Waktu Berlalu untuk Dakwah? Bersyukurlah!

"Bersyukurlah! Kesibukan dalam aktivitas meninggikan kalimatullah, berarti telah mengantarkan kita selangkah lebih jauh dari kesibukan dalam bermaksiat."

Oleh. Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasIPost.Com-Pedagang punya waktu 24 jam. Ibu rumah tangga juga memiliki waktu yang sama. Penguasa pun punya waktu 24 jam dalam satu hari. Semua manusia, baik laki-laki ataupun perempuan, di belahan bumi mana pun memiliki waktu yang sama yang tak bisa diulang atau dimajukan. Itu adalah hukum alam atas waktu. Meski sama, tapi banyak orang menyikapi perihal waktu ini dengan cara yang berbeda-beda.

Ada yang mengisinya dengan sibuk mencari uang, menemukan kesenangan hidup, berleha-leha menghabiskan sisa usia. Tapi ada juga yang rela berlelah-lelah melakukan amal saleh untuk mengetuk pintu surga. Hanya saja, semakin ke sini, entah mengapa rasanya waktu semakin pendek dan cepat sekali berlalu.

Suatu peristiwa terasa baru kemarin terjadi, ternyata sudah sebulan yang lalu. Baru saja bangun dan beraktivitas di pagi hari, tak terasa langit mulai gelap tanda bulan akan hadir mengganti mentari. Dengan rasa yang demikian, tak sedikit yang mengeluhkan betapa ia belum sempat melakukan banyak hal, dan waktunya justru terpakai untuk hal-hal yang belum tentu bermanfaat. Alhasil, munculah perandaian, “ah, andai waktu bisa ditambah satu jam lagi, pasti aku akan bisa melakukan lebih banyak hal lagi!”

Begitulah manusia. Mengeluh dan berandai-andai sering sekali dilakukan tanpa sadar. Padahal, mengeluh dan berandai-andai atas sesuatu yang tidak bisa diubah adalah sebuah hal yang tak seharusnya ada dalam kamus seorang mukmin. Hal ini karena mukmin yang mendedikasikan dirinya untuk ketaatan, seyogianya menyikapi waktu dengan jauh lebih baik dan lebih bijak dibandingkan mereka yang tak mengimani Islam. Mengapa? Tak lain dan tak bukan, karena kitab sucinya sendiri bahkan sudah bersumpah dengan “masa” yang menunjukkan betapa pentingnya urusan waktu ini bagi hidup seorang muslim. Sabda-sabda agung baginda Rasulullah saw. pun berulang kali menjelaskan tentang berharganya waktu hidup seorang hamba di dunia yang hanya sementara ini.

Terlebih bagi seorang mukmin yang ‘bergelar’ dai, yang melalui lisannya umat dapat tercerahkan tentang Islam, yang melalui tulisannya umat mendapat asupan bacaan yang membasahi keringnya hati dan pikiran, maka masalah waktu seharusnya sudah selesai dipertanyakan. Kesibukan para dai dalam mengedukasi dan mendidik umat memang menuntut pengorbanan yang lebih daripada yang tidak terjun ke dalam dunia dakwah. Lelah fisik, karena harus pandai membagi waktu. Lelah pikiran, karena harus memutar otak untuk menyelaraskan amanah yang satu dengan yang lain. Semuanya adalah konsekuensi logis dari seseorang yang sudah beritikad menjadi juru dakwah.

Saya pernah mendapatkan kisah dari seorang guru, yang saat ini sedang menjalani ‘rihlah ilmiah’ di negeri Piramida. Kala itu musim dingin yang terbilang ekstrem di Mesir, namun beliau tetap mengisi kajian Islam rutin di pagi hari, yang tentu harus berkorban untuk bangun dini hari karena menyesuaikan waktu di tanah air yang lebih dulu beberapa jam. Hidung yang merah karena dingin yang menusuk dan tubuh berjaket yang dibalut selimut tebal menjadi pemandangan peserta kajian yang beliau siram dengan ilmu Islam. Masyaallah!

Bagi mereka yang berilmu dan senantiasa haus akan ilmu, lalu dengan ilmu yang dimiliki, ia tekadkan pula untuk disebarkan kepada umat, maka di saat itu jugalah rasa lelah akan berbagai pengorbanan yang harus ditempuh mesti diterima dan dijalani. Tapi siapa pun yang benar-benar menjadikan dakwah sebagai poros hidup dan sangat paham konsekuensi apa yang bisa didapat karena aktivitas dakwahnya itu, namun keikhlasan dan keridaan tak pernah lepas dari dirinya, sungguh, bersyukurlah! Kesibukan dalam aktivitas meninggikan kalimatullah, berarti telah mengantarkan kita selangkah lebih jauh dari kesibukan dalam bermaksiat. Apatah lagi sang dai benar-benar meresapi kalamullah dalam surah Shaf ayat 3 yang artinya, “(itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

Ayat singkat tersebut menegaskan bahwa apa-apa yang kita serukan dan terucap dari lisan kita, namun raga ini tak melakukannya, siap-siaplah menanggung kebencian dari Allah. Begitu pun para dai yang waktunya berlalu untuk menyampaikan ayat-ayat Allah, berbagai ibrah dan ilmu di dalam Islam, maka hal itu seharusnya menjaganya dari melakukan apa-apa yang dimurkai Allah. Inilah alasan besar mengapa seorang dai yang bersibuk-sibuk dan berlelah-lelah menjalani 24 jam waktu yang dimiliki dalam satu hari untuk dakwah harus bersyukur, karena hal itu bukan hanya berarti mereka telah menjalani amal yang dilakukan para nabi dan rasul, namun juga telah mendekatkan dirinya pada kenikmatan tertinggi yang diharapkan seorang mukmin, yakni surga-Nya. Masyaallah. []


Photo : Canva

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Iranti Mantasari BA.IR M.Si Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Telaga Cinta-Mu
Next
Nasi Goreng Terenak di Dunia
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram