"Rumah tangga memang penuh dengan ujian. Akan tetapi, seorang mukmin harusnya menjadikan syariat sebagai tolak ukur dalam menata rumah tangga, termasuk dalam menata cemburu. "
Oleh: Novida Sari, S.Kom.
NarasiPost.Com-Tidak ada satu pun zat yang lebih pencemburu dibandingkan dengan Allah Swt., karena (kecemburuan) ini, Allah Swt. mengharamkan segala perkara yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi dan tidak ada satu pun zat yang lebih suka dipuji daripada Allah Swt. (HR. Imam Al Bukhari dan Imam Muslim melalui hadits Sulaiman Ibnu Mahran Al A’Masy dari Abi Wail, dari Abdullah Bin Mas’ud)
Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan bahwa cemburu ataupun ghirah merupakan bentukan dari perubahan hati yang disebabkan karena persekutuan ataupun penyejajaran di dalam hal-hal yang khusus (ikhtishas). Misalkan sepasang suami istri yang saling mencintai, hingga suatu ketika suami melihat istrinya dekat dan bermesraan dengan laki-laki lain. Kemesraan di sini harusnya menjadi ikhtishas atau sesuatu yang dikhususkan bagi suami. Akan tetapi, si istri menyejajarkan hal ini dengan orang lain. Sehingga, suami yang tadinya rida berubah menjadi ghadab atau marah. Kecintaan istri yang tadinya bersifat ikhtishas, akhirnya disejajarkannya dengan laki-laki lain. Maka, ini merupakan cemburu yang sesuai dengan hukum syara’.
Cemburu yang Disukai dan Dibenci Allah Swt.
Ada dua karakter cemburu di sisi Allah Swt. Karakter pertama, cemburu yang dipuja dan dicintai oleh Allah Swt. Cemburu jenis ini apabila berada dalam kondisi roibah (keraguan). Roibah maksudnya berdasarkan realitas, bukanlah hal yang mengada-ada. Sedangkan karakter yang kedua merupakan cemburu yang Allah Swt. murka, yakni cemburu yang tanpa dilandasi keraguan. Langsung menuding tanpa fakta bahkan jauh dari realitas. Meskipun tidak ada ungkapan kata cemburu, namun kata-kata ataupun sikap yang ditunjukkan menunjukkan kecurigaan yang penuh selidik, sinis, bahkan marah, meskipun yang dicemburui tidak melakukan hal yang dituduhkan.
Mencemburui pasangan adalah sesuatu yang melelahkan. Meskipun demikian, ternyata cemburu adalah salah satu cara untuk menjaga pernikahan. Sebagaimana sahabat Nabi Muhammad saw. yang bernama Sa’ad Bin Ubadah dari golongan Anshar. Sa’ad berkata di hadapan para sahabat lain, sedangkan Nabi saw. ada di tengah-tengah mereka, “Seandainya aku menyaksikan istriku bersama laki-laki lain, niscaya akan kutebas laki-laki itu dengan pedang”.
Sa’ad memang sahabat yang pencemburu, bahkan ia tidak mau menikah kecuali hanya dengan gadis. Ia juga tidak akan tenang ataupun rela melihat istrinya bersama laki-laki lain. Kemudian Rasulullah saw. bersabda seraya menasihati sahabat lain, “Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa’ad? Demi Allah, aku lebih cemburu dari dia dan Allah Swt. lebih dari aku.”
Maksud Nabi saw. lebih cemburu dari Sa’ad, bahwa Nabi saw. tidak rida jika ada umatnya yang melanggar aturan syariat agamanya, termasuk seorang perempuan dengan laki-laki yang bukan mahram. Demikian juga Allah Swt. tidak rida jika umat manusia tidak memosisikan Allah Swt. sebagai pencipta dan pengatur. Sehingga Allah Swt. cemburu apabila manusia tidak mau terikat dengan aturan yang telah diciptakannya.
Di zaman serba sekuler yakni memisahkan agama dari kehidupan, banyak sekali ditemukan laki-laki dan perempuan bukan mahram yang berkhalwat. Terkadang karena satu arah tempat kerja, perempuan banyak yang tanpa malu untuk menumpang naik kendaraan orang yang dikenalnya. Banyak yang menawarkan diri untuk ‘nebeng’ demi memudahkan mobilitasnya. Padahal, berkhalwat dengan yang bukan mahram adalah perkara yang dibenci oleh Allah Swt. Sehingga, yang dapat mencegahnya hanyalah kecemburuan suami.
Atau tatkala istri tenggelam dengan aplikasi yang menunjukkan sisi keindahan dan kemolekan tubuhnya, sampai larut pada tarian/joged demi konten di sosial media. Maka kecemburuan suamilah yang dapat menyelamatkannya. Meskipun berdalih kebebasan berekspresi, akan tetapi suami yang memahami hakikat bahwa perempuan dalam hal ini adalah istrinya merupakan perhiasan dunia yang harus dijaga. Dia tidak akan membiarkan istrinya ikut berekspresi yang kebablasan. Meskipun, hal tersebut telah menjadi tren bahkan lifestyle di tengah-tengah masyarakat. Sebab, suami paham bahwa kecantikan istri tidak untuk diumbar, ia telah tepat menempatkan ranah ikhtishas (kekhususan) tadi. Sehingga, cemburunya suami bersifat melindungi sebagaimana harusnya pernikahan yang melindungi antara satu dengan yang lain.
Sementara, cemburu yang dimurkai oleh Allah Swt. ketika salah satu dari suami istri mengekspresikan cemburu tanpa keraguan. Suami mencari-cari kesalahan istri berdasarkan buruk sangka (su’udzon), padahal istrinya tidak melakukan perkara yang dicurigai. Tidak menjadikan pasangan sebagai sahabat. Sehingga cemburu jenis ini merupakan cemburu yang merusak pernikahan. Padahal, Allah Swt. telah berfirman di dalam surat Al Hujurat [18] ayat ke 12 yang menyatakan bahwa Allah Swt. telah memerintahkan agar menjauhi prasangka. Apalagi terhadap pasangan hidup, yang seharusnya dipergauli dengan muasyaroh bil makruf (bersahabat dengan baik), bahkan haram hukumnya su’udzon kepada pasangan apabila pasangan itu memiliki pribadi yang baik, tidak seperti yang disangkakan.
Cemburu yang dimurkai Allah dapat menyerang keluarga muslim apabila tidak memiliki pemahaman agama. Sehingga, tidak paham bagaimana membatasi batasan prasangka. Kemudian kebiasaan berprasangka buruk kepada orang lain, bisa jadi karena tidak terbayang ada orang yang baik baginya. Mungkin karena ia sering ditipu oleh orang lain. Kemudian prasangka buruk dapat juga terjadi karena banyak bergaul dengan orang fasik sehingga menganggap semua orang sama. Cemburu juga dapat terjadi karena berkurangnya tawakal pada Allah Swt.
Rumah tangga memang penuh dengan ujian. Akan tetapi, seorang mukmin harusnya menjadikan syariat sebagai tolak ukur dalam menata rumah tangga, termasuk dalam menata cemburu. Sehingga, cemburu yang dimiliki adalah cemburu yang diberkahi oleh Allah Swt. dan yang menyelamatkan pernikahan. Wallahu a’lam[]