"Tidak ada Tuhan selain Allah. Baginya kepemilikan dan pujian. Allah Maha Menghidupkan juga Mematikan. Dan Allah Maha Mampu atas segala sesuatu."
Oleh. Aya Ummu Najwa
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Setiap kita tentu pernah punya sesuatu yang tiba-tiba hilang dan tak kembali. Baik itu barang kecil, hingga harta berharga. Apakah itu teman, anggota keluarga (anak, istri, suami), atau bahkan orang tua kita. Pekerjaan, harta benda (rumah, mobil), tabungan, dan lainnya seketika tiada. Kira-kira siapa yang mengambilnya? Padahal kita sudah berusaha sekuat tenaga untuk menjaganya. Akan tetapi, yakinkah itu semua milik kita? Bukankah kita sudah paham bahwa seisi dunia ini hanya milik Allah? Bahkan ruh manusia pun hanyalah titipan-Nya? Benar, semua hanya titipan dan suatu saat pasti akan diambil kembali.
Termasuk harta dunia yang sering membuat kita lupa. Disebabkan kita merasa telah bekerja keras mencurahkan segala potensi untuk meraihnya, mendapatkan, dan mengumpulkannya. Sehingga kita merasa itu adalah hak dan pencapaian kita. Maka hal itu memunculkan sifat pelit dalam diri, tak mau berbagi, dan takut kehilangan. Kita akan marah, sedih, dan tidak terima ketika harta kita berkurang. Padahal sebuah pinjaman, siap atau tidak, setiap saat pasti akan diminta kembali oleh pemiliknya.
Memang sudah fitrahnya manusia diciptakan untuk mempunyai rasa suka pada harta dan perhiasan dunia, sebagaimana firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 14,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
"Dijadikan indah pada pandangan manusia kesukaan kepada segala yang didambakan, yakni wanita, anak-anak, harta benda yang banyak, baik dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, juga sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)."
Segala perhiasan duniawi ini terlihat begitu menyenangkan dan membuat lupa. Dengan kecenderungannya, manusia lupa bahwa semua hanya pinjaman, boleh memakainya sekadarnya, tapi bukan memilikinya. Jika sudah waktunya diambil maka harus direlakan. Manusia hanya boleh menggenggam bukan menyimpannya di dalam angan. Jadi, ketika Sang Pemilik mengambilnya, ia tak akan menyesal, meratap, sedih, apalagi murka hingga menjadi durhaka.
Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah pun berkata dalam Zaad al-Ma'aad, 2/210, "Sungguh seorang hamba itu baik dirinya, anak-istrinya maupun hartanya hakikatnya milik Allah 'Azza wa Jalla. Sungguh Allah telah menjadikan semua itu sebagai pinjaman kepada hamba-Nya. Karena itu, jika Allah mengambil kembali semua itu dari hamba-Nya, maka Dia seperti pemberi pinjaman yang mengambil kembali barang miliknya dari peminjamnya."
Tentu kita masih ingat kisah Qarun yang ditenggelamkan Allah karena harta. Jika ilmu adalah lambang kemuliaan para rasul dan ulama, maka bagi Qarun, harta adalah lambang kesombongannya. Ia lupa bahwa harta yang ia miliki adalah pinjaman dari Allah untuknya. Ketika ia miskin ia taat, ia meminta Nabi Musa as. mendoakannya agar Allah karuniakan harta padanya. Namun setelah kaya, ia begitu kikir, bahkan sombong mengakui bahwa hartanya adalah hasil kerja kerasnya sendiri.
Ketika ia keluar berparade memamerkan harta titipan itu, banyak manusia melihat dan terpukau. Jika mata manusia tanpa ilmu memandangnya, seakan kemuliaan itu nyata dengan digenggamnya harta. Namun berbeda bagi orang-orang yang Allah karuniakan ilmu. Mereka memandangnya bahwa semua hanya pinjaman, semua hanya sementara, semua hanyalah amanah yang kelak akan dihisab di akhirat.
Kisah ini abadi dalam Al-Qur'an surah Al-Qasas ayat 79-80, “Kemudian Qarun keluar kepada kaumnya dengan memakai perhiasannya. Berkatalah orang yang hanya menginginkan kesenangan dunia, 'Alangkah baiknya kalau kita punya kekayaan seperti yang dimiliki Qarun! Sesungguhnya dia adalah seorang yang beruntung'. Dan berkata pula orang yang diberi ilmu di antara mereka: 'Janganlah kamu berkata demikian, pahala dari Allah lebih baik bagi orang beriman dan beramal saleh dan tidak akan mendapat pahala yang demikian itu melainkan orang yang sabar'."
Tapi mengapa rasanya sakit sekali jika kehilangan sesuatu? Kehilangan sandal saja pasti membuat kita jengkel, apalagi jika yang hilang atau mungkin meninggal itu adalah keluarga kita. Naudzubillah. Perasaan sedih, meratapi, kecewa, dan tak terima pasti kita rasakan. Namun, bagaimana bisa ada perasaan seperti itu di dalam hati kita?
Bisa jadi, karena kita sudah sangat menyukai titipan tersebut hingga timbul rasa memiliki. Kita sering lupa, pada hakikatnya semua adalah milik Allah. Sehingga ketika hal itu diambil kembali oleh-Nya, ada rasa tak rela melepaskan, merasa berat, dan tak terima. Bukankah segala titipan akan diambil lagi oleh pemiliknya yang sah?
Pernah tidak kita ke tempat penitipan barang? Kita menitipkan motor, contohnya. Maka tugas orang yang bekerja di sana hanyalah menjaga titipan kita bukan? Lalu, ketika kita ambil barang titipan kita, apakah petugas itu akan marah, sedih, dan tidak terima? Tentu tidak bisa seperti itu, karena barang itu punya kita. Begitu pula dengan semua yang Allah titipkan kepada kita. Sedih itu wajar dan manusiawi, asal jangan sampai tidak terima, meraung-raung, meratap, hingga depresi tak berkesudahan. Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 284,
"Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi hanyalah milik Allah"
Punya Allah berarti bukan punya kita. Maka, ketika kita mengatakan semua adalah milik kita, kita pasti akan stres ketika kehilangan. Karena kurangnya rasa syukur, kita pun lupa hakikat kepemilikan. Akan halnya seorang istri ketika ditinggal suami, bersedihlah sewajarnya. Berdoalah dan yakinlah, bahwa Allah akan mengumpulkan tiap pasangan kelak di akhirat yang kekal abadi dan tak akan terpisah lagi. Insyaallah.
Jadi semua hanya pinjaman, semua hanya titipan. Semua yang ada pada diri kita, adalah pinjaman, maka gunakan sesuai aturan Sang Pencipta. Keluarga pun hanya titipan, maka perlakukan mereka dan ajak mereka agar berperilaku sesuai dengan aturan Sang Pemilik Kehidupan. Terlebih lagi harta, mobil, rumah, gadget, tabungan, sawah, ladang, jabatan, dan pekerjaan kita, semua hanya pinjaman. Jangan dimasukkan ke hati, jangan terlalu digenggam, gunakan mereka sesuai dengan aturan Sang Pemberi Pinjaman.
Seandainya suatu saat sebagian anggota keluarga atau harta kita diambil kembali oleh Allah, Sang Pemilik Sejati. Maka janganlah bersedih, apalagi sampai berlarut-larut dalam kepiluan, hingga menggugat agar ia kembali. Bukankah sudah sewajarnya pinjaman harus dikembalikan?
Sungguh Allah Maha Baik telah menitipkan segalanya pada kita. Tak sepatutnya kita merasa berat untuk berbagi dengan orang lain, apalagi untuk berinfak di jalan-Nya. Senantiasalah membaca zikir ini, agar hati kita tenang dan lapang.
لَا إِلَهَ إِلاَّ اللَّه لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَ يُمِيْتُ وَ هُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٍ
"Tidak ada Tuhan selain Allah. Baginya kepemilikan dan pujian. Allah Maha Menghidupkan juga Mematikan. Dan Allah Maha Mampu atas segala sesuatu."
Wallahu a'lam bishawab.[]