"Tulisan adalah lisan yang terindra, bisa menjadi bukti atau saksi atas adanya hasil pemikiran, sementara lisan itu sendiri adalah lafal yang mudah terlupakan."
Oleh : maman El Hakim
NarasiPost.Com-Kaidah ushul fikih mengatakan:
الأَصْلُ فِي اْلأَفْعَالِ التَّقَيُّدُ بِحُكْمِ اللهِ
“Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum Allâh.”
Mengenai kaidah tersebut, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Kitab As-Syakhsiyah Al-Islamiyah Juz 3, memberikan pemahaman, bahwa perbuatan seseorang (mukallaf) itu harus berdasarkan hukum syariat Islam. Hukum syariat yang didefinisikan sebagai seruan dari pembuat hukum itu sendiri, yaitu Allah Swt. terhadap hamba-Nya, berupa perintah atau larangan yang berkaitan dengan amal atau perbuatan manusia di dunia.
Menulis adalah aktifitas atau perbuatan yang secara lahir (nyata) terlihat fisiknya berupa tulisan. Apa yag dituliskan tidak lain buah dari olah pemikiran yang diungkapkan dengan perasaannya. Sebagaimana ungkapan secara lisan, tulisan pun adalah ekspresi atas apa yang ada dalam pikiran yang kelak Allah Swt. akan meminta pertanggugjawabannya.
Tulisan adalah lisan yang terindra, bisa menjadi bukti atau saksi atas adanya hasil pemikiran, sementara lisan itu sendiri adalah lafal yang mudah terlupakan. Sekalipun tulisan itu sendiri hakikatnya adalah pengganti lisan, namun pengaruhnya bisa diwariskan sebagai amal jariah. Maka, tidak mengherankan para alim ulama atau cendekia sangat kental dengan tradisi literasi atau kepenulisan.
Para ulama sangat idetik dengan karya-karya keilmuannya yang ditulis, tidak mengherankan ilmu mereka diturunkan secara bersanad melalui kitab-kitab yang diajarkan atau disampaikan kepada muridnya. Karya tulis harusnya menjadi karakter keulamaan seseorang agar mendapat keberkahan ilmu. Dalam kitab “Ta’lim al Muta’alim thariq at Ta’alum” karya Burhan al-Din al-Islam al-Zarnuji biasa dikenal dengan Syekh Az-Zarnuji, kehadiran kitab dan guru menjadi syarat keberkahan ilmu, tanpa keduanya ilmu tidak mencapai sasarannya.
Menulis adalah aktifitas keilmuan yang tidak bisa berjalan sendiri jika ingin mendapatkan pahala sanadnya. Karena itu, penting untuk belajar menulis dengan benar dan dibimbing oleh seorang mentor (guru) dalam kajian atau majelis ilmu yang bersanad. Menuliskan ilmu yang didapatkan dari kajian dalam sebuah halaqah atau taklim sangat berguna agar ilmu itu tidak mudah lepas dari ingatan. Menulis adalah salah satu cara mengikat ilmu.
Aktifitas menuliskan kembali ilmu yang diperolehnya, membuka peluang mengalirnya pahala amal jariah dari ilmu yang bermanfaat. Amal perbuatan yang pahalanya akan terus mengalir sekalipun orang yang menuliskannya tersebut telah meninggal dunia. Kitab-kitab klasik yang dikaji di pesantren dan buku-buku keislaman yang banyak diajarkan di madrasah merupakan amal jariah yang pahalanya tidak akan terhenti, asalkan kitabnya tersebut masih digunakan dan mampu memberikan nilai kebaikan atau kemaslahatan bagi umat.
Musuh yang paling ditakuti setiap peradaban manusia, terlebih sistem kehidupan sekularisme adalah lahirnya para penulis ideologis yang menyampaikan kebenaran Islam melalui media yang ada pada zamannya. Baik itu berupa lembaran kertas atau laman digital dunia maya. Kehadiran buku-buku yang menjadi inspirasi perubahan dan pencerahan sangat dirindukan umat untuk berani melawan atas segala kejumudan berpikir dan sikap kezaliman penguasa.
Di sini kita harus cerdas dalam literasi agar tidak terjebak dengan karya-karya tulis yang justru akan menjerumuskan umat pada perbuatan yang diharamkan. Kaidah mengatakan hukum sesuatu yang menjadi perantara keharaman, maka dihukumi haram. Untuk itu, agar tulisanmu sampai di surga harus mencerminkan syarat amalan atau perbuatan yang menjadi karakter ahli surga, seperti seruan dakwah untuk menegakkan hukum Allah Swt. di muka bumi, bukan seruan pada perbuatan yang menjadikan manusia menghamba pada hukum buatannya sendiri yang jelas diharamkan.
Dakwah sejatinya adalah seruan yang bisa diungkapkan dengan tulisan, bagi penulis itu adalah peluang amal jariah yang pahalanya akan mengalir sampai di surga, asalkan ia menyerukan kebenaran Islam. Firman Allah Swt. : "Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga) dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam)." (QS. Yunus: 25)
Wallahu’alam bish Shawwab.[]