Kala tubuh lemah dan tak berdaya, barulah tersadar nikmat tubuh yang sehat dan segar-bugar. Andai dulu lebih menjaga, maka sakit mungkin tak menyapa. Andai dulu lebih menata, mungkin pekerjaan bisa terselesaikan. Kini hanya bisa berandai-andai dalam kesakitan di atas pembaringan. Begitulah, penyesalan memang selalu terlambat.
Oleh: Deena Noor
NarasiPost.Com-Betapa banyak hal yang tidak kita hargai dalam hidup ini. Apa yang di hadapan mata seolah tak berarti. Masih saja mencari-cari, padahal telah banyak yang dimiliki. Melihat kebahagiaan dan kepunyaan orang lain timbul iri di hati. Seakan tak ingat bahwa rezeki telah banyak melimpahi diri.
Rezeki yang Allah berikan kepada manusia, begitu banyaknya hingga tak mampu kita menghitungnya. Di antara nikmat Allah tersebut, ada nikmat sehat dan waktu luang yang ternyata sering kali membuat manusia tertipu olehnya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang.” (HR. Bukhari no. 6412, dari Ibnu Abbas)
Sehat dan waktu senggang adalah nikmat yang bisa menipu manusia. Tersebab manusia sendirilah yang tak waspada. Merasa seolah tubuh sehat dan waktu akan di sisi selamanya. Padahal, sakit bisa terjadi kapan saja. Waktu bisa berhenti setiap saat, bahkan tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Dua nikmat yang sering kali membuat manusia teperdaya. Kala sehat dan waktu yang dipunya, akan muncul rasa malas yang menggoda. Menunda-nunda pekerjaan karena mengira masih banyak waktu tersedia. Menganggap fisik berstamina akan mampu mengerjakan semuanya dalam jangka lama. Padahal, siapa yang bisa menjaminnya?
Kemudian datanglah berbagai kesibukan dunia yang tiada habisnya, hingga banyak urusan tak selesai pada waktunya. Pekerjaan terbengkalai, kewajiban pun tak sempat dilakukannya. Pikiran dan tubuh terbebani oleh banyaknya hal yang harus ditanggung dalam waktu yang bersamaan. Sampai akhirnya sakit menghampiri diri dan membuatnya tak sanggup melakukan apa-apa.
Kenikmatan yang luar biasa, namun sayang, justru membuat manusia lalai dan terlena. Alih-alih menjadi makin taat, manusia malah bermalas-malasan, sombong, bahkan mengingkari nikmat-Nya.
Cobalah diingat, untuk apa saja tubuh sehat kita dipakai. Sudahkah sehat itu disyukuri dengan melakukan hal-hal yang Allah ridai? Sudahkah nikmat kesehatan itu dijaga atau justru malah tak peduli dan dipakai untuk menzalimi?
Begitu pula nikmat waktu senggang yang kita punya. Untuk apa sajakah waktu 24 jam sehari yang kita punya? Sudahkah kita bersibuk dengan amalan dan kebaikan, atau justru berleha-leha? Atau malah kita tersibukkan oleh dunia yang tiada habisnya?
Kala tubuh lemah dan tak berdaya, barulah tersadar nikmat tubuh yang sehat dan segar-bugar. Andai dulu lebih menjaga, maka sakit mungkin tak menyapa. Andai dulu lebih menata, mungkin pekerjaan bisa terselesaikan. Kini hanya bisa berandai-andai dalam kesakitan di atas pembaringan. Begitulah, penyesalan memang selalu terlambat.
Ketika waktu masih dimiliki, tak dimanfaatkan untuk produktif dalam kebaikan, tapi malah disia-siakan. Ia pun terlewat begitu saja tanpa ada tambahan amal yang terkumpulkan. Sering kali sang waktu bergulir dihiasi hal-hal yang unfaedah. Yang lebih parah lagi adalah menggunakan waktu untuk merancang keburukan dan melakukan kemaksiatan. Naudzubillah.
Nikmat sehat hendaknya dipakai dalam ketaatan. Waktu senggang manfaatkan untuk kebaikan. Menyibukkan diri dalam ketakwaan. Bukankah seperti itu yang Dia perintahkan?
Adakalanya niat baik telah ditetapkan, namun diri dalam kondisi yang tak memungkinkan. Sehat tak bersama badan. Waktu terasa sempit dan berkejaran. Amalan pun urung dilakukan.
Adakalanya tubuh sehat dan bugar, namun waktu enggan beriringan. Di lain waktu, kesempatan terbuka lebar, sayang tubuh dalam kondisi lemah dan kesakitan. Aktivitas terpaksa harus menyesuaikan keadaan.
Sakit adalah ketetapannya, namun kita diwajibkan untuk berikhtiar menjaga kesehatan. Bila kita telah melaksanakannya dan tetap sakit, maka wajib bersabar dan mencari penyembuhan. Adapun kewajiban lainnya, tetap dilakukan sesuai dengan kesanggupan. Allah telah memberi kemudahan dan keringanan. Dia juga tak menguji hamba di luar batas kemampuan.
Nikmat baru terasa setelah ia tiada. Sayangnya, kebanyakan dari manusia terlambat menyadarinya. Bersyukur bila kita masih diberi kesempatan untuk merasakan kembali nikmat Allah Ta’ala. Menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya adalah cara terbaik mensyukuri semua nikmat-Nya yang luar biasa.
Sungguh beruntung kala sehat dan waktu kita miliki. Dengannya kita bisa melakukan banyak kebaikan. Bukan hanya sibuk dengan urusan duniawi, tetapi lebih-lebih untuk tujuan ukhrawi nanti.
Kembalilah mengingat hakikat dunia. Sesungguhnya ia menjadi ladang untuk mencari bekal akhirat yang kekal selamanya. Dunia yang fana ini adalah jembatan menuju tempat akhir yang sesungguhnya, di sana. Selama nyawa masih dikandung badan, berikanlah amalan terbaik sebagai hamba bertakwa.
Wallahu a’lam bish-shawwab