Menjadi ibu yang totalitas atau menjadi baik saat lingkungan terus membuatnya sakit hati adalah gila. Tetap jujur padahal semua temannya berdusta adalah gila
Oleh. Ika misfat Isdiana
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Belakangan ini banyak postingan yang menggunakan tagline "Orang gila mana?" Netizen pun banyak yang latah memostingnya. Tentunya dengan rumus ATM (amati, tiru, dan modifikasi). Akhirnya menjamurlah postingan dengan tagline tersebut menurut berbagai versi.
Misalkan, orang gila mana yang gaji pas-pasan tapi suka nambah cicilan? Orang gila mana yang tetap baik padahal selalu diremehkan? Orang gila mana yang sakit tapi masih nyuapin yang sehat? Dan masih banyak lagi. Intinya, dari tagline itu ada pesan morel yang ingin disampaikan bahwa banyak hal yang dianggap gila tapi tetap dilakukan. Gila dalam artian tidak bisa dipercaya, karena hampir mustahil ada yang mau melakukan.
Sebagai contoh, orang gila mana yang saat sakit mau nyuapin yang sehat. Dan parodi situasinya adalah sosok ibu yang siaga dua belas. Apa pun kondisinya, sesakit apa pun badannya, selama masih bisa melangkah, ia tetap menyuapi anaknya, merapikan rumahnya, bersih-bersih, masak, dll. Tidak ada gaji yang dia dapat tapi dia bisa se-expert itu melakukan perannya. Itu hal gila bagi zaman sekarang. Di mana saat ini materi menjadi tujuan hidup semua orang. Bahkan materi menjadi standar kebahagiaan sebagian besar orang.
Ketulusan, bakti, dan keikhlasan adalah hal mustahil. Itulah kenapa kalimat retoris "orang gila mana?" Menjadi ungkapan yang viral, yang sebenarnya ingin menunjukkan ketulusan seseorang di luar batas kewajaran.
Gila itu Tergantung Kacamatanya
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ikhlas diartikan sebagai bersih hati, tulus hati. Dalam hal hubungan sesama manusia, ikhlas berarti memberi pertolongan dengan ketulusan hati.
Konsep ini bertentangan sekali dengan paham materialisme. Di mana dalam paham ini, segala perbuatan itu ada motif materi yang melatarbelakanginya. Sehingga menurut gaya hidup materialistis, keikhlasan adalah hal yang gila. Tidak bisa diterima nalar. Itulah mengapa sebuah ketulusan dianggap kegilaan. Karena ada pepatah yang mengatakan “No free lunch”.
Paham ini tumbuh subur dalam sistem sekularisme kapitalis. Di mana paham kapitalisme bermakna paham yang menganggap kapital (modal/ harta/ materi) adalah segalanya dan sekularisme adalah paham menjauhkan agama dari pengaturan kehidupan. Perkawinan keduanya dalam mengatur sistem kehidupan hari ini melahirkan gaya hidup materialistis. Di mana materi menjadi tujuan suatu perbuatan.
Karenanya, menjadi ibu yang totalitas bahkan saat sakit adalah hal gila. Atau menjadi baik saat lingkungan terus membuatnya sakit hati adalah gila. Tetap jujur padahal semua temannya berdusta adalah gila, dsb.
Tentu paham ini bertentangan dengan Islam. Karena dalam Islam standar perbuatan seseorang bukanlah materi, namun tetap halal dan haram. Jika perbuatan tersebut halal, maka boleh bahkan wajib bagi kita melakukannya. Atau saat perbuatan tersebut diharamkan, maka wajib bagi seorang muslim untuk meninggalkan. Sehingga, seorang muslim memiliki patokan yang jelas dalam hidupnya. Ia tidak perlu galau berlebihan apalagi sampai gila betulan. Karena setiap perbuatan telah ada hukumnya dalam Islam, sekecil apa pun itu.
Jadi, anggapan gila terhadap perbuatan di luar nalar karena keikhlasannya adalah pandangan dari kacamata materialistis. Hal ini tidak perlu membuat umat Islam terpengaruh.
Bukan Gila Tapi Istimewa
Ada sebuah ayat yang bisa menjadi penghibur hati, di saat kita sebagai muslim merasa dipinggirkan oleh dunia. Dunia yang mendiskreditkan kebaikan kita dengan istilah-istilah berkonotasi negatif, Al-Qur'an punya obatnya.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
وَلَا تَهِنُوْا وَ لَا تَحْزَنُوْا وَاَ نْتُمُ الْاَ عْلَوْنَ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
"Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang yang beriman." (QS. Ali Imran 3: Ayat 139)
Allah ingin menghibur kita, janganlah kamu merasa lemah, tak berguna, tak bernilai di dunia ini. Dan jangan merasa sedih, galau, dan gelisah juga karena hal itu. Sebab sesungguhnya, umat Islam adalah kasta tertinggi di dunia ini. Golongan yang paling istimewa dan keren di seluruh pelosok dunia. Asalkan muslim tersebut beriman.
Masyaallah, ayat ini membuat hati setiap muslim berbunga dan bersemangat. Bersemangat karena mendapatkan pengakuan dari Tuhan semesta alam bahwa mukminlah manusia terbaik didunia ini.
Siapakah Mukmin itu?
Setiap muslim pasti menginginkan predikat tertinggi dari Allah. Sebuah predikat yang akan menghantarkannya pada keridaan Allah. Selain itu, iman akan memberikannya ketenangan dalam hidup atas semua ujian yang menimpanya. Ujian suka maupun duka. Tentu memahami maknanya adalah hal wajib yang harus diupayakan.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِا للّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ لَمْ يَرْتَا بُوْا وَجَاهَدُوْا بِاَ مْوَا لِهِمْ وَاَ نْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اُولٰٓئِكَ هُمُ الصّٰدِقُوْنَ
"Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar."
(QS. Al-Hujurat 49: Ayat 15)
The real mukmin menurut Al-Qur'an kalamullah adalah orang yang mengimani Allah dan rasul-Nya seratus persen tanpa ragu. Di mana penampakan keimanan tersebut salah satunya adalah dengan berjihad. Baik berjihad dengan harta bahkan nyawa. Tentu kita bisa menebak konteks dari jihad itu apa, dari penggunaan harta dan jiwa sebagai penjelasnya. Yaitu berperang melawan musuh Islam dengan harta dan jiwanya. Berperang adalah ketaatan nyata yang ditunjukkan seorang muslim sebagai bukti keimanan.
https://narasipost.com/book/gila-baca-ala-ulama/
Maka saat seorang muslim berani memerangi musuh-musuh Islam, dengan berkorban harta dan nyawa. Saat itulah ia menjadi mukmin yang sebenarnya. Jadi iman yang sesungguhnya haruslah dibuktikan dalam perbuatan, yaitu aksi nyata menaati Allah dalam semua aktivitas keseharian. Tak perlu menghiraukan predikat buruk dari manusia. Wallahu a'lam. []