"Tujuan menikah bukan hanya untuk melestarikan keturunan hidup manusia, melainkan juga diraihnya rida Allah Swt. Adanya rasa tenteram dan kasih sayang merupakan buah dari pernikahan yang diberkahi dan diridai oleh-Nya."
Oleh: Maman El Hakiem
NarasiPost.Com-وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Ruum:21)
Sepucuk surat undangan pernikahan selalu dihiasi ayat Allah Swt. dengan maksud bahwa pernikahan adalah aktivitas atau amal yang diizinkan oleh-Nya. Setiap perbuatan apa pun sudah seharusnya bersandarkan pada dalil, yakni berupa hukum yang diberikan Allah Swt. yang termaktub dalam kalamullah dan sunah.
Permasalahannya, pencantuman dalil pada surat undangan harusnya bukan sekadar pengingat akan hukum syariat, melainkan pula nasihat untuk dipahami dan diamalkan. Jangan sampai ayat suci tersebut hanya dijadikan aksesoris dengan mengabaikan nilai yang terkandung dalam makna ayat tersebut. Tidak jarang proses pernikahan kenyataannya melanggar tuntunan syariat. Ritual pernikahan yang telah membudaya seperti pra-wedding tentu menyalahi syariat, sebab mereka berinteraksi bahkan bersentuhan ketika berfoto. Perbuatan ini jelas menuju pada aktivitas maksiat. Begitu pun pada saat akad nikah dan walimah, banyak terjadi pelanggaran syariat seperti ikhtilat atau campur baurnya aktivitas lawan jenis. Padahal, titik krusial keberkahan pernikahan adalah pada sahnya dan terjaganya nilai-nilai hukum syariat Islam, bukan pada resepsi yang justru menabrak syariat pernikahan.
Makna ayat Allah Swt. di pembuka tulisan ini, jika disimak lebih dalam menyangkut tujuan dari pernikahan. Tujuan menikah bukan hanya untuk melestarikan keturunan hidup manusia, melainkan juga diraihnya rida Allah Swt. Adanya rasa tenteram dan kasih sayang merupakan buah dari pernikahan yang diberkahi dan diridai oleh-Nya. Di sini perlu ditegaskan bahwa hanya pernikahan yang didasarkan pada hukum syariat Islam yang akan mampu menggapai makna kebahagiaan yang hakiki. Kebahagiaan yang diwujudkan dengan terlaksananya hukum Allah Swt. di dalam kehidupan rumah tangga.
Harus disadari bahwa berumah tangga merupakan miniatur kehidupan itu sendiri. Saat manusia menemukan jodohnya, ia sebenarnya baru akan menaiki sebuah bahtera menuju lautan yang penuh dengan ujian, berupa ombak dan badai yang akan mengokohkan kuatnya niat dan arah tujuan hidup manusia dalam mengarungi samudra rumah tangga. Perkara niat ini sangat penting, bahkan nilai kualitas tujuan seseorang tergantung niatnya, seperti ucapan Ibnu Abbas, ra. : “Seseorang diberi sesuai kualitas niatnya.” Dikutip Imam An-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya At- Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an.
Memperbaiki niat sebelum menemukan jodoh adalah langkah awal menuju pernikahan yang diberkahi Allah Swt. Niat ini tentu harus diiringi dengan aktivitas amal salehnya. Jika kualitas niat ini tidak terjaga dengan baik, sama seperti halnya seorang nahkoda yang masih bingung memilih arah. Sekalipun jodoh itu sudah diatur oleh Allah Swt., namun jika masih melalaikan petunjuk-Nya, pasti pernikahannya bukan dalam rangka beribadah, melainkan sekadar pemenuhan gharizah atau naluri syahwat dengan melalaikan hukum syariah.
Pernikahan bukan sekadar bertemunya jodoh, melainkan menjalani hukum syariat Allah Swt. itu sendiri yang akan mendatangkan rasa tenteram. Mereka yang mendapatkan kelezatan karena syahwatnya terpenuhi, namun tidak mengindahkan hukum syariat pernikahan di awal, maka tidak akan pernah tenteram hatinya sebab dosa ikhtilat, ritual/adat pernikahan yang tidak sesuai syariat Islam, atau bersolek (tabaruj) bagi mempelai wanita, akan selalu membuatnya merasa gelisah.
Masing-masing kita telah dituliskan pasangan hidup kita (jodoh) di kitab lauhul mahfuz milik Allah Azza wa Jalla. Maka jangan merasa gusar jika belum bertemu jodoh. Kita tidak perlu terjebak pada perkara yang justru membuka pintu kemaksiatan, seperti pacaran dan berinteraksi dengan lawan jenis yang bukan mahram, seperti berkhalwat sekalipun di tempat umum. Mereka yang mendapatkan jodohnya dalam jalan kemaksiatan tidak akan pernah bertukar dengan mereka yang taat menjaga kehormatan dirinya. "… Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).” (QS. An-Nuur: 26)
Jika jodoh yang didapatkan tidak sesuai dengan apa yang “diimpikan”, boleh jadi karena masih salah dalam menilai jodoh yang telah disiapkan Allah Swt. Jodoh itu memang unik, sering kali yang dikejar-kejar malah menjauh, yang tidak sengaja berjumpa, malah mendekat. Yang seakan sudah pasti, malah menjadi ragu, yang awalnya diragukan, menjadi pasti. Yang selalu diimpikan tak berujung pernikahan. Justru yang datang kemudian, malah yang jadi bersanding di pelaminan. Jodoh itu rahasia Allah Swt., namun kriterianya dapat dipilih. Acuannya tentu bukan hanya pada fisiknya saja, melainkan bagaimana seseorang memahami agamanya dengan benar. Karena kunci kebahagiaan dalam rumah tangga tidak lain karena adanya perasaan bahagia secara fisik (sakinah), juga mawaddah dan rahmah, yaitu nilai ruhaniyah berupa cinta dan kasih sayang yang ditanam dan dipupuk saat sama-sama menjalani ketaatan kepada hukum Allah Swt.
Ketakwaan individu yang berkumpul dalam ikatan pernikahan yang sesuai syariat akan membentuk keluarga ideologis yang menjadikan dakwah sebagai poros kehidupan rumah tangga dan kehidupan sosial masyarakatnya. Oleh karena itu, negara wajib menerapkan syariat Islam secara kafah agar urusan jodoh dapat diatur sesuai dengan syariat Islam. Negara bahkan memfasilitasi serta memberikan pelayanan birokrasi (pernikahan) kepada rakyatnya secara mudah dan murah. Tidak seperti sistem kapitalisme saat ini, urusan pernikahan terkesan ribet, belum lagi dengan biaya pernikahan yang terbilang mahal. Semoga syariat Islam segera terwujud agar muda-mudi dapat menyempurnakan separuh agamanya dengan mudah dan syar'i. Wallahu’alam bish Shawwab.[]