“Sekali lagi ini bukan tentang hak asasi, tapi tentang masa depan sebuah negeri. Jika karena tindakan bodoh yang kita lakukan telah menyebabkan banyak terjadi kerusakan, hak apa yang sedang diperbincangkan? Bukankah menuntut hak tanpa mau menjalankan kewajiban adalah sebuah keegoisan, yang akan mengantarkan pada kehancuran?”
Oleh. Dila Retta
NarasiPost.Com-“Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Itulah salah satu poin dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1, yang masih saya hafal karena selalu diajarkan berulang-ulang di bangku sekolah.
Kemudian, dalam pasal 4 disebutkan, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.”
Mengingatnya, membuat saya berpikir tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi saat ini. Perilaku menyimpang yang jelas-jelas tidak dibenarkan oleh hukum agama mana pun, mulai dianggap wajar, dengan dalih hak asasi yang harus dihormati. Katanya, asal kita tidak ikut-ikutan, jangan sampai mencampuri kehidupan dan merusak kebahagiaan orang.
Mungkin ada benarnya, tidak terlalu baik jika harus mencampuri kehidupan pribadi orang lain. Tapi jangan lupa, masing-masing dari kita memiliki kewajiban untuk menegur jika ada kesalahan yang dilakukan seseorang. Bukan karena tidak menghormati apa yang menjadi pilihannya, melainkan karena keinginan kita untuk mengarahkan agar tidak terus menerus berada di jalan kesesatan.
Adalah sebuah kesalahan, jika kita biarkan seseorang melakukan tindakan menyimpang. Karena hal seperti demikian tidak hanya berdampak pada kondisi mental perorangan, tapi juga dapat memengaruhi psikologi sosial. Mirisnya, tidak cukup di sana.
Permasalahan yang terjadi bukan hanya tentang perilaku seksual yang menyimpang, namun juga rusaknya moral. Tidak hanya ajaran agama yang ditinggalkan, budaya dan adat pun mulai dilupakan. Atas dasar hak asasi, krisis identitas agama, dan budaya pun dialami para generasi saat ini.
Tengoklah kembali sejarah pada masa silam, masa-masa di mana setiap orang berjuang mempertahankan ajaran agama dan budayanya agar jangan sampai dirusak pengaruh dari luar. Bandingkan dengan sekarang, apa yang saat ini dilakukan kebanyakan orang? Mereka berlomba mempelajari dan menerapkan budaya luar, agar tidak dianggap ketinggalan zaman, sedang budaya sendiri dilupakan.
Entah mengapa pemikiran generasi sekarang berbeda. Hal yang terbesit dalam pemikirannya tentang budaya hanya sebatas adat/kesenian tradisional, yang dianggap telah usang dan ketinggalan zaman. Katanya, bukan zamannya menerapkan ajaran dari para tetua. Padahal, budaya dari bangsa kita tercinta telah mengajarkan banyak tata krama yang diakui dunia. Bukankah selama ini Indonesia dikenal dengan keberagaman budaya, keramahan, serta tata kramanya?
Benar. Kita memang tidak boleh tertinggal jauh, saat zaman sudah semakin maju. Tapi, meski demikian, bukan berarti kita menjadi liar dan meninggalkan setiap adab yang telah diajarkan. Bebas bertindak sesuka hati tanpa peduli apa yang ada di pikiran kebanyakan orang nanti, dengan dalih “Ini kan hak asasi!” Jangan lupa, ada kewajiban yang harus didahulukan sebelum menuntut hak atas perorangan.
Sekali lagi ini bukan tentang hak asasi, tapi tentang masa depan sebuah negeri. Jika karena tindakan bodoh yang kita lakukan telah menyebabkan banyak terjadi kerusakan, hak apa yang sedang diperbincangkan? Bukankah menuntut hak tanpa mau menjalankan kewajiban adalah sebuah keegoisan, yang akan mengantarkan pada kehancuran?!
Jangan lupa, kita tidak hanya berada di negeri hukum yang memiliki aturan perundang-undangan. Tapi lebih dari itu, kita semua sedang berada di bumi Allah dengan menyandang status sebagai seorang hamba. Menjadi seorang hamba berarti harus patuh kepada perintah Rabbnya dan harus siap mempertanggungjawabkan setiap tindakan yang telah dilakukan sepanjang hidupnya.
Kehidupan dunia itu tidak abadi, jangan sampai menyesal di kemudian hari. Tidakkah kita telah sering mendengar sebuah nasihat yang mengatakan, “Maksiat itu nikmat, namun nikmatnya hanya sesaat dan pertanggungjawabannya kelak akan sangat berat. Sedangkan, ketaatan itu penat. Tapi kepenatannya pun hanya sesaat, dan balasannya kelak akan sangat nikmat.” Jika memang masih memiliki kesempatan untuk berbenah, jangan lagi ditunda!
Allah telah melarang kita untuk mengikuti segala sesuatu yang tidak kita ketahui ilmunya, karena kelak akan ada pertanggungjawabannya. Dalam QS. Al-Isra’ ayat 36, Allah berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَـيْسَ لَـكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗ اِنَّ السَّمْعَ وَا لْبَصَرَ وَا لْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰٓئِكَ كَا نَ عَنْهُ مَسْئُوْلًا
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.”
Jika memang tidak cukup keilmuan dan tidak mengerti dasar hukum yang telah Allah tetapkan, jangan sampai ikut-ikutan berbuat kerusakan dengan mengabaikan atau bahkan membenarkan sebuah kesesatan.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab[]