“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, Sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang tinggi di dalam surga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal, (yaitu) yang bersabar dan bertawakkal kepada Tuhannya.” (QS. Al-Ankabut : 58-59)
Oleh: Ana Nazahah (Kontributor NP)
NarasiPost.com - "Berharap pada manusia adalah seni paling sederhana untuk menderita."
Quote ini biasa menjadi hujjah untuk tidak berharap pada manusia. Nusuk banget maknanya. Nggak salah lagi. Menaruh harap pada manusia adalah cara tergampang bikin patah hati. Pasalnya manusia memang tempat khilaf.
Biasanya qoute seperti ini sering dikaitkan dengan kisah kasih antara dua insan yang dimabuk cinta. Saya pikir kita semua paham, apapun jenisnya pacaran itu haram dalam Islam. Kecuali pacaran setelah pernikahan. Itu baru dibenarkan.
Saya tertarik memaknai ungkapan di atas secara umum. Tentang manusia yang menggantungkan harapnya pada manusia yang lain. Hal ini banyak kita dapati menimpa kaum Muslim hari ini. Dalam makna yang lebih luas. Banyak aktivitas, perilaku, dan bahkan capaian dalam hidup, berupa cita-cita semua itu terkadang justru dilakukan demi mengharap pengakuan manusia.
Sehingga sering sekali manusia menjadi orang lain, untuk dirinya sendiri. Bahkan menjadi asing dalam menjalankan statusnya sebagai Muslim. Dan inilah masalah yang sebenarnya. Fatal resikonya. Inilah yang pantas disebut seni paling sederhana untuk menderita. Menderita di sini, tentu saja tidak di dunia saja. Namun juga di akhirat-Nya.
Bagaimana nggak menderita? Terkadang demi pengakuan manusia kita melakukan banyak hal. Mengorbankan banyak tenaga, harta, usia produktif hilang percuma. Mengerjakan sesuatu menyalahi aturannya pun kita rela. Demi apa? Demi menggantung harap pada manusia. Demi ketenaran, demi prestasi duniawi yang ingin diperlihatkan pada manusia. Demi prestisius, ambisi, merasa menjadi terbaik di hadapan manusia lainnya.
Jika begini, pantas niat dalam berbuat pun jauh dari niat lillah, karena Allah semata. Bahkan dalam perbuatan kita sering melupakan peran Allah sebagai Sang Pencipta. Jika niat saja sudah jauh dari tujuan ibadah kepada-Nya. Lantas bagaimana lagi terhadap syariat-Nya? Yang landasan perbuatan itu sejatinya adalah halal dan haram.
Akhirnya, jangan heran. Seluruh perbuatan pun menjadi tak karuan. Halal haram dicampur menjadi satu. Hidup kita yang berharga ini, kita ikhlaskan menderita demi mengharap harga yang sedikit? Padahal di sisi Allah ada imbalan yang lebih besar.
Allah berfirman:
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ لَنُبَوِّئَنَّهُم مِّنَ ٱلۡجَنَّةِ غُرَفً۬ا تَجۡرِى مِن تَحۡتِہَا ٱلۡأَنۡهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيہَاۚ نِعۡمَ أَجۡرُ ٱلۡعَـٰمِلِينَ. ٱلَّذِينَ صَبَرُواْ وَعَلَىٰ رَبِّہِمۡ يَتَوَكَّلُونَ.
“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, Sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang tinggi di dalam surga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal, (yaitu) yang bersabar dan bertawakkal kepada Tuhannya.”(QS. Al-Ankabut : 58-59)
Manusia adalah makhluk yang lemah, tidak punya daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Sekeren-keren dan sehebat-hebatnya manusia, semua akan mati. Nggak ada manusia yang bisa hidup kekal. Lalu kenapa pada manusia yang lemah dan kurang ini kita menggantungkan harapan?
Apa guna bermegah-megahan, terlihat hebat dan berkuasa. Jika pada akhirnya tanah adalah rumah tempat kembali. Apa yang bisa diharapkan? Harta benda, nama baik, capaian, semua takkan dibawa saat meninggalkan dunia ini. Kecuali ibadahnya semasa di dunia.
Karena itu, janganlah sekali-kali kita menggantungkan harapan pada manusia. Nanti kita akan kecewa. Janganlah demi mengejar pengakuan manusia kita meninggalkan Allah Subhanahu Wa Ta'aala. Nanti kita akan celaka. Ini adalah kepastian yang nyata. Kelak kita akan menyesalinya.
Bersebab itu, gantunglah setiap pinta dan harapan kita hanya kepada-Nya. Dengan begitu hidup akan lebih terarah dan sesuai fitrah. Mengharap kepada Allah adalah salah satu sifat fitrah tersebut. Fitrah ini, jika dilanggar kita sendirilah yang akan menderita.
Allah memerintahkan kita bertawakal kepada-Nya bukan karena Allah butuh. Allah memerintahkan kita tidak menjadikan penilaian manusia sebagai dasar perbuatan bukan karena Allah butuh. Sungguh Allah tidak membutuhkan apapun dari kita. Kecuali kitalah yang membutuhkan Allah.
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلنَّاسُ أَنتُمُ ٱلۡفُقَرَآءُ إِلَى ٱللَّهِۖ وَٱللَّهُ هُوَ ٱلۡغَنِىُّ ٱلۡحَمِيدُ
"Hai manusia, kamulah yang membutuhkan Allah, dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukam sesuatu) lagi Maha Terpuji." (QS. Fathir : 15).
Jadilah Muslim yang bijaksana. Meski dunia menjadikanmu asing karenanya. Tidak diakui manusia tak apa, cukup Allah Subhanahu Wa Ta'aala menjadi sandaran kita.
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ
"Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya." (QS Az-Zumar : 36)
Wallahua'lam.
Picture Source by Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]