"Selama umat Islam masih hidup di darul kufur dan hukum Islam tidak ditegakkan dalam kehidupan, maka selama itu dakwah menjadi kewajiban bagi kita semua. Karenanya, meninggalkan aktivitas dakwah adalah sama saja bermaksiat dan tidaklah seseorang bermaksiat kecuali karena lemah imannya."
Oleh. Ana Nazahah
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pernahkah kamu merasa lelah dalam dakwah? Kedua kaki begitu berat melangkah ke majelis ilmu. Begitu enggan melisankan amar makruf, menasihati saudara atau saudarimu yang berbuat keliru. Rasa malas tiba-tiba menyusup di relung kalbu. Ingin berhenti saja dari jalan dakwah ini. Ingin menyerah. Pernahkah?
Saat Jiwa Ada di Persimpangan Jalan
Dakwah adalah aktivitas agung yang begitu tinggi. Namun, komitmen yang rapuh tak mampu menyangga cita- cita besar ini. Rasa rendah diri membuat kita berpikir bahwa kita adalah pengganggu dalam dakwah. Ingin keluar saja agar dakwah tidak menanggung beban dan menghambat segala aktivitasnya.
Tapi, benarkah keputusan itu karena anggapan, "Diri ini adalah beban?" atau justru merasa "Dakwahlah yang membebani diri?" Bukankah dua alasan itu konyol? Ya, cukup konyol untuk mampu mengobrak-abrik ingatan serta perjuangan di masa awal-awal hijrah. Cukup konyol untuk mampu menghapus ingatan bahwa dakwah ini adalah kewajiban mutlak demi terwujudnya kebangkitan Islam yang hakiki.
Ya, benar! Di awal hijrah semua terasa hangat. Hari-hari dihiasi suka-duka, mengharu biru. Perjuangan melawan ambisi diri dan berbagai ekspektasi yang kita impikan sebelum hijrah. Pun perjuangan melawan kebiasaan umum, yang diiringi ejekan atau bahkan bulian dari orang-orang terdekat dalam lingkaran sosial kita.
Kita telah menikmati segala manis dan pahitnya di dalam jemaah dakwah ini. Derai air mata tak sedikit tumpah untuk mengingat segala dosa, pun syukur karena diberi hidayah berkali-kali. Tangisan anak-anak tak berdosa, saudara-saudara kita di Palestina, Ghoutah, Rohingya, tertanam jelas di benak, menjadi bayang-bayang motivasi kala futur menghampiri. Hingga berada di titik ini. Jujur, semua itu tidak mudah, tawa dan air mata itu tak bisa dihargai dengan murah.
Namun saat ini, entah apa yang terjadi. Pesona dunia membuat kita terpana. Godaannya halus menyelinap di relung hati. Walau ada perasaan bersalah yang menghampiri. Masih ada kesadaran, melalaikan dakwah adalah sikap tidak bertanggung jawab yang hanya membuat kita semakin merasa bersalah pada diri. Namun, berada di jalan dakwah di saat gelora perjuangan itu mulai padam, membeku dalam kejumudan, sangat menyiksa diri. Maka di mata kita saat ini, setiap pilihan menjadi dilema. Keluar dari jemaah dakwah atau tidak? Jiwa berada di persimpangan jalan yang pelik.
Wahai Diri Apa yang Merasukimu?
Sebagai manusia yang Allah berikan kita akal untuk berpikir, tidakkah kita sadari bahwa Allah telah begitu mengistimewakan kita? Dijadikan kita bagian dari pemeluk agama Islam, satu-satunya agama yang diterima di sisi Allah Swt.
Seharusnya kita bersyukur. Di antara banyak muslim, Allah pilih kita sebagai salah satu hamlud dakwah-Nya. Allah mudahkan akal kita untuk mencerna pemahaman Islam kaffah, yang tidak semua mampu mencernanya. Allah lapangkan hati kita sehingga mudah menerima Islam berupa mabda. Di mana banyak muslim setingkat profesor pun masih meragukan Islam sebagai solusi bagi hidupnya.
Ya, di saat muslim lain masih bercokol dengan pemahaman sekularisme hidup bebas tanpa aturan. Allah beri kita hidayah. Allah naikkan derajat kita. Dipertemukan dengan majelis ilmu dan teman-teman muslim yang sevisi, bersahabat dalam ukhuwah Islamiah. Berjuang dalam barisan orang-orang yang dengan cita-cita yang sama yakni berupaya untuk mewujudkan Islam sebagai dasar riayah (pengaturan) dalam seluruh aspek kehidupan.
Lantas apa yang membuat kita lupa diri? Kenapa nikmat yang begitu besar ini tidak mampu kita syukuri. Di saat kita paham tujuan hidup tidak lain hanya untuk beribadah kepada Allah Swt. Lalu kenapa kita malah ingin menyempitkan makna ibadah sekadar salat, puasa, zakat dan naik haji? Kita ingin lepas dari kewajiban dakwah. Mengorbankan ukhuwah. Menutup diri dari memperjuangkan hak-hak saudara kita di Palestina, Suriah, Uighur, dll. yang sedang menanti dibela hak-haknya.
Taukah kita? Dalam setiap malam gelap yang pengap, dalam setiap siksaan dan derita yang mereka hadapi, dalam setiap bom yang menyasar rumah-rumah mereka, saat mereka dalam kamp yang disebut konsentrasi itu, mereka menunggu kita. Tak pernah berhenti berharap dan berdoa agar saudara-saudara muslimnya datang. Membawa perisai yang kita sedang dilemakan saat ini. Sudah tak ingin memperjuangkan lagi. Ketahuilah, seandainya mereka bisa berandai, mereka akan lebih senang bertukar posisi dengan kita. Tentu, mereka akan berdakwah sungguh-sungguh.
Karena menjadikan dakwah sebagai poros hidup itu lebih mudah. Daripada hidup di tengah penyiksaan, teror bom, dan penangkapan. Bayang-bayang kematian di depan mata. Kehilangan nyawa adalah hal biasa, apalagi jika kehilangan beberapa organ tubuh. Kehilangan tangan, kaki, mata, sudah sangat biasa. Karenanya, bagi saudara-saudara kita tersebut, posisi kita menguntungkan. Posisi yang karena lemahnya iman, malah kita anggap beban. Sangat disayangkan.
Awas, Alarm Lemahnya Iman!
Dakwah adalah kewajiban bagi setiap pribadi muslim. Selama umat Islam masih hidup di darul kufur dan hukum Islam tidak ditegakkan dalam kehidupan, maka selama itu dakwah menjadi kewajiban bagi kita semua. Karenanya, meninggalkan aktivitas dakwah adalah sama saja bermaksiat dan tidaklah seseorang bermaksiat kecuali karena lemah imannya.
Setidaknya ada tiga penyebab seseorang lemah iman. Pertama, karena menjauhi lingkungan yang menciptakan iklim keimanan. Kedua, karena menjauhi majelis ilmu dan keteladanan. Ketiga, karena sibuk dengan aktivitas dunia. Nah, inilah tiga hal yang menyebabkan lemahnya iman dan membuat seseorang tidak merasa nikmat lagi dalam dakwahnya.
Karenanya, setelah kita mengetahui tiga alasan yang menyebabkan keengganan untuk berdakwah, maka solusinya bukanlah dengan menjauhi dakwah. Menjauhi dakwah hanya akan semakin membuat iman lemah. Saat iman lemah, maka akan datang berbagai masalah, yang kita belum tentu mampu menyelesaikannya sendiri tanpa teman se-ukhuwah.
Sebaliknya yang harus kita lakukan adalah perbaiki kembali komitmen awal. Lebih rajin lagi, menghadiri majelis ilmu, ikut terlibat dalam berbagai aktivitas jemaah. Dengan begitu, insyaallah godaan setan yang inginkan kita hengkang dari medan juang mampu kita lawan. Sembari kita memohon pertolongan Allah, agar senantiasa dijauhkan dari perbuatan yang kelak pasti akan kita sesalkan.
Kesimpulan
Saudaraku, janganlah pernah menganggap dakwah ini sangat butuh akan kita, sehingga selalu menunggu teman jemaah untuk menyadarkan kita saat sedang futur. Perlu kita pahami, bahwa kitalah yang butuh dakwah. Kita yang senantiasa bergantung kepada Allah. Karenanya janganlah lengah, membiarkan futur datang lalu tak lekas mencari solusi. Bertobatlah kepada Allah. Lekas berbenah dan jangan mengulang kesalahan yang sama lagi.
وَلَا تَهِنُوْا فِى ابْتِغَاۤءِ الْقَوْمِ ۗ اِنْ تَكُوْنُوْا تَأْلَمُوْنَ فَاِنَّهُمْ يَأْلَمُوْنَ كَمَا تَأْلَمُوْنَ ۚوَتَرْجُوْنَ مِنَ اللّٰهِ مَا لَا يَرْجُوْنَ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
"Dan janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka ketahuilah mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu rasakan, sedang kamu masih dapat mengharapkan dari Allah apa yang tidak dapat mereka harapkan. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana." (Q.S. An-Nisa': 104)
Wallahu'alam…[]