"Ada urusan apa aku dengan dunia? Indahnya hanya fatamorgana, bahagianya hanya sementara, semakin kukejar semakin aku sengsara, semakin kureguk semakin aku dahaga, semua terasa nyata namun sebenarnya rapuh laksana kaca."
Oleh. Bedoon Essem
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.com-Dunia, yang aku tahu memang tempat untuk berusaha dalam memenuhi kebutuhan kehidupan duniawi, dari harta, wanita, tahta, hingga toyota. Dunia begitu menggoda, sampai-sampai aku lupa, dunia juga sebuah ladang untuk mengumpulkan bekal menuju kampung akhirat. Begitu menggiurkannya rayuan dunia, sampai-sampai manusia lupa diri sebagaimana Rasulullah bersabda dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Muttafaqun ‘alaih, yaitu Imam Bukhari no. 6439 dan Imam Muslim no. 1048, "Seandainya anak Adam mempunyai satu lembah emas, niscaya ia mendambakan dua lembah lainnya dan hal tersebut sama sekali tidak akan merasa puas, selain debu yang menyumpal mulutnya setelah mati dan Allah adalah Maha Penerima tobat bagi hamba-Nya yang mau bertobat."
Maka, aku pun membuka dan mulai membaca sebuah buku, di dalamnya terdapat sebuah hadis riwayat Imam Ibnu Majah dari Al-Mustaurid yang menjelaskan kedudukan dunia dengan akhirat, "Perumpamaan dunia dan akhirat dapat diukur dengan seorang hamba yang mencelupkan jari tangannya ke dalam lautan. Lihatlah kepada banyaknya tetesan air yang menetas dari jarinya itu, maka itulah keadaan dunia."
Kembali kutersentak laksana pertama kalinya mendapati hadis ini. Betapa bodohnya aku selama ini, yang telah menghabiskan hari-hariku demi setetes air di tengah luasnya samudera, yang telah menyia-nyiakan waktuku untuk secuil kenikmatan dan melupakan kenikmatan sejati yang telah menanti orang-orang yang beriman dan sabar dalam godaan gemerlap dunia.
Kubuka kembali lembaran buku itu, hingga sampailah pada sebuah kisah mulia dalam hadis yang juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, telah bercerita Usman bin Affan, "Suatu saat di tengah hari, aku telah melihat Zaid bin Tsabit yang keluar dari istana Marwan. Maka saya bertanya-tanya di dalam hati, apakah gerangan yang ia lakukan pada saat seperti ini? Aku meyakini, ada sesuatu yang penting yang dibawanya," Usman pun mendekati Zaid dan kemudian bertanya, "Ada hal penting apakah wahai Zaid?" Maka Zaid pun menjawab, "Aku membawa sesuatu yang aku langsung mendengarnya dari Nabi saw." Kembali Usman bertanya, "Apa yang beliau saw. sabdakan kepadamu?" Jawab Zaid, "Rasul telah bersabda, 'Siapa saja yang menjadikan dunia sebagai tujuan akhir hidupnya, maka Allah akan pisahkan ia dengan yang paling didambakannya itu, kemudian Allah akan menjadikan hidup yang diliputi kefakiran yang terus membayang di kedua matanya. Padahal, Allah pasti akan memberikan dunia kepada setiap hamba sesuai dengan ketetapan-Nya. Akan tetapi, siapa saja yang menjadikan akhirat sebagai tujuan akhir hidupnya, maka Allah akan mencukupi apa pun yang dia butuhkan di dunia. Bahkan lebih dari itu, Allah akan membuat hatinya kaya raya, dunia akan datang melayaninya, meskipun ia enggan."
Tak hanya itu, aku pun kembali menemukan satu hadis yang lain yang semakin membuatku bergetar, Rasulullah saw. bersabda dalam hadis Imam Ibnu Majah dari sahabat mulia Abdullah bin Mas'ud, beliau mengungkapkan, "Siapa saja yang menjadikan akhirat sebagai satu-satunya ambisinya, maka Allah pasti akan mencukupi kebutuhan dunianya. Akan tetapi siapa saja yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, maka Allah tidak akan mempedulikannya dengan apa yang diinginkannya, sementara Ia terus menuju kehancurannya sendiri."
Masih diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dari sahabat Abu Hurairah, dalam satu hadis qudsi Allah SWT berfirman, "Wahai anak Adam, jika kalian mencurahkan segala ibadah kalian hanya karena menginginkan rida-Ku, niscaya Aku akan penuhi hatimu dengan kekayaan, juga akan Kututup kefakiranmu. Namun jika tidak demikian, niscaya akan Kupenuhi hatimu dengan segala kesibukan dan juga tidak akan Aku tutupi kafakiranmu."
Sungguh hadis-hadis di atas benar-benar telah memberikan beberapa nasihat yang dahsyat kepadaku juga pada semua hamba,
Pertama, semakin kusadari bahwa dunia begitu tak berharga jika dibandingkan dengan akhirat. Sebagaimana Allah firmankan dalam ayat 77 surat An-Nisa, "Katakanlah, bahwa sejatinya kehidupan dunia itu nilainya sangatlah kecil. Sementara akhirat jauh lebih baik bagi mereka yang bertakwa."
Kedua, hendaklah jangan menjadikan dunia sebagai tujuan akhir, karena sejatinya dunia hanyalah tempat persinggahan yang tak lama, sedang pemberhentian akhir adalah akhirat. Ini pun telah Allah kabarkan pada ayat 77 surat Al-Qashash, "Dan carilah nilai akhirat yang telah Allah kabarkan dalam kehidupanmu, nan jangan pula kau lupakan dunia. Berperilaku baiklah di dunia sebagaimana Allah pun telah berbuat baik kepadamu."
Ketiga, bahwa Allah akan mencukupi segala kebutuhan hidup orang-orang yang menjadikan akhirat sebagai tujuannya, dunia akan mendatangi dan melayaninya, sebagaimana digambarkan oleh Nabi saw., bahwa seandainya ia enggan menerima pun, kenikmatan itu akan tetap datang melingkupinya. Adakah yang enggan? Ada, dan Rasulullah mengatakan karena orang yang beriman itu hatinya telah kaya sehingga merasa cukup dengan dunia.
Kemudian aku pun membuka kitab Riyadushalihin karya Imam An-Nawawi, beliau mengutip salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, bahwa ternyata manusia ada empat kategori dalam menyikapi urusan dunia.
Pertama, manusia yang tidak hanya diberikan kecukupan harta, namun juga ilmu pengetahuan yang luas, ia menjalankan perintah Allah untuk selalu menjadi orang yang bertakwa serta menjalin silaturahmi, sebab ia menyadari ada kewajiban yang harus ia tunaikan, baik yang menyangkut hak Allah, manusia, juga dirinya sendiri. Inilah kategori manusia yang mempunyai kedudukan tinggi.
Kedua, manusia yang dianugerahi ilmu pengetahuan, namun tak memiliki harta untuk mencukupi hidupnya. Akan tetapi dia mempunyai niat yang baik untuk menafkahkan hartanya sebagaimana orang yang mampu dan karena niat baiknya inilah ia pun akan mendapatkan pahala seperti orang yang menyedekahkan hartanya.
Ketiga, manusia yang diberikan harta, tapi tak mempunyai ilmu, lalu ia menggunakan hartanya tanpa dilandasi ilmu, menghalalkan segala cara, serta tak memikirkan akibat dari apa yang ia lakukan, juga memutus silaturahmi. Maka ini adalah kategori manusia yang terburuk derajatnya.
Keempat, manusia yang tak mempunyai harta juga ilmu pengetahuan, lalu ia ingin dan berniat "sekiranya aku diberi harta seperti orang lain, maka aku akan menjadi seperti orang itu dan ia akan mendapatkan dosa dari niat yang tidak dilandasi oleh ilmu tersebut."
Di manakah posisiku? Sering aku merasa semua kulakukan untuk bekal akhirat, namun ternyata aku tenggelam di dalamnya, bahkan tak jarang aku lebih berat urusan dunia daripada urusan ketaatan. Kadang aku masih hitung-hitungan jika melakukan amalan, adakah keuntungan bagiku? Adakah manfaat materi yang kudapatkan? Ternyata aku sering membohongi diri sendiri bahwa ini untuk bekal menuju akhirat, padahal jalan yang kutempuh salah dan seringnya melanggar aturan Allah.
Ad-dunya mazra’at al-akhirah, dunia adalah ladang akhirat, mengapa aku melupakan perumpamaan ini? Mengapa kujadikan ladang ini sebagai tujuan akhir? Mengapa kucurahkan semua energiku untuk menggenggamnya, padahal semua akan aku tinggalkan? Ooh… Urusan apa aku dengan dunia? Indahnya hanya fatamorgana, bahagianya hanya sementara, semakin kukejar semakin aku sengsara, semakin kureguk semakin aku dahaga, semua terasa nyata namun sebenarnya rapuh laksana kaca. Wallahu a'lam.[]
Photo : Pinterest