"Kepada siapa pun yang memiliki amanah ilmu dalam dirinya, agar jangan sampai ilmu Islamnya hanya bertengger dalam benaknya sendiri, namun orang lain tak mendapat manfaat dan pencerahan sama sekali dari ilmu tersebut. Para dai dan daiyah yang menyadari kebobrokan kondisi generasi saat ini haruslah berpikir tentang cara agar umat ini bisa berubah kondisinya, dari yang semula terpuruk menjadi terdepan dan dari yang semula inferior menjadi superior."
Oleh. Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-“Aku ikut ke gereja bersama teman dekatku, tapi aku tetap muslim kok.”
“Tanpa harus berpenampilan syar'i, aku masih bisa beribadah dengan khusyuk”
“Aku muslim, mengucapkan selamat natal ke sahabat, tapi alhamdulillah imanku tidak berubah”
…
Salah satu masalah besar namun samar yang dihadapi oleh generasi muslim hari ini adalah ketidaksadaran akan terkikisnya akidah. Perkara akidah jelas merupakan perkara inti dari diri setiap muslim. Maka, saat diri tidak menyadari bahwa akidahnya kian keropos dengan berbagai alasan, tentu ini adalah hal yang sangat membahayakan, bukan lagi mengkhawatirkan.
Andai seluruh muslim, terlebih bagi mereka yang muslim dari sononya paham betul betapa Rasulullah saw. dan para sahabat beliau dahulu berjuang luar biasa teguh demi menyampaikan dan mengukuhkan akidah Islam. Namun tak dimungkiri, jauhnya jarak hidup kita dengan hidup ideal seorang muslim seperti di masa Rasulullah saw. juga memberikan andil terhadap jauhnya kita dari pemahaman-pemahaman seperti itu.
Tiga pernyataan di atas merupakan beberapa contoh kalimat yang sering terlontar dari lisan generasi muslim hari ini. Tidak sedikit yang dengan bangganya mempertontonkan kekeliruan yang dikerjakan, di waktu yang sama juga bergurau bahwa meski begitu, ia masih mengakui bahwa Islam adalah agamanya. Sikap seperti ini tidak boleh dibiarkan terus hinggap dalam diri seorang muslim, karena pada hakikatnya, kuatnya keislaman seseorang bisa menjauhkannya dari berbagai maksiat.
Memberikan alasan, dalih pembenar, dan sejuta “tapi” atas praktik-praktik keliru dalam bingkai identitas sebagai seorang muslim juga tak patut untuk dilakukan. Landasannya jelas, Rasulullah saw. dan para pendahulu umat tak pernah mencontohkan sikap yang demikian. Beliau-beliau tak pernah mengatakan, “meminum khamar itu memang haram, tapi kalau sekadar mencicip dan tidak sampai memabukkan sepertinya tak masalah”, atau “syariat jelas melarang menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atas kaum muslimin, tapi jika pemimpin tersebut bisa membawa keadilan dan kesejahteraan, tentu tidak mengapa”.
Andai beliau-beliau melakukannya dahulu, entah seperti apa kemaksiatan yang terjadi hari ini, karena tanpa contoh dari beliau pun, generasi muslim di akhir zaman ini sudah “inisiatif” untuk melakukan hal tersebut. Nastaghfirullah.
Patutlah kita mencontoh sikap dari para sahabat Rasulullah saw. yang begitu bergegas melakukan perintah dari baginda nabi, tanpa mendebat, tanpa tapi, tanpa berdalih, just do it. Sikap ini pun ternyata ditunjukkan oleh para sahabat perempuan Rasulullah saw. di tengah kultur Arab jahiliah yang tak mengindahkan perkara aurat wanita, perintah hijab turun untuk mengubah kondisi tersebut 180 derajat. Mereka bahkan tak segan untuk menarik gorden dan kain apa pun yang bisa mereka raih demi menutup aurat mereka, saat mendapati perintah tersebut telah diwajibkan atas mereka. Masyaallah!
Ketaatan tanpa tapi tersebut tidak lahir dari proses semalam atau dua malam saja, melainkan dari proses pembinaan akidah yang dilakukan oleh Rasulullah dalam kurun waktu tahunan. Akidah yang sahih dan menghunjam kuat dalam diri seseorang telah berhasil membawanya menjadi seorang manusia yang bukan hanya dekat dengan penciptanya, namun juga jauh lebih bermartabat dari sebelumnya.
Ditambah lagi Rasulullah saw. membekali para sahabat dan umat beliau dengan “pendidikan malu”, sebagaimana hadis yang beliau sabdakan, “Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu” (HR. Bukhari). Imam An-Nawawi memberikan syarah atas hadis ini dengan mendefinisikan malu sebagai akhlak yang membangkitkan sikap untuk menjauhi hal buruk dan mencegah berbuat mengurangi hak Allah dan hamba Allah. Yang kalau diambil ibrahnya, setiap perbuatan buruk yang dilakukan seorang muslim, itu berarti rasa malunya telah hilang dari dirinya.
Apalagi di zaman ini, yang berbagai propaganda dan agenda-agenda untuk menjauhkan muslim dari agamanya semakin deras, tak sedikit malah yang secara tidak langsung bangga memberikan predikat pada dirinya sebagai “muslim tapi feminis”, “muslim tapi sekularis”, hingga “muslim tapi liberalis”. Sekali lagi, menjadi muslim tak seharusnya membuat kita lekat dengan hal-hal yang malah bertentangan dengan Islam itu sendiri. Muslim ya muslim, sekuler ya sekuler. Tidak bisa dan tidak mungkin seorang muslim menjadi sekuler di waktu yang bersamaan.
Beberapa fakta tersebut memberikan pelajaran berharga kepada siapa pun yang memiliki amanah ilmu dalam dirinya, agar jangan sampai ilmu Islamnya hanya bertengger dalam benaknya sendiri, namun orang lain tak mendapat manfaat dan pencerahan sama sekali dari ilmu tersebut. Para dai dan daiyah yang menyadari kebobrokan kondisi generasi saat ini haruslah berpikir tentang cara agar umat ini bisa berubah kondisinya, dari yang semula terpuruk menjadi terdepan dan dari yang semula inferior menjadi superior.
Demikian juga bagi umat Muhammad secara keseluruhan. Keinginan untuk senantiasa memperbaiki diri dengan menggali ilmu syar’i harus menjadi karakter yang melekat pada diri. Tidak berpuas dengan pemahaman yang saat ini dimiliki dan terus merasa haus ilmu juga akan menjadi krusial bagi setiap muslim di tengah zaman yang kian rusak ini. Oleh karena itu, pelurusan akidah, pembinaan tsaqafah, dan pemantapan akhlak yang terus dijadikan agenda utama para dai dan daiyah, yang disambut dengan antusiasme dan semangat dari umat secara umum untuk meningkatkan kualitas keislaman diri, atas izin Allah Swt. mampu menjadi wasilah bangkitnya umat dan agama ini. Insyaallah bi idznillah.[]