"Krisis ekonomi akan selalu terjadi karena adanya sistem ribawi yang diterapkan dunia saat ini. Memosisikan uang segalanya menjadikan dunia gelap mata sehingga menjadikan sektor ekonomi nonriil sebagai penentu pertumbuhannya. Ini adalah kesalahan mendasar kapitalisme melihat uang sebagai komoditas, bukan sekadar alat tukar yang harusnya digunakan untuk aktivitas ekonomi yang riil seperti perdagangan, jasa dan industri."
Oleh. Maman El Hakiem
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.com-Uang bukan segalanya, tapi segalanya harus pakai uang. Idiom kapitalisme ini telah menjadikan manusia pontang-panting hanya untuk mendapatkan uang. Peras keringat, banting tulang adalah peribahasa yang sering digunakan untuk menunjukkan betapa susahnya mendapatkan lembaran rupiah
Urgensi orang bekerja atau berusaha dalam sudut pandang kapitalisme adalah nilai manfaat yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan kompensasi berupa harga dalam bentuk materi atau uang. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha memproduksi barang atau jasa. Jika berkaitan dengan barang atau benda, maka nilai guna (utility) dari benda tersebut yang menjadi harga, sedangkan tenaga atau keahlian adalah nilai manfaat (value) yang bisa ditukar.
Seiring zaman, manusia menjadikan uang sebagai satu-satunya alat tukar dan nilai dari harga itu sendiri. Sebelumnya manusia mengenali uang sebagai alat tukar saja, harga atas barang dan jasa dapat ditentukan berdasarkan nilai hakiki benda atau jasa tersebut. Berbeda dengan kehidupan manusia modern saat ini, uang tidak lagi sekadar alat tukar (medium of excharge), melainkan telah menjadi standar harga dari barang atau jasa tersebut. Uang telah menjelma sebagai kebutuhan yang selalu dicari manusia untuk melangsungkan hidupnya karena dengan uang semua kebutuhannya dapat terpenuhi.
Kapitalisme Salah Menilai
Ada kesalahan mendasar dalam sudut pandang kapitalisme mengenai kebutuhan hidup manusia yang seolah tak terbatas, sementara sarana pemenuhan atau pemuasnya terbatas. Sehingga sering terjadi permasalahan ekonomi yang menurut mereka diakibatkan oleh faktor produksi barang atau jasa yang tidak seimbang dengan konsumsi di masyarakat. Ketika terjadi kelangkaan barang dalam kacamata kapitalisme, solusinya adalah penambahan produksi tanpa melihat mekanisme distribusinya.
Masalahnya akan semakin pelik ketika harga diidentikkan dengan uang yang dijadikan satu-satunya alat tukar. Sebenarnya tidak ada masalah, jika uang yang dimaksud memiliki nilai intrinsik secara hakiki sebagaimana dinar dan dirham yang distandarkan pada harga emas dan perak. Uang yang berlaku saat ini hanya berupa lembaran kertas yang nilai nominalnya dilegalkan karena adanya payung hukum dari penguasa sebagai alat tukar yang sah.
Nilai selembar dolar dengan rupiah misalnya, secara fisik hanya berupa lembaran kertas biasa, boleh jadi memiliki kualitas kertas dan ongkos atau biaya cetak yang sama pula. Namun, faktanya memiliki nilai nominal yang berbeda, bahkan nilai tukarnya sangat jauh sekali perbedaannya. Pada kurs tertentu satu dolar Amerika Serikat sampai menyentuh angka empat belas ribu rupiah, apalagi jika terjadi penambahan permintaan dolar, maka rupiah akan semakin jatuh nilainya.
Pada krisis moneter tahun 1998, rupiah bertekuk lutut terhadap dolar dan terjadi inflasi, harga barang-barang sangat mahal, sementara nilai rupiah semakin anjlok karena nilai dolar yang melejit. Penyebabnya lagi-lagi kapitalisme sebagai biang kerok kehancuran bangsa ini. Krisis ekonomi pada tahun tersebut karena ulah para pialang di bursa saham yang memborong dolar yang sangat banyak sehingga terjadi kelangkaan mata uang tersebut, padahal mata uang dolar sangat dibutuhkan untuk kegiatan ekspor-impor dan pembayaran utang luar negeri.
Utang sebagai Alat Penjajahan
Utang luar negeri adalah alat penjajahan paling canggih negara kapitalisme dunia yang mampu menjatuhkan kekuasaan sebuah negara yang lemah secara finansial dan bergantung kepada nilai mata uang dolar. Lembaga Moneter Internasional (IMF) yang digadang-gadang sebagai tukang suntik bagi negara-negara yang sakit secara finansial, tidak lebih "lintah darat", pengisap darah yang mengerikan dengan jebakan utang yang dikucurkannya.
Sistem ribawi yang mendunia menjadi malapetaka kehancuran bangsa-bangsa kelas dua yang sering disebut negara pengekor karena sangat bergantung pada negara adikuasa, baik dalam sistem politik maupun ekonominya. Sebagaimana kasus terakhir bangkrutnya Srilanka adalah bukti keterjajahan disebabkan utang luar negeri yang disertai indikator lain berupa rendahnya pertumbuhan ekonomi yang dilihat oleh kacamata kapitalisme dari rendahnya angka pendapatan per kapita sebuah negara bersangkutan.
Hal tersebut dikatakan Presiden Bank Dunia, David Malpass, dalam sebuah laporannya seperti dikutip laman merdeka.com, 9/6/2022. Malpass mengatakan, turunnya pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,1 persen pada 2022 dan 1,5 persen pada 2023, mendorong pertumbuhan per kapita mendekati nol, jika risiko penurunan terwujud. Secara global, pertumbuhan ekonomi dunia sedang dihantam oleh perang, penguncian Covid-19 baru di Cina, gangguan rantai pasokan dan meningkatnya risiko stagflasi dan periode pertumbuhan lemah serta inflasi tinggi yang terakhir terlihat pada 1970-an.
Dalam laporan yang disampaikan Malpass tersebut, disebutkan bahwa pertumbuhan yang lemah kemungkinan akan bertahan sepanjang dekade karena investasi yang lemah di sebagian besar dunia. Keadaan inflasi yang tengah berjalan pada level tertinggi selama beberapa dekade di banyak negara dan pasokan diperkirakan tumbuh lambat, ada risiko bahwa inflasi akan tetap lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama.
Krisis ekonomi akan selalu terjadi karena adanya sistem ribawi yang diterapkan dunia saat ini. Memosisikan uang segalanya menjadikan dunia gelap mata sehingga menjadikan sektor ekonomi nonriil sebagai penentu pertumbuhannya. Hal ini adalah kesalahan mendasar kapitalisme melihat uang sebagai komoditas, bukan sekadar alat tukar yang harusnya digunakan untuk aktivitas ekonomi yang riil seperti perdagangan, jasa dan industri.
Uang dalam Pandangan Islam
Sebenarnya Islam lebih jernih dalam melihat fungsi uang hanya sebagai salah satu alat tukar bukan segalanya. Uang pun harus memiliki nilai hakiki bukan majasi hanya karena adanya legalitas hukum, sehingga keberadaan uang tidak akan menimbulkan bencana finansial, seperti inflasi dan lain sebagainya.
Di kalangan ulama uang dikenal dengan istilah nuqud, meskipun kata itu tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an. Namun, untuk menunjukkan uang atau fungsinya, Al-Qur’an menggunakan beberapa istilah, antara lain “dirham”, “dinar”, “emas”, dan “perak”. Untuk kata dirham disebutkan satu kali, yaitu dalam QS. Yusuf[12] ayat 20: "Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja…" Secara implisit ayat ini mengemukakan tentang dirham sebagai mata uang dan fungsinya sebagai alat tukar, disinggung pula bahwa penggunaan dirham di kalangan masyarakat saat itu bersandarkan pada jumlah atau bilangan, bukan pada nilainya.
Nilai uang harusnya tidak dilihat berdasarkan dari angka nominalnya saja, melainkan nilai substitusi secara hakiki dari uang tersebut yang berpatokan pada harga emas atau perak yang terjamin keberadaannya. Wallahu'alam bishawab.[]