“Dan (dia berkata): “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepadamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanya dari Allah dan tidaklah aku akan mengusir orang-orang yang telah beriman"
(Al-Qur’an surah Hud ayat 29 )
Oleh: Deena Noor
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Mengemban dakwah adalah amal yang dilakukan oleh para utusan Allah. Ia merupakan jalan yang dulu ditempuh oleh para nabi dan rasul, yakni suatu aktivitas dalam rangka menyampaikan kebenaran yang datang dari Allah.
Dakwah merupakan amanah mulia yang kemudian diwariskan kepada umat Islam. Setelah para nabi dan rasul wafat, dakwah terus berjalan dengan dilanjutkan oleh umat terbaik ini. Merekalah yang meneruskan langkah di jalan yang bertabur onak duri demi menegakkan kalimat Allah. Meskipun begitu, mereka berusaha tetap istikamah di tengah berbagai halangan dan rintangan yang menghadang kapan saja.
Dakwah adalah perjuangan yang menuntut adanya pengorbanan. Dakwah di masa dulu dan masa kini, sama-sama membutuhkan pengembannya untuk siap berkorban. Siap berjuang, siap memberikan semua atau kehilangan segalanya demi tercapai cita-cita agung yang diidamkan.
Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Nabi Ismail ‘alaihissalam yang begitu luar biasa menjadi sumber inspirasi dan hikmah bagi siapa saja yang berada di jalan perjuangan. Betapa tingginya pengorbanan seorang ayah yang meninggalkan istri tercinta dengan putranya yang masih bayi demi memenuhi perintah Rabb-nya. Ketika sang putra telah beranjak besar, Allah memberikan perintah kepada Ibrahim untuk mengorbankannya. Lagi-lagi, sang nabi mematuhinya. Begitu pula sang putra, Ismail, dengan segenap jiwa menerima perintah Allah.
Para nabi dan rasul yang mulia telah menorehkan kisah penuh hikmah yang memberi teladan bagi para pengemban dakwah masa kini. Hari ini bisa kita saksikan para pengemban dakwah yang berlomba-lomba menginfakkan hartanya di jalan dakwah. Mereka mencurahkan tenaga, waktu dan pikiran dalam dakwah meski tahu tak ada keuntungan materi yang didapatkan.
Di lain waktu, kita temui seorang pengemban dakwah yang begitu tekun dan sabar mengajarkan Al-Qur’an kepada masyarakat yang belum paham dengan tanpa bayaran apa pun. Ada pula kisah pejuang dakwah yang rela kehilangan pekerjaannya karena tak rela imannya digadaikan dengan segepok gaji bulanan dan fasilitas nyaman.
Ada pejuang syariah yang tak gentar meski diancam dengan persekusi dan penjara bila terus menyiarkan pentingnya penegakan Khilafah. Ada juga pengemban dakwah yang bertahun-tahun mendekam dalam penjara yang dingin dan kotor karena menyerukan kebenaran syariat Allah. Ada juga pejuang dakwah yang telah sekian lama tak diketahui keberadaannya akibat ‘dihilangkan’ secara paksa oleh rezim zalim.
Bukan hanya pengorbanan harta, waktu, tenaga dan keluarga, tetapi juga nyawa siap ditunaikan kapan pun dibutuhkan. Meninggalkan negeri dan keluarga, dicaci dan dihina, difitnah, ditimpa berbagai kesulitan hidup, kehilangan harta benda, diancam dengan bermacam siksaan hingga dibunuh. Begitu adanya pengorbanan yang diminta dari pejuang agama Allah.
Pengorbanan semacam itu tak akan mungkin bisa dijalani bila tak ada satu kekuatan besar yang mendorongnya. Sebuah keyakinan yang dilandasi keikhlasan, tanpa mengharap imbalan dari sesama manusia. Meletakkan Sang Khalik sebagai tujuan.
Ada mereka yang tersembunyi tanpa diketahui sosoknya, namun kiprahnya dalam dakwah begitu luar biasa. Mereka tak membutuhkan sorotan lampu kamera atau media supaya dikenal publik. Mereka berkarya untuk kepentingan dakwah tanpa memedulikan adanya pengakuan atau penghargaan apa pun. Mereka terus bekerja untuk dakwah ilallah. Ikhlas lillahi ta’ala.
Keikhlasan bagi para pengemban dakwah dalam melaksanakan amanah dakwah adalah sesuatu yang tak boleh dipisahkan. Dengan keikhlasan, setiap apa yang terjadi dalam hidupnya tak memengaruhi langkah dakwahnya. Ia tak merasa rugi telah memberikan waktunya berjam-jam, bahkan berhari-hari untuk menyelesaikan tugas dakwahnya. Ia tak kecewa bila ajakan dakwahnya tak ditanggapi dengan baik. Ia tak merasa kehilangan bila hartanya diinfakkan untuk bermacam agenda dakwah. Ia tahu Allah yang akan menggantikan semua yang hilang sementara waktu darinya dengan balasan yang lebih baik.
Keikhlasan sudah seharusnya menjadi bagian dari seorang pengemban dakwah sejati. Sebagaimana dulu para nabi dan Rasul-Nya menjalani hari-hari menyerukan tauhidullah di bumi. Bukan karena ingin mendapatkan apresiasi dari manusia atau tujuan duniawi, melainkan karena Allah yang memerintahkan. Allah yang akan ‘menggaji’ para pengemban dakwah-Nya. Begitulah kiranya yang disampaikan oleh Nabi Nuh ‘alaihissalam kepada kaumnya sebagaimana yang tercatat dalam Al-Qur’an surah Hud ayat 29:
“Dan (dia berkata): “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepadamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanya dari Allah dan tidaklah aku akan mengusir orang-orang yang telah beriman…”
Pengemban dakwah yang beramal mengikuti amal para nabi dan rasul, sudah sepatutnya meneladani keikhlasan yang mereka tunjukkan. Tiada berdakwah untuk mencari pangkat dan kedudukan. Tiada sudi dakwahnya ditukar dengan harta benda yang melimpah. Tiada rela seruannya untuk menegakkan hukum Allah dikompromikan dengan kekuasaan. Tiadalah rida manusia menjadi tujuan. Begitulah pula Nabi Muhammad saw. yang berkata bahwa tidaklah beliau meminta upah dari manusia dalam berdakwah, sebagaimana yang tertulis dalam Al-Qur’an surah Al-An’am ayat 90: “… Katakanlah, “Tidaklah aku meminta upah kepada kalian dalam menyampaikan Al-Qur’an ini …”
Ikhlas adalah bila amal yang kita lakukan hanya ditujukan untuk Allah semata, tiada yang lain. Hanya Allah yang diharapkan balasan-Nya dari setiap amalan yang dikerjakan. Tiadalah amal itu untuk mencari persetujuan, penghargaan, perlindungan, atau bayaran apa pun dari makhluk-Nya. Murni amal itu dipersembahkan untuk Allah Swt. semata.
Ujian para pengemban dakwah bukan hanya berupa kesulitan, namun juga hal-hal yang menyenangkan. Tawaran harta yang melimpah, cinta yang memabukkan, jabatan yang menggiurkan, nama terpandang di hadapan manusia, dan bermacam keindahan duniawi siap melenakan. Semua itu untuk membelokkan dari dakwah, bahkan supaya aktivitas mulia ini ditinggalkan.
Tanpa keikhlasan menyertai, dakwah akan terasa berat. Hati akan terus tertawan dengan gemerlap dunia. Bila dakwah dilakukan untuk mendapat restu manusia atau dunia, maka sungguh sia-sia. Bukan hanya amalan tersebut menjadi hangus, tetapi mendatangkan dosa.
Ikhlas dalam ketaatan berarti meninggalkan sikap riya’. Beramal dengan riya’ hanya akan menjerumuskan pelakunya kepada kehinaan dan kehancuran. Bila amalan yang dikerjakan adalah untuk tujuan duniawi tertentu, maka itulah riya’.
Meski seolah tulus, namun hati manusia tiada yang tahu. Mulut bisa saja berucap ikhlas tanpa pamrih, tapi di sanubari terdalam ternyata ada setitik riya’ tersembunyi. Diam-diam terbersit keinginan untuk dilihat dan dipuji atas amalnya.
Riya’ yang menghiasi amalan menjadi syirik kecil yang berbahaya. Laksana semut hitam yang merayap di batu hitam di kala malam, riya’ seperti tak nampak oleh mata. Meskipun amat samar, namun jejaknya ada. Riya’ itu begitu halus dan samar, bahkan tanpa disadari oleh manusia. Hati tak mampu mengenalinya, hingga berpikir amalan aman adanya. Tahu-tahu, ia telah musnah dan tersisa dosa baginya.
Hendaklah para pengemban dakwah menggenggam ikhlas di hatinya dan menyingkirkan riya’ sejauh mungkin dari aktivitas dakwahnya. Aktivitas mulia yang mengikuti amal para nabi dan rasul ini haruslah dilakukan dengan hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan. Sebab, Allah hanya menerima amalan yang ditujukan untuk-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan Abu Dawud: “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal, kecuali amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan dilakukan karena mengharap rida Allah.”
Jalan dakwah ini sungguh tak mudah. Bila bukan karena Allah, pastilah akan sangat gampang menyerah. Bila tak memegang teguh janji-Nya, pastilah kalah. Bila tak ikhlas, pastilah susah, lemah dan goyah hingga mundur dari dakwah. Na'udzubillah.
Wallahu a’lam bish-shawwab.[]