"Sungguh akal dan logika berpikir kita adalah ciptaan Allah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban!Janganlah menggunakan akal kita yang terbatas ini untuk melawan Tuhan! Akal digunakan untuk memahami syariat Allah, mencari solusi demi kemaslahatan umat manusia."
Oleh: Ana Nazahah
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pernah tidak kamu berhadapan dengan orang, yang setiap mengambil keputusan, selalu menjadikan logika sebagai timbangan? Setiap bertemu masalah, logika berpikir selalu menjadi acuan. Baik dan benar semua ditentukan oleh akal. Misalnya, dalam menentukan baik dan buruk, sering kita mendapati sahabat yang kadang berpikir dengan cara pandang yang keliru. Katanya, "Menurut aku nggak apa-apa menjunjung demokrasi, nggak apa-apa jika belum sempurna beragama. Selama masih salat, masih beriman pada Allah, itu cukup."
Cukup di sini, maksudnya adalah tidak berlebihan dalam agama. Menurut logika, berlebihan dalam agama justru merusak keseimbangan pemahaman yang biasa dilakoni masyarakat. Karena kita memiliki aturan negara, adat, dan budaya. Jika menambah dengan keterikatan agama, maka harus diselaraskan dengan aturan lainnya agar terjadi keseimbangan dan hidup pun dinamis karenanya. Itu menurut mereka.
Entah dari mana asal argumen ini. Yang jelas, penulis yakin argumen ini adalah sesuatu yang dekat dan sering kita dengar dalam keseharian kita. Bahwa timbangan dalam beragama selalu dikaitkan dengan logika berpikir oleh mayoritas masyarakat kita. Masalahnya, sebagai muslim kita wajib menimbang segala masalah dengan syariat Allah. Selain, fakta bahwa problem kehidupan yang kompleks yang kita hadapi saat ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengandalkan logika. Dimana Islam menetapkan timbangan sebuah perbuatan benar dan salah wajib menurut syariat-Nya saja.
Baca juga di :https://narasipost.com/2021/09/04/menikmati-segala-rasa/
Hal ini karena akal manusia terbatas. Tak mampu menjangkau apa-apa di luar kesanggupannya. Baik dan buruk di mata manusia, belum tentu benar di mata syariat, yakni di mata Tuhan kita. Misalnya, terkait aturan potong tangan bagi si pencuri. Sepintas akal akan mengatakan itu zalim. Seperti kaum liberal yang antisyariat berpendapat, "Itu sadis, melanggar hak asasi manusia." Ini contoh berpikir yang keliru menafsirkan syariat Islam yang sejatinya memiliki sifat menjaga. Baik menjaga maruah, harta, maupun nyawa. Islam lebih terdepan dalam hal ini.
Islam menetapkan aturan tegas bagi pelaku kejahatan mencuri. Pemimpin dalam Islam akan mengawal kebijakan tersebut dalam rangka perlindungan atas umat manusia. Untuk melindungi harta dan melindungi martabat manusia. Hukum yang tegas akan berefek jera sehingga melindungi (menghalangi) si pelaku untuk mengulang hal yang sama. Dan melindungi (menjaga) orang lain agar tidak melakukan kesalahan yang sama.
Selain itu, hukuman di dalam Islam juga bermakna memelihara. Yang artinya, setiap keputusan hukum tidak diberikan begitu saja. Islam mewajibkan pemimpin bertanggung jawab memberikan keamanan dan menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat. Pun dalam mengedukasi umat terkait perannya sebagai hamba, dalam menaati perintah Rabb. Tidak menzalimi diri maupun sesama.
Seandainya manusia mampu mencerna lebih baik setiap keputusan yang Allah tetapkan atas manusia, tentunya manusia akan mendapati bahwa setiap syariat yang Allah berikan adalah demi kemaslahatan kita bersama, baik sebagai hamba, maupun sebagai jemaah manusia. Hukuman tegas yang kita dapatkan di dunia, itu akan lebih ringan jika dibandingkan balasan siksa atas perbuatan jahat manusia di akhirat kelak. Karenanya, kita tidak akan mengatakan bahwa hukum Islam itu zalim, jika kita benar-benar paham bahwa setiap putusan hukum justru memberikan kehidupan, baik bagi si pelaku maupun bagi seluruh umat manusia.
Begitulah Islam, keagungan syariat-Nya tak selamanya mampu diejawantahkan oleh akal sebagai satu-satunya tumpuan dalam keputusan. Muslim membutuhkan pola pikir yang dibangun berdasarkan iman untuk paham. Keyakinan akan mendorong muslim untuk berserah diri pada sesuatu yang batinnya yakini itu benar. Karena hanya iman yang mampu mematahkan neraca logika yang selalu merasa benar. Iman akan menjadikan pribadi bertakwa berserah diri pada aturan terbaik yang diputuskan oleh Sang Pemilik nyawa seluruh makhluk di jagad raya. Tanpa sedikitpun keraguan. Karena iman sendiri implementasinya tercermin dalam sikap berserah diri kepada setiap putusan Tuhan.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, "Kebenaran itu datang dari Tuhanmu. Dan janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang ragu terhadap kebenaran itu." (Al-Baqarah: 147).
Di ayat di atas Allah memerintahkan kita agar tidak pernah ragu akan kebenaran dari syariat Islam. Mempertanyakan hukum-hukum Allah, dan menukarnya dengan aturan buatan akal adalah sikap jahiliyah terdahulu yang suka memperolok-olok Ajaran Allah dan Rasul-Nya. Akan terasa lucu bin aneh jika yang melakukannya adalah pribadi muslim. Mempertanyakan hukum Allah dan terang-terangan menolak syariat Islam diterapkan dalam kehidupan, adalah sikap jahil yang sangat memalukan.
Baca juga di :https://narasipost.com/2021/09/12/mensyukuri-nikmat-sehat/
Pun menuduh syariat Islam menganiaya, menindas, dan melanggar HAM. Sungguh sikap ini adalah bentuk penistaan atas ajaran Islam yang mulia. Lucu sekali jika yang melakukannya adalah dari kalangan muslim sendiri. Khususnya bagi yang meragukan kebenaran Islam karena logikanya tak sampai pada kesimpulan pembenaran. Mereka hanya mengaku muslim, tetapi berpola pikir kafir yang memusuhi Islam.
Maka, janganlah begitu! Sungguh akal dan logika berpikir kita adalah ciptaan Allah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban!Janganlah menggunakan akal kita yang terbatas ini untuk melawan Tuhan! Akal digunakan untuk memahami syariat Allah, mencari solusi demi kemaslahatan umat manusia. Bukan malah digunakan untuk menentang Allah dan merasa paling pintar karenanya. Seharusnya kita malu, karena kita telah melakukan kebodohan yang nyata.
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An-Nisa: 59).
Wallahu'alam..[]