Sesungguhnya Allah Azza wa jalla memberikan dunia kepada orang yang dicintai dan kepada yang tidak dicintai, namun tidak memberikan agama kecuali kepada orang yang dicintai-Nya. Maka, barangsiapa yang Allah berikan agama, berarti Allah mencintainya.” (HR. Ahmad)
Oleh: Deena Noor
( Kontributor Tetap NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-“Witing tresno jalaran soko kulino” adalah ungkapan dalam bahasa Jawa yang memiliki arti “Cinta tumbuh karena terbiasa.”
Witing berarti permulaan, tresno artinya cinta, jalaran adalah karena atau sebab, soko berarti dari, dan kulino artinya terbiasa.
Ada juga yang memelesetkan menjadi “Witing tresno jalaran ora ono sing liyo,” yang berarti “Cinta tumbuh karena tidak ada yang lainnya.” Pertemuan yang menjadi lantaran cinta hanya dengan orang yang itu-itu saja. Mungkin bisa dibilang sebagai cinlok alias cinta lokasi.
Memang benar, cinta bisa muncul dikarenakan sering bertemu, bersama, berinteraksi, menjalani waktu demi waktu dalam ruang yang sama. Entah karena terpaksa, kewajiban, sukarela, atau sekadar mengisi hari tanpa tujuan tertentu di awalnya. Bermula dari iseng dan tak sengaja, tak menargetkan apa pun, muncullah rasa terbiasa dan akhirnya suka.
Bukan hanya pada manusia atau makhluk hidup lainnya, seperti hewan peliharaan, tetapi rasa cinta juga bisa tumbuh pada suatu aktivitas atau pekerjaan yang dilakukan. Berawal dari paksaan karena ada kewajiban yang ditanggungkan, bila dijalani terus-menerus akan menjadikannya sebagai kebiasaan, kemudian akan merasa ada yang kurang bila sesuatu itu tiada. Tak lengkap hidup bila tanpa kehadirannya. Apalagi jika sesuatu itu akhirnya disadari sebagai hal yang penting dan amat dibutuhkan dalam kehidupannya.
Orang-orang di masa dulu banyak yang menikah melalui perjodohan dari orang tua. Mereka tidak saling mengenal satu sama lain. Jangankan kenal, berjumpa sebelumnya pun tidak pernah. Mereka baru bertemu pada saat lamaran atau bahkan saat pernikahan dilangsungkan. Meski begitu, pernikahan mereka bisa langgeng hingga maut memisahkan. Walau ada juga yang kemudian berpisah di jalan masing-masing.
Poinnya adalah dua insan berbeda yang tidak saling mengenal bisa merajut benang-benang kasih tanpa melalui prosesi berpacaran, sebagaimana dalih aktivis pacaran pra nikah. Asal punya komitmen bersama, setiap hari bisa dijalani dengan cinta. Meski canggung di awal, lama-lama rasa akan tumbuh dan berkembang karena disiram dengan curahan perhatian dan dipupuk kasih sayang.
Dengan tujuan yang satu, dua orang asing yang dipersatukan dalam ikatan pernikahan suci akan belajar saling memberi dan menerima. Segala kekurangan pasangan diterima sepaket dengan kelebihan yang dimiliki. Melewati hari demi hari dengan berbagai rintangan, ujian dan cobaan kehidupan, cinta pada pasangan akan terus bertumbuh, disadari atau tidak.
Melihatnya berpeluh mencari nafkah demi keluarga di rumah, mampu menghadirkan rasa hormat dan penghargaan akan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Melihatnya kepayahan di masa kehamilan, melahirkan dan mengasuh anak-anak, hingga kehilangan waktu tidur dan kecantikan masa mudanya, akan menumbuhkembangkan rasa syukur atas cintanya yang tak menuntut. Dua manusia yang saling berkomitmen menjalin ikatan untuk meraih mimpi, visi dan misi bersama.
Dalam biduk yang sama, suami menjadi nahkoda yang memimpin lajunya kapal, mengarahkan ke jalur sesuai dengan tujuan yang telah disepakati bersama. Sedangkan sang istri memberi dukungan, semangat, tenaga, dan apa pun yang bisa membantu kapal yang dinahkodai suami bisa terus melaju. Keduanya sama-sama memiliki peranan penting. Saling mengisi dan melengkapi.
Mencintai pasangan dan menjadikannya sebagai belahan jiwa yang tanpanya, diri tak utuh. Pasangan yang senantiasa bersama bukan hanya fisik semata, tetapi benar-benar ‘ada’ di kala apa pun. Melewati suka dan duka bersama dengan tetap mengingat komitmen yang dibangun akan menempa cinta menjadi semakin tangguh. Terlebih lagi bila rasa itu dilandaskan cinta pada Sang Maha Kuasa, menjadikan kekasih halal kita sebagai partner dalam dakwah.
Dakwah adalah kewajiban muslim, suatu kewajiban yang dirasa banyak orang sebagai sesuatu yang berat. Wajar memang, dikarenakan dunia kapitalis telah merasuk ke seluruh persendian kehidupan. Urat nadi yang mengalir di dalam tubuh telah tercelup dalam kubangan nilai-nilai sekuleris. Itu semua menjadi tantangan dakwah yang mampu membuat seorang muslim memilih mundur dari jalan ini.
Meski berat, bukan berarti tak bisa. Semua bisa, asalkan mau melakukannya. Alah bisa karena terbiasa. Dengan terbiasa melakukan hal sulit, manusia akan belajar menemukan cara untuk menaklukannya. Bila gagal, maka ia akan belajar dengan menemukan cara yang lain. Bila salah, maka ia akan belajar agar kesalahan yang sama tak terulang lagi dan mendapatkan hasil yang lebih baik dari sebelumnya.
Dakwah yang terasa berat, mungkin karena kita merasa sendiri. Bila demikian, maka carilah teman-teman yang mampu mengiringi dan memberi kekuatan. Bergabunglah dengan jama’ah dakwah yang akan saling memberi motivasi dan tolong-menolong.
Merasa tak mampu berdakwah, mungkin karena kita belum punya ilmunya. Bila demikian, maka jangan lantas mundur, teruslah belajar, raup ilmu dari para guru dan mereka yang berilmu. Asal mau, pasti ada jalan untukmu. Bekali diri dengan ilmu agar dimampukan untuk berkontribusi dalam dakwah tersebut.
Dakwah terasa seperti beban. Dakwah memang sebuah kewajiban. Paksakan saja, lama-lama akan terbiasa hingga menjadi sebuah kebutuhan. Bila sudah begitu, maka akan terasa nikmat menjalaninya. Beban atau tidak, sebenarnya bisa dikelola. Dengan mengingat bahwa ini kewajiban dari Allah, yang ganjarannya luar biasa, insyaallah semua beban akan terasa ringan. Dunia tak membebani, sebab akhirat adalah sebenarnya tujuan pasti.
Bila takut berdakwah karena mendapatkan ancaman, mintalah kepada-Nya agar diberi kekuatan dan pertolongan. Sebab, hanya Dia sebaik-baik pemberi pertolongan. Ketakutan sesungguhnya adalah bila Allah murka. Dengan menunaikan kewajiban dakwah ilallah, sesungguhnya kita tengah berupaya menghindari dari ketakutan yang maha dahsyat kelak di akhirat nanti, yakni azab neraka. Kekuatan dan kelemahan yang dimiliki adalah dari-Nya, mintalah agar ditempatkan semestinya, sehingga bisa membawa kebaikan pada dakwah.
Dakwah yang awalnya terasa asing, berat, sulit, membebani dan perasaan-perasaan negatif lainnya, seiring berjalannya waktu menjadi kebiasaan hingga kebutuhan dan kecintaan. Kuncinya adalah pada kemauan yang dilandasi kesadaran akan statusnya di dunia. Maukah membiasakan diri dalam aktivitas dakwah atau melewatkannya begitu saja? Maukah menumbuhkan rasa cinta pada dakwah yang memberikan kebaikan, tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak?
Hidup memiliki banyak pilihan, mencintai atau dicintai, meninggalkan atau ditinggalkan. Jika mencintai kebaikan, maka Allah akan mudahkan jalan untuk menempuhnya. Jika hamba mencintai-Nya, maka Dia pun akan lebih mencintainya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Sesungguhnya Allah Azza wa jalla memberikan dunia kepada orang yang dicintai dan kepada yang tidak dicintai, namun tidak memberikan agama kecuali kepada orang yang dicintai-Nya. Maka, barangsiapa yang Allah berikan agama, berarti Allah mencintainya.” (HR. Ahmad)
Wallahu a’lam bish-shawwab[]