"Siapa yang tak menginginkan surga tempat istirahat yang kekal? Tentu, setiap kita pasti menginginkannya. Namun, sudahkah kita memantaskan diri untuk sebuah pertemuan terbaik dengan-Nya kelak? Pengorbanan apa yang sudah kita lakukan? Amalan terbaik mana yang akan kita persembahkan? Semua itu bisa terjawab jika kita memosisikan dakwah bukan sebagai amalan yang melelahkan."
Oleh. Yeni Marlina, A.Ma.
(Pemerhati Kebijakan Publik dan Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.com-Pernah mendengar ungkapan hati sebagian kecil saudara-saudara kita: "Kalau masih begini-begini saja rasanya ingin keluar dari jalan perjuangan dakwah. Masih sangat panjang jalan yang harus ditapaki, sementara di ufuk sana belum terlihat secercah cahaya kemenangan akan tiba. Rasa lelah mulai terasa, ingin berhenti saja biarlah orang-orang kuat yang tersisa dan akan terus berjalan melanjutkan perjuangan."
Terkadang kalimat di atas muncul atau terlintas dalam benak sebagian pengemban dakwah. Walhasil ada yang rela memutuskan untuk berhenti dan keluar dari barisan perjuangan. Namun, sebagian besar tetap bertahan karena prinsip dan keyakinan bahwa perjuangan di jalan dakwah memang sejatinya demikian.
Bukan dakwah namanya jika tidak dirasa ada efek, membutuhkan kesiapan pengorbanan. Sebab dakwah bukan hanya berkata-kata, namun mengandung makna seruan. Seruan mengajak pada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran. Itulah esensi dakwah yang sesungguhnya, perintah Allah subhanahu wa ta'ala kepada umat Rasulullah shalallahu alaihi wassalam yang diciptakan sebagai umat terbaik di kalangan umat manusia.
"Kamu (umat Islam) adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (TQS. Ali-Imran: 110)
Bukan dakwah namanya jika tidak terjadi pro dan kontra, bahkan penolakan atau berbagai hambatan. Sebab dakwah di tengah heterogennya masyarakat pastilah akan ada berbagai rintangan. Ujian dalam dakwah adalah sebuah keniscayaan. Butuh kesiapan pengorbanan waktu, pikiran, tenaga, harta bahkan perasaan lelah. Hakikat alaminya dakwah, dijalani oleh Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, para sahabat dan penerus risalah setelah mereka.
Terlebih lagi saat ini, di tengah pusaran arus budaya Barat. Perjuangan dakwah sangat terasa, serangan yang menghambat setiap perbaikan selalu ada. Serangan dari musuh-musuh Islam ataupun penolakan dari kalangan umat Islam yang pemahaman mereka sudah terdistorsi oleh pemikiran Barat. Arus deras pemikiran-pemikiran yang mendiskreditkan Islam menjadi alat penjajahan, membelenggu gerak umat untuk kembali bangkit.
Beratnya perjuangan dakwah semakin dirasa. Perjalanan dakwah bukan hal yang sederhana, jauh, panjang dan berliku. Kadang ditaburi onak dan duri, kerikil-kerikil tajam rintangan dan godaan. Lelah tentunya, namun akankah hilangnya lelah cukup dengan mundur dan menepi dari jalan dakwah? Bukankah dakwah itu adalah jalan nikmat yang ditempuh para nabi dan rasul? kalaulah bukan untuk mendapatkan sesuatu imbalan yang tak tergantikan dengan kenikmatan dunia ini untuk apa orang-orang terdahulu rela berkorban jiwa dan raga demi dakwah? Rasulullah shalallahu alaihi wassalam sudah memberi isyarat sekaligus teladan buat umatnya. "Sesungguhnya tidak ada istirahat setelah hari ini." Itulah kalimat yang diucapkan oleh Rasul saw. kepada Ibunda Khadijah ketika pertama kali menerima wahyu dari Allah, menyebarkan Islam, menolong agama Allah dengan berjuang meninggikan kalimat-Nya di muka bumi. Semua dilakukan tak lain hanyalah dengan dakwah.
Khadijah adalah orang pertama yang mengikuti dan meyakini ajaran Nabi Muhammad saw., beliaulah wanita yang paling baik akhlaknya, saudagar kaya yang mengikhlaskan hartanya habis untuk menegakkan agama Allah, tak ada kekhawatiran dalam dirinya atau digelayuti ketakutan dan kesulitan hidup karena menolong agama-Nya. Pantaslah Allah janjikan untuknya sebuah rumah di surga dari emas yang nyaman tidak bising dan tidak ada rasa lelah di dalamnya. Itulah sebagai balasan atas seluruh pengorbanannya dalam jalan dakwah. Hilanglah seluruh lelah di dunia, di saat kaki menapak di jannah Allah.
Siapa yang tak menginginkan surga? tempat istirahat yang kekal? di mana tak ada lagi rasa lelah yang terasa. Tentu, setiap kita pasti menginginkannya. Namun, sudahkah kita memantaskan diri untuk sebuah pertemuan terbaik dengan-Nya kelak? Pengorbanan apa yang sudah kita lakukan? Amalan terbaik mana yang akan kita persembahkan? Semua itu bisa terjawab jika kita memosisikan dakwah bukan sebagai amalan yang melelahkan, tidak berpaling untuk istirahat sejenak atau selamanya dari jalan dakwah.
Kembalilah berbenah, kuatkan keyakinan bahwasanya keberhasilan dakwah tidak dituntut sebab kehebatan kita, kuatnya fisik kita, banyaknya waktu luang atau harta yang kita berikan. Bukan sebab yang demikian. Namun kesabaran, keyakinan, ketekunan, keikhlasan dan sikap tawakal kepada Allah yang akan menghantarkan kemenangan. Tahan dengan berbagai tekanan, hambatan, dan rintangan di jalan dakwah. Beginilah sikap seorang pejuang dakwah. Meyakinkan diri bahwa Allah pasti menunaikan janji-Nya, janji kepada hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh. Pastilah Allah menyempurnakan akhir perjuangan dengan kemenangan. Maka, jika pun kita tetap terus berjuang di jalan dakwah sekalipun harus lelah namun itu semua lillah (karena Allah), maka di saat yang sama kita akan merasakan manis dan indahnya nikmat di jalan dakwah. Istimewanya pujian Allah kepada orang-orang yang berdakwah :
"Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh dan berkata: sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (TQS. Al-Fushilat: 33)
Wallaahu a'lam bishawab.[]
MasyaAllah.. menjadi pengingat bagi diri..