"Sungguh, ini tentang rasa yang tidak biasa untuk menguatkan tekad dalam menghadapi medan juang yang terasa berat. Ketika segala rasa takut dan lemahnya jiwa harus dikalahkan dengan nilai ketakwaan kepada Allah."
Oleh. Maman El Hakiem
NarasiPost.Com-Rasa atau perasaan pasti dimiliki setiap makhluk di muka bumi. Rasa itu abstrak, tidak terlihat, tetapi bisa diungkapkan. Mencuat sesaat dan bisa berubah. Perasaan itu bersifat ruhaniyah dan muncul karena adanya rangsangan dari luar diri manusia. Sesuatu yang terindra atau tercap lidah manusia memiliki qadar atau khasiat yang memengaruhi pikiran, menjadi rasa yang terungkapkan. Rasa kagum saat melihat pemandangan alam, serta rasa manis saat mencicipi madu. Pikiran atau insting pada makhluk-Nya yang mampu mengekspresikan tentang rasa. Rasa tidak perlu meminta dalil hukum karena telah menjadi qadar dari-Nya. Rasa benci dan cinta bisa tiba-tiba muncul, sifatnya reaktif sebagai potensi yang dapat menyebabkan sikap atau perbuatan.
Indra yang menyaksikan ketidakadilan atau sikap sewenang-wenang penguasa misalnya, secara naluriah akan muncul rasa berkecamuk ingin memprotesnya. Tetapi, jika perasaan itu masih tersimpan dan belum terekspresikan, maka tidak dianggap sebagai sebuah perbuatan yang bisa dinilai baik atau buruk. Rasa itu netral adanya, tidak bernilai pahala atau dosa. Baru menjadi nilai baik atau buruk jika perasaan sudah menjadi tindakan atau sikap. Sikap inilah yang menuntut dalil hukum yang menjadi standar nilai baik atau buruknya di hadapan Allah Swt.
Rasa yang Menjadi Sikap
Agama Islam bukan sekadar tentang rasa, tetapi sikap. Jika sekadar olah rasa, maka Islam sama saja seperti agama lain, hanya perkara ruhani yang hanya berorientasi pada kebersihan jiwa, penebusan dosa hanya dengan doa-doa. Padahal, amal ibadah bukan sekadar urusan hati tanpa terekspresikan dalam sikap atau ketaatan pada aturan hukum yang lainnya. Agama Islam merupakan akidah dan syariat atau aturan yang harusnya diterapkan dalam kehidupan sebagai panduan perbuatan manusia. Pun tentang perasaan harus menjadi rasa dan sikap yang Islami, maka diperlukan dalil hukum sebagai alasan untuk perbuatan. Hal ini selaras dengan kaidah fikih, bahwa hukum asal perbuatan manusia terikat dengan syariat dari Allah Swt.
Perbuatan manusia itu harus memiliki ruh, yaitu keterikatan amal perbuatan manusia dengan perintah atau larangan Allah Swt. Nilai spiritualitas bagi seorang muslim adalah keimanan atau tauhid sebagai dasar dalam beramal. Karena itu, menjadi mukmin berbeda dengan manusia pada umumnya. Meskipun setiap manusia sama-sama memiliki rasa atau perasaan, tetapi bagi seorang mukmin, perasaan itu harus teraktualisasi pada sikap atau tindakan yang tidak boleh melanggar kaidah hukum syariat.
Ruhaniyah seorang muslim adalah kesadaran manusia sebagai hamba-Nya yang memadukan rasa dan pikirannya menjadi pola sikap atau kepribadian. Keruhanian tidak hanya menyangkut kesehatan jiwa saja, melainkan harus mengkristal dalam gerak hidup manusia. Jika qolbun-nya baik, maka akan baik pula seluruh sikap perbuatannya. Makna qolbun tidak hanya diartikan hati yang memancarkan rasa, tetapi juga akal yang mencerahkan pemikiran, juga kesadaran akan adanya perintah dan larangan Allah Swt.
Hati yang bening adalah hati yang selamat (qolbun salim) yang akan mampu menggerakkan seluruh aktivitas dalam kehidupannya. Bukan hanya bersih dari sifat berburuk sangka pada sesama makhluk-Nya, melainkan mampu juga melihat segala persoalan hidup dari kejernihan akalnya untuk selalu baik sangka terhadap segala aturan yang berasal dari Allah Swt. Itulah cerminan mereka yang selalu berjuang untuk bisa mengaktualisasikan syariat kaffah di muka bumi ini. Jika bicara rasa, bagi mereka mungkin sulit dan berat menghadapi tantangan dakwahnya. Tetapi, hati yang bergetar membuatnya tegar meskipun hidup bercucuran air mata. Seperti nasihat Rasulullah saw. dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, at-Tarmidzi mengatakan kesahihannya, "Nasihatnya menyebabkan hati kami (para sahabat) bergetar dan air mata bercucuran.”
Rasa yang Menjadi Ruhiyah
K.H. Yasin Muthohar dalam buku Muhadharah Ramadaniyah mengutip ucapan sahabat yang agung, Abdulllah bin Rawahah ketika memotivasi kaum muslimin yang ragu untuk berjihad pada perang Mu’tah karena melihat kekuatan musuh yang lebih besar, beliau berkata, “Sungguh perkara tentang perasaan takut akan kematian sesungguhnya itu yang dituju ketika keluar berperang di jalan Allah. Kita tidak sedang memerangi manusia dari segi jumlah atau bilangan. Kita hanyalah memerangi mereka hanya dengan dorongan agama yang menjadikan nilai kemuliaan bagi kita. Karena itu berangkatlah untuk mendapatkan dua kebaikan yang akan kita dapatkan salah satunya, yaitu menang atau mati syahid.”
Tentang kekuatan ruhiyah ini juga pernah disampaikan Umar bin Khattab kepada pasukannya, "Inlam taghlibhum bithaa’atinaa ghalabuunaa biquwwatihiim" (Jika kita tidak bisa mengalahkan mereka dengan ketaatan kepada Allah, maka mereka akan mengalahkan kita dengan kekuatan materinya). Sungguh, ini tentang rasa yang tidak biasa untuk menguatkan tekad dalam menghadapi medan juang yang terasa berat. Ketika segala rasa takut dan lemahnya jiwa harus dikalahkan dengan nilai ketakwaan kepada Allah dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individual maupun kolektif di masyarakat.
Ketakwaan secara kolektif yang harus diwujudkan dengan cara dakwah menuntut negara untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah. Karena perkara agama yang mulia bukan hanya menyangkut ibadah-ibadah ritual yang bersifat fardiyah individual seperti salat, puasa, haji, zikir dan sebagainya. Pun syariat yang pelaksanaannya menjadi tuntutan adanya jemaah atau kelompok semisal dakwah amar makruf nahi mungkar berupa muhasabah al-hukam terhadap penguasa yang mengurusi rakyatnya untuk menerapkan sanksi atas segala bentuk kejahatan, menjalankan sistem ekonomi, politik luar negeri dan jihad yang tentunya dilakukan oleh negara dalam rangka menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu’alam bish Shawwab.[]