"Setan menjadi pihak ketiga yang berada di antara kedua manusia berlainan jenis yang tengah berduaan dan melancarkan aksinya menggoda mereka. Setan membisikkan hal-hal yang indah namun terlarang. Ia membuat manusia kehilangan rasa malu dan takutnya pada aturan Allah hingga begitu mudahnya berbuat maksiat."
Oleh. Deena Noor
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Ada yang mau ditemani setan? Pasti tidaklah! Yakin tidak ada yang mau dekat-dekatan dengan setan, apalagi sampai ditemani. Tapi faktanya banyak lho yang tidak merasa kalau mereka tengah ditemani setan. Dikipasin sama setan sampai terlena, tahu-tahu sudah jauh melakukan kesalahan hingga berujung penyesalan.
Sobat sekalian pasti sering mendengar perkataan: “Jangan berduaan saja, awas nanti yang ketiganya setan.”
Orang tua sering kali mengatakan hal ini kepada anak-anaknya dalam bergaul dengan lawan jenis. Maksudnya adalah supaya hati-hati jangan kelewatan dalam berteman hingga lupa aturan. Perkataan ini sesungguhnya sesuai dengan hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ahmad:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa ada mahram wanita itu, karena setan menjadi orang ketiga di antara mereka berdua.”
Berkhalwat itu artinya berduaan dengan lawan jenis tanpa disertai mahram. Hukum berkhalwat atau berduaan tersebut adalah haram. Dalilnya sudah jelas, ya. Khalwat atau berduaan ini bisa dalam dua keadaan. Pertama, bila laki-laki dan perempuan asing berduaan saja dalam satu tempat tanpa ada mahram yang menyertai. Kedua manusia lawan jenis yang tidak terikat tali pernikahan tersebut sengaja berduaan menepi dan menjauh dari keramaian agar terhindar dari pandangan orang. Merasa bebas deh melakukan apa pun.
Kedua, bila laki-laki dan perempuan yang bukan mahram berada di satu tempat yang disertai dengan keberadaan orang lain di sekitar, namun pembicaraan hanya di antara keduanya saja. Meski banyak orang, tapi keduanya asyik berbincang berdua saja tanpa melibatkan orang-orang yang berada di ruangan atau tempat yang sama tersebut. Ini seperti: “Dunia milik kita berdua, yang lain mengontrak!” Orang lain tak boleh ikut campur.
Kedua keadaan tersebut bisa menimbulkan fitnah yang berbahaya. Kenapa? Pertama, hal itu merupakan perilaku mendekati zina. Berduaan dengan yang bukan mahramnya adalah suatu bentuk perilaku mendekati zina yang terlarang. Allah telah tegas melarang perbuatan zina dan segala hal yang mendekatkan padanya, seperti yang disebutkan dalam surah Al-Isra’ ayat 32: “Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya ia adalah perbuatan keji dan merupakan jalan yang buruk.”
Kedua, ada setan yang menemani aktivitas berduaan tadi. Setan menjadi pihak ketiga yang berada di antara kedua manusia berlainan jenis yang tengah berduaan dan melancarkan aksinya menggoda mereka. Setan membisikkan hal-hal yang indah namun terlarang. Ia membuat manusia kehilangan rasa malu dan takutnya pada aturan Allah hingga begitu mudahnya berbuat maksiat.
Ketiga, ada suatu potensi manusia yang rentan terbangkitkan bila terpapar oleh rangsangan dari luar pada keadaan tersebut. Rangsangan atau pemicu dari luar ini sangat buruk. Dalam artian, pemicu tersebut malah menyebabkan bermacam masalah berikutnya.
Ditambah lagi cara menyalurkan potensi tersebut juga salah kaprah. Bukannya menjadikan ketenangan dan kebahagiaan, malah justru menimbulkan kegelisahan yang terus menuntut untuk dipenuhi bagaimana pun caranya. Alih-alih ia tersalurkan dengan baik, yang ada beragam persoalan dan kerusakan semakin menjadi.
Potensi manusia yang dibicarakan tersebut adalah naluri-naluri, yang salah satunya adalah naluri melestarikan keturunan. Rasa suka, cinta dan perhatian pada lawan jenis merupakan salah satu bentuk penampakan dari naluri melestarikan keturunan (ghorizah an-nau’). Rasa ini muncul karena adanya dorongan dari luar. Melihat sosok yang rupawan, kepribadian yang menawan, tutur katanya yang sopan, kepintarannya yang tak diragukan hingga kebersamaan yang menjadi kebiasaan bisa menumbuhkan benih-benih cinta.
Sesuai dengan namanya, penciptaan naluri ini bertujuan untuk melestarikan keturunan. Gharizah nau’ ini dipenuhi dalam rangka menggapai rida Allah dalam bingkai pernikahan yang diharapkan darinya bisa menghasilkan keturunan yang saleh/salehah. Pemenuhan naluri bukan sekadar untuk memuaskan hasrat belaka, melainkan mendapatkan ketenteraman darinya sesuai dengan perintah Allah.
Sayangnya, dengan suasana kehidupan yang penuh dengan nuansa liberalisme sekuler, naluri tersebut dibangkitkan dan diarahkan untuk tujuan yang salah. Ini tidak terlepas dari pandangan mendasar tentang kehidupan yang dianut. Pemikiran yang menjauhkan agama dari kehidupan telah membawa manusia pada perilaku serba bebas. Termasuk dalam memandang hubungan laki-laki dengan perempuan. Pandangan yang mendominasi dalam sistem ini bersifat seksual semata atau sebatas hubungan biologis antara kedua manusia yang berlawanan jenis.
Dalam kehidupan yang sekuler liberal, diciptakan beragam fakta terindera dan pemikiran yang mengundang fantasi seksual untuk membangkitkan naluri. Hal ini adalah suatu keharusan agar hubungan laki-laki dan perempuan bisa terwujud dan keduanya mendapatkan ketenangan melalui pemenuhan naluri tersebut. Jadi, naluri sengaja dibangkitkan agar bisa dipuaskan bagaimana pun caranya. Ngeri, ya?
Seperti itulah cara kerja kehidupan yang serba bebas dan jauh dari aturan Tuhan. Hanya sebatas memuaskan nafsu belaka. Maka, tak heran bila pornografi dan pornoaksi tumbuh subur di alam sekularisme liberalisme. Berbagai tayangan porno terpampang di televisi. Media sosial dipenuhi dengan konten-konten porno yang merusak akal dan akhlak. Teknologi yang makin canggih membawa serta sarana perusak moral manusia. Kejahatan dan pelecehan seksual terjadi di mana-mana tanpa bisa dibendung apalagi diberantas.
Hari ini kita lihat banyak muda-mudi berpacaran tanpa malu-malu. Mereka bertindak seolah pasangan suami-istri yang sah. Perbuatan melanggar batas norma sosial dan agama tak bisa dielakkan. Zina, pergaulan bebas dan menyimpang, hamil di luar nikah hingga aborsi terus terjadi.
Berbeda halnya Islam yang memandang hubungan laki-laki dan perempuan dengan pandangan yang khas. Yakni, sebuah pandangan yang bertujuan untuk mencapai rida Allah semata. Naluri diarahkan untuk memenuhi tujuan dari penciptaannya, yaitu melestarikan keturunan. Bukan untuk menikmati kesenangan semata, tetapi untuk membangun rumah tangga yang bertanggung jawab kepada Allah ta’ala.
Segala hal yang bisa membangkitkan naluri ini harus dihindarkan agar tak tersalurkan dengan cara yang salah. Tak ada yang namanya pacaran, berduaan ke mana-mana tak jelas juntrungannya atau TTM-an alias ‘teman tapi mesra’. Menggunakan istilah ta’aruf demi membuat pacaran terkesan syar’i. Ini sesuatu yang salah kaprah parah. Ta’aruf bertujuan untuk menikah, bukan menjadi kedok untuk menghalalkan pacaran yang diharamkan.
Dengan kata lain, rasa cinta yang muncul terhadap lawan jenis disalurkan dalam bentuk membangun mahligai pernikahan dan melahirkan anak. Jadi, kalau memang mau dan segalanya sudah siap, maka jangan berlama-lama. Segerakan niat baik melengkapi separuh agama demi Allah semata. Bukan karena takut dibilang jomlo, apalagi tak laku-laku.
Bila belum ada kemampuan dan kesiapan menuju jenjang pernikahan, maka jangan sekali-kali mencoba bermain dengan perasaan. Salah-salah diri sendiri yang terlibat masalah. Bila hati mulai dilanda resah dan gelisah akibat perasaan cinta, maka segera alihkan pada hal-hal lain yang bermanfaat. Perbanyak membaca, mengaji, ikut kajian, atau beres-beres rumah juga boleh, tuh.
Islam menjaga ketat pergaulan antara lelaki dengan perempuan. Tujuannya bukan melarang sama sekali, namun untuk mengatur agar interaksi yang terjadi tidak menimbulkan kemudaratan. Dalam pergaulan, Islam melarang adanya ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan), berkhalwat, tabarruj dan berhias di depan laki-laki asing (bukan mahram) bagi wanita. Islam juga melarang memandang lawan jenis dengan pandangan penuh syahwat, melainkan senantiasa menundukkan pandangan. Itu semua untuk mencegah munculnya nafsu seksual yang bila tak diatur dengan baik, bisa menimbulkan kerusakan.
Meski dibatasi, Islam tetap membolehkan adanya interaksi lawan jenis dalam rangka tolong menolong untuk kebaikan. Dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan perdagangan serta yang lainnya, tetap ada interaksi antara laki-laki dan perempuan guna memenuhi maslahat sesuai aturan syara’ yang telah ditetapkan. Interaksi tersebut seperlunya saja dilakukan. Bila telah selesai urusan, maka harus segera pergi meninggalkannya dan kembali pada tempat masing-masing.
Nah, jadi begitulah. Kita tetap boleh kok berbicara dengan teman pria selama memang ada keperluannya. Bertemunya pun juga tak berduaan saja, tapi bisa mengajak teman perempuan kita untuk menemani. Bila tak ada yang menemani dan kondisinya benar-benar darurat, misalnya kecelakaan di jalan, maka tentu ada pengecualian. Pokoknya selama keperluannya mendesak dan bukan yang dibuat-buat, masih diperbolehkan dan tidak diperlama-lama atau dicari-cari celahnya. Hati-hati! Setan itu selalu siap sedia untuk menggelincirkan kaki kita.
Lalu, bagaimana dengan obrolan lewat medsos? Hukumnya sama seperti kita berbicara dengan lawan jenis di dunia nyata. Tetap harus menjaga aturan dalam pergaulan. Bicara seperlunya, tak perlu bermanis-manja, mendayu-dayu hingga menumbuhkan rasa-rasa yang tak biasa.
Meskipun di dunia maya, hukum syara’ terkait pergaulan dengan lawan jenis tetap berlaku. Bukan berarti mengobrol lewat WA atau DM bisa bebas semaunya. Keperluannya apa, tunaikan, lalu akhiri. Sudah selesai. Tak perlu bertanya hal-hal yang tak ada sangkut paut dengan urusannya tadi.
Jadi, jangan berduaan dengan lawan jenis ya! Sebab di situ ada setan yang menjadi pihak ketiga yang sukanya menggoda dan menjerumuskan manusia. Mau di dunia nyata atau di dunia maya, tetap selalu waspada dan jaga etika. Setan itu pintar dan licik memainkan siasat agar manusia terbujuk mengikutinya. Bila sudah teperdaya olehnya, maka bersiaplah menemui kesengsaraan di ujung cerita.
Boleh berduaan bila kamu sudah sah menjadi pasangan halal. Mau apa pun dipersilakan asal tetap sesuai aturan syara’. InsyaaAllah yang demikian itu bahagianya hakiki dan berpahala. Tapi jika belum halal, maka jangan coba-coba bermain api dengan melanggar batas syariat. Maka, sudah pasti akan terbakar dengan panasnya dosa dan penyesalan tiada bertepi. Wallaahu a'lam bish-shawwab.[]