Jangan Jadi Guru Toksik

”Jangan menjadi guru toksik agar murid mencintai guru karena Allah. Jika guru toksik, kecenderungan murid akan membenci dan menyakitinya.”

Oleh. Afiyah Rasyad
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-“Terpujilah wahai ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
'Tuk pengabdianmu
Engkau bagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa"

Lirik Hymne Guru karya Bapak Sartono begitu masyhur. Pelita dalam kegelapan sangatlah tepat disematkan pada para guru. Para guru berupaya menerangi cakrawala pemikiran murid atau santri dengan samudera ilmu. Begitu pula dengan embun penyejuk dalam kehausan, para guru akan berupaya mendidik murid atau santrinya dengan kasih sayang, mendidik dengan hati, tidak menyakiti.

Duhai, dunia pendidikan saat ini diwarnai dengan polemik yang tiada surut. Polemik paling awet adalah kasus perundungan atau bullying. Tak dimungkiri, ejekan atau hinaan secara verbal sering kali dianggap suatu keadaan yang wajar. Nahasnya, mengejek bentuk fisik atau apa yang tak sesuai dengan kriteria kemapanan masyarakat, maka itu akan menjadi sebuah pemakluman. Ejekan kolektif secara verbal kerap dianggap sebagai bahan canda tawa.

Lingkungan pendidikan tidak lepas dari aktivitas bullying. "Hai, Fulan pesek, hapus segera papannya!" Kata-kata seperti itu terkadang keluar dari lisan seorang guru, bukan hanya dari teman atau kakak tingkat. Ada yang lebih ekstrem lagi, dalam pemberian hukuman bagi siswa yang melanggar aturan tak cukup dengan memberikan hukuman mendidik. Justru hukuman yang diberikan adalah hukuman yang bisa menciptakan suasana perundungan.

Guru yang seharusnya menjadi orang tua kedua di sekolah atau pesantren, terkadang melakukan perundungan secara tidak sadar. Terkadang hukuman yang diberlakukan di lingkungan sekolah atau pesantren juga mengandung toksik. Rasa malu dan eksistensi sering menghunjam ketika hukuman harus disandang.

Ada guru toksik yang memberikan sanksi sosial kepada anak didiknya, misal dia digundul lalu diminta memakai poster dengan pengakuan bersalah di badannya. Murid atau santri yang dihukum kemudian diminta mengenakan poster dengan waktu yang cukup lama. Siswa yang dihukum juga harus mengenakan poster hukuman saat di luar lingkungan sekolah atau pesantren. Para guru toksik akan memberikan hukuman dengan mempertaruhkan naluri sang murid, yakni mempermalukan muridnya di khalayak. Hukuman diberikan tak hanya di lingkungan sekolah atau pesantren saja, tetapi dibiarkan masyarakat luas tahu jika si murid atau santri telah melakukan pelanggaran dengan durasi seratus enam puluh delapan jam. Betapa tersiksanya si murid jika hal itu menimpanya.

Hal itu justru memunculkan persoalan baru di lingkungan pendidikan jika gurunya menebar toksik. Naluri mempertahankan diri tentu akan tercabik jika hukuman itu dipertontonkan. Sementara pelanggaran yang dilakukan sifatnya administratif atau terkait dengan lambannya si murid karena keterbatasan intelegensinya. Alih-alih membuat jera, justru mental peserta didik akan rapuh atau semakin liar.

Seorang muslim tentu paham bagaimana hukuman itu harus diberikan. Hukuman itu haruslah bisa menyadarkan murid dari kesalahan dan dia bisa berkomitmen untuk tidak mengulangi lagi. Tidak semua hukuman bisa ditonton siapa saja seperti konser atau parodi. Tersiksa sekali para murid jika memiliki guru toksik.

Hukuman yang salah pengaplikasiannya kepada murid ataupun santri bisa memberikan dampak buruk. Trauma bisa mengintainya kapan pun jika hal itu dilakukan berulang-ulang. Guru toksik yang hobi memberikan hukuman di luar batas kewajaran tidak layak mengajar di mana pun, tentu tak akan ada lagi keteladanan.

Islam jelas memberikan rambu-rambu dalam perkara ta'dzib (pendisiplinan dengan hukuman). Sebelum usia 10 tahun, belum boleh hukuman fisik. Jika sudah 10 tahun, hukuman fisik pun tidak boleh melukai. Seorang guru muslim akan memahami batas ruang hukuman itu.

Hukuman yang mendidik dan membuat efek jera harus diperhatikan. Misal bagi murid atau santri yang tahfiznya lambat dan tidak sesuai ketentuan, maka mereka bisa diminta menyalin ayat yang tidak dihafalnya tiga kali, menyalin ayat tentu sambil membaca, artinya menyalin sekaligus muraja’ah. Bisa juga dengan menempelkan stiker khusus, hanya para murid yang tahu dengan durasi yang tidak menguras emosi.

Seorang guru yang baik, dia akan bijak dan menghindari sifat toksik. Dia tidak akan mudah tersulut amarah. Aktivitas perundungan ataupun hukuman yang tidak mendidik akan dihindari. Justru, seorang guru akan fokus membentuk kepribadian Islam peserta didiknya. Meski saat ini sangat sulit membentuk kepribadian Islam, guru yang baik akan berupaya sekuat tenaga untuk menjauhkan murid atau santrinya dari bahaya ide pemikiran kufur yang bertebaran.

Guru akan memberikan keteladanan yang baik, mendidik dengan adab yang baik, jauh dari perundungan dan hukuman yang menjatuhkan harga diri muridnya. Dia akan membangun kedekatan emosional dengan peserta didik sesuai syariat Islam. Dia akan memahamkan para muridnya tentang pergaulan dan segala hukum-hukum Islam. Sehingga, kepribadian Islam yang dicita-citakan akan terwujud. Seorang muslim tentu tidak akan menjadi guru toksik.

Jangan menjadi guru toksik agar murid mencintai guru karena Allah. Jika guru toksik, kecenderungan murid akan membenci dan menyakitinya. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama.” (HR. Ahmad)

Wallahu a'lam bi ash-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Inti NarasiPost.Com
Afiyah Rasyad Penulis Inti NarasiPost.Com dan penulis buku Solitude
Previous
Memelihara Duafa Bukan Solusi Akhiri Kemiskinan
Next
Otocephaly, Kelainan Organ Tubuh yang Mematikan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

4 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Reva Lina
Reva Lina
1 year ago

Yups Benar Banget, Miris sekali melihatnya saya pernah menjadi murid dan merasakan hal serupa bagaimana perilaku guru yang membeda-bedakan antara siswa satu dan lainnya. Tak adil memang, itulah butuh pemahaman agama secara luas baik guru maupun siswa agar dapat memberikan hukuman sesuai ketentuan syariat pastinya. 🙂

Zahrah Luthfiyah
1 year ago

Nah betul sekali. Seharusnya hukuman-hukuman yang di berikan harus memberikan pembelajaran bukan malah sebaliknya membuat siswa itu malah malu. mungkin seperti hukuman yang lebih memberikan hikmah baik agar si muridnya lebih paham akan kesalahan yg di perbuat.

Afiyah Rasyad
Afiyah Rasyad
Reply to  Zahrah Luthfiyah
1 year ago

Inggih Mbak. Zaman Rasulullah dan kekhilafahan hukuman fisik pun tidak sampai membuat murid malu apalagi dendam. selama itu bukan pelanggaran syariat Islam, hukuman harusnya yang mendidik. Jika murid yang balig melanggar syariat, maka dia akan disanksi sesuai sistem sanksi dalam Islam.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram