”Seseorang akan diuji sesuai dengan agamanya. Jika agamanya kokoh, akan mendapat ujian yang berat. Jika agamanya lemah, ia akan diuji sesuai dengan tingkat keimanannya. “
Oleh. Mariyah Zawawi
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Iblis begitu marah. Kedengkiannya terhadap Nabi Ayub a.s. pun semakin besar. Hal itu karena para malaikat memuji-muji salah satu utusan-Nya itu. Maka, ia pun mengajukan permohonan kepada Sang Pencipta agar Nabi Ayub a.s. berhenti menyembah Allah Swt. Allah Swt. pun mengizinkan iblis laknatullah untuk melakukannya.
Keteguhan Iman Nabi Ayub a.s.
Nabi Ayub a.s. adalah seorang nabi yang mendapat banyak anugerah dari Allah Swt. Ia memiliki banyak harta, berupa keturunan, kebun, ternak, dan sebagainya. Semua itu tidak membuatnya lalai dari kewajibannya sebagai seorang hamba. Sebaliknya, ia mensyukurinya dengan beribadah dan melakukan kebaikan-kebaikan. Ia suka menolong orang-orang yang membutuhkan serta membantu orang miskin, para janda, dan sebagainya.
Iblis menganggap bahwa Nabi Ayub a.s. tetap beribadah dan beramal saleh karena mendapatkan banyak kenikmatan dari Allah Swt. Iblis mengira, jika segala kenikmatan itu dicabut, Nabi Ayub a.s. akan berhenti dari menyembah Allah Swt. Karena itulah, iblis berusaha untuk memusnahkan segala kenikmatan tersebut.
Semua harta benda berupa kebun, ternak, hingga rumah pun musnah. Demikian pula dengan anak-anaknya, tak ada satu pun yang tersisa. Ketika mengetahui hal itu, Nabi Ayub a.s. hanya berkata,
الحمد لله الذي هو اعطاها وهو أخذه
(Segala puji bagi Allah, Dia yang memberikannya dan Dia pula yang mengambilnya).
Mengetahui hal ini, iblis semakin marah. Kali ini, ia meniup kedua lubang hidung Nabi Ayub a.s. yang sedang bersujud. Seketika itu pula, Nabi Ayub a.s. ditimpa penyakit kulit yang parah. Sakit itu menimbulkan luka yang berbau busuk. Masyarakat pun jijik dan mengucilkannya. Mereka meninggalkan Nabi Ayub a.s. di sebuah gubuk yang jauh dari rumah penduduk. Hanya istrinya yang tetap setia menemani dan merawatnya.
Dari hari ke hari, sakitnya semakin parah. Hingga tubuh yang sebelumnya berotot itu hanya tinggal kulit pembalut tulang. Meskipun demikian, keimanan Nabi Ayub a.s. tidak goyah. Ia bahkan semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt. Saat itu, Nabi Ayub a.s. hanya memanjatkan doa,
أني مسني الضر وأنت أرحم الراحمين
Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, “(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.”
Doa ini diabadikan dalam surah Al-Anbiya [21]: 83.
Iblis pun berusaha membelokkan iman Nabi Ayub a.s. melalui istrinya. Iblis mengira, ia akan berhasil seperti saat menggoda Nabi Adam a.s. melalui Siti Hawa. Hingga Nabi Adam a.s. dan istrinya dikeluarkan dari surga.
Iblis menyarankan kepada istri Nabi Ayub a.s. untuk membujuk suaminya agar berkurban atas nama selain Allah Swt. Nabi Ayub a.s. langsung menolaknya. Ia mengetahui bahwa hal itu merupakan ajakan iblis untuk menjauhkannya dari Allah Swt.
Nabi Ayub a.s. pun menyampaikan kepada istrinya bahwa masa-masa senang yang dirasakannya, jauh lebih lama dibandingkan dengan masa susah. Nabi Ayub a.s. diberi ujian saat berusia 70 tahun. Sedangkan ujian itu berlangsung selama 7 tahun.
Setelah semua ujian itu tidak menggoyahkan keimanan Nabi Ayub a.s., maka Allah Swt. pun mengembalikan segala kenikmatan itu. Penyakit yang dideritanya lenyap. Harta benda dan keturunannya pun dikembalikan. Bahkan, keturunannya menjadi dua kali lipat.
Ujian Sesuai dengan Tingkat Keimanan
Demikianlah, betapa berat ujian yang diterima oleh Nabi Ayub a.s. Memang, ujian yang terberat diberikan kepada para nabi. Seperti sabda Rasulullah saw. dalam hadis riwayat Tirmizi saat ditanya tentang siapa yang mendapatkan ujian paling berat. Maka, Rasulullah saw. bersabda:
"Para nabi. Kemudian orang-orang yang semisalnya. Kemudian yang semisalnya. Seseorang akan diuji sesuai dengan agamanya. Jika agamanya kokoh, akan mendapat ujian yang berat. Jika agamanya lemah, ia akan diuji sesuai dengan tingkat keimanannya …."
Dalam Al-Qur'an banyak dikisahkan beratnya ujian yang diberikan kepada para nabi. Ada Nabi Ibrahim a.s. yang dibakar hidup-hidup. Kemudian Nabi Musa a.s. yang menghadapi Firaun yang kejam.
Demikian pula dengan ujian yang dihadapi oleh Rasulullah saw. Selain diabadikan dalam Al-Qur'an, ujian dakwah Rasulullah saw. juga dikisahkan dalam banyak hadis. Beliau diolok-olok, difitnah, bahkan hendak dibunuh karena tidak mau menghentikan aktivitasnya dalam menyerukan Islam.
Demikianlah, Allah Swt. memberikan ujian kepada manusia sesuai dengan tingkatan keimanannya. Para nabi adalah sosok yang paling kuat keimanannya. Karena itu, ujian yang diberikan juga paling berat. Demikian pula dengan manusia lainnya. Semakin kuat keimanan mereka, semakin berat pula yang diberikan kepada mereka.
Berbagai cobaan itu memang diberikan oleh Allah Swt. untuk menguji keimanan mereka. Dalam surah Al-Ankabut [29]: 2-3, Allah Swt. berfirman,
أحسب الناس أن يتركوا أن يقولوا آمنا وهم لا يفتنون (١) ولقد فتنا الذين من قبلهم فليعلمن الذين صدقوا وليعلمن الذين الكٰذبين (٢)
"Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan berkata, 'Kami beriman' dan mereka tidak diuji? Sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Maka Allah sungguh mengetahui siapa yang jujur dan mengetahui mana yang berdusta."
Bersabar dan Ikhlas
Dari kisah Nabi Ayub a.s. kita mendapat satu pelajaran. Yakni, sikap terbaik saat mendapat ujian dari Allah Swt. adalah bersabar dan ikhlas. Sabar dan ikhlas sejak ujian itu datang. Sebab, Rasulullah saw. menyatakan bahwa sabar itu pada benturan yang pertama.
Bersabar dan ikhlas karena kenikmatan yang diberikan oleh Allah Swt. kepada kita jauh lebih banyak dibandingkan dengan ujian berupa kesusahan itu. Kenikmatan yang tidak sanggup kita hitung karena saking banyaknya. Nikmat iman, kesehatan, kecerdasan, ilmu pengetahuan, kesempatan, dan sebagainya. Nikmat yang mungkin diberikan kepada kita, tetapi tidak kepada yang lainnya.
Karena itulah, kita patut bersabar dan ikhlas jika Allah Swt. mencabut sedikit nikmat yang dulu pernah diberikan kepada kita. Sebab, masih ada banyak nikmat lain yang kita miliki.
Di samping itu, kita harus menyadari bahwa segala nikmat yang diberikan kepada kita itu tidak benar-benar milik kita. Semua itu hanya titipan dari Sang Pencipta. Maka, kita harus mengikhlaskannya saat Sang Pemilik yang sebenarnya telah memintanya kembali.
Memang, tidak mudah melakukan semua ini. Namun, jika kita senantiasa menyandarkan hidup kita kepada Allah Swt., maka Dia pasti akan menolong kita. Allah Swt. akan menguatkan kita sehingga sanggup menghadapi ujian itu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah Swt. dalam surah Ath-Thalaq [65]: 4. Di ayat ini, Allah menyatakan bahwa siapa saja yang bertawakal kepada-Nya, akan diberi kemudahan dalam urusannya. Semoga Allah Swt. memberikan kepada kita kekuatan dalam menghadapi setiap ujian.
Wallaahu a'lam bi ash-shawaab.[]