyainah bin Husn yang baru masuk Islam.

Karena itu, keputusan Umar bin Khattab bukanlah sebuah ketidakadilan. Namun, Uyainah bin Husn tidak bisa menerima hal itu dan memprotesnya. Itulah sebabnya, Umar bin Khattab pun tersinggung dan marah karenanya. Namun, ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya jauh lebih besar dibandingkan rasa marahnya. Maka, ia pun mampu menahan kemarahannya itu.

Memang, tidak mudah menahan amarah serta memaafkan kesalahan orang lain. Namun, bukan berarti hal itu mustahil kita jalankan. Sebab, yang harus kita lakukan hanyalah melatih diri kita secara terus menerus agar memiliki sifat seperti itu. Jika kita mampu melakukannya, tidak ada balasan yang lebih indah selain dari surga-Nya. Rasulullah saw. bersabda,

لا تغضب ولك الجنة

"Janganlah kamu marah, maka bagimu surga." (HR. Ath-Thabrani)

Wallaahu a'lam bishshawaab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Mariyah Zawawi Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Dunia Pendidikan Suram, Generasi Terancam
Next
Anak Jadi Tumbal Pesugihan, Bukti Negara Telat Melibas Kesyirikan?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle

You cannot copy content of this page

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram