"Andai pun anak Adam mempunyai satu lembah emas, pasti ia menginginkan lagi dua lembah lainnya, dan itu bahkan tidak akan memenuhi mulutnya (merasa cukup), kecuali tanah (yaitu setelah mati), dan sungguh Allah maha menerima tobat." (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh. Aya Ummu Najwa
NarasiPost.Com-Sudah tabiat manusia selalu menginginkan peningkatan dalam hidupnya, baik itu dari aspek sandang, pangan, maupun papan. Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam sendiri menggambarkan karakter manusia ini dengan sabda beliau riwayat Muttafaqun ‘alaihi, Bukhari no. 6439 dan Muslim no. 1048, "Andai pun anak Adam mempunyai satu lembah emas, pasti ia menginginkan lagi dua lembah lainnya, dan itu bahkan tidak akan memenuhi mulutnya (merasa cukup), kecuali tanah (yaitu setelah mati), dan sungguh Allah maha menerima tobat."
Tak ada yang aneh dan memang itu sangat wajar. Akan tetapi, akan menjadi suatu masalah dan bisa sangat berbahaya, jika manusia membiarkan keinginannya berjalan tanpa aturan, sehingga terus merasa kurang dan tak pernah merasa cukup. Ini terjadi karena manusia senantiasa membandingkan kehidupannya dengan orang lain dan menjadikan penilaian manusia sebagai standar. Tanpa disadarinya, hal inilah yang menjauhkannya dari rasa syukur akan nikmat yang telah Allah berikan dan menjelma menjadi orang yang kufur nikmat.
Sifat selalu merasa kurang terhadap dunia, akan menjadikan hidup manusia jauh dari ketenangan apalagi kebahagiaan. Hidupnya akan terus dikejar-kejar oleh ambisi-ambisi yang ia ciptakan sendiri. Alhasil, makan tak enak, pun tidur tak nyenyak. Terus memikirkan angan-angan yang belum tercapai, maka muncullah berbagai penyakit fisik maupun psikis. Ia lupa bahwa rasa syukur dan rasa cukup adalah hal-hal yang menentukan kebahagiaan.
Sesungguhnya, apa yang membuat manusia terus merasa kurang? Sungguh takaran Allah tak pernah salah. Jika takdir Allah tak pernah salah, mengapa jiwa miskin manusia senantiasa meronta jika berkenaan dengan masalah finansial? Berikut beberapa penyebabnya, yaitu:
Pertama, dunia sudah menjadi obsesi terbesar dalam hidupnya. Terlalu mencintai dunia dan bahkan terobsesi dengannya, akan menjadikan jiwa manusia terus merasa miskin. Meskipun bergelimang harta dan hidup dalam kemewahan, namun orang itu akan selalu merasa kekurangan dan miskin. Kemudian manusia akan terus membangun cita-cita dan angan-angan terhadap dunia, ia lupa bahwa dunia hanya sekejap, hanyalah sementara. Hati dan pikirannya dipenuhi dengan daftar hal-hal yang belum ia lakukan di dunia, barang-barang yang belum ia beli, serta obsesi-obsesi dunia yang belum ia capai. Sehingga ia lupa hakikat penciptaannya, lupa akan Allah, kematian, azab kubur dan akhirat. Dan inilah makna dari tul al amal atau panjang angan.
Begitu berbahayanya panjang angan, ia bisa mematikan hati manusia. Maka sungguh kematian adalah nasihat terbaik. Baik untuk si kaya agar tidak sombong, karena seberapa pun banyaknya kekayaan yang ia miliki tidak akan dapat memundurkan atau menunda kematiannya walau hanya sesaat, dan dia pasti akan menemui kematian. Begitu pula bagi si miskin, bahwa seberapa pun menderita kehidupannya hanya akan sampai batas kematiannya.
Kedua, jahil terhadap urusan akhirat dan juga urusan ilmu agama. Hidup di zaman ketika hukum Islam tak diterapkan, dimoderasi, bahkan dimusuhi, kita akan menjumpai banyak sekali orang yang dengan bangga memamerkan hartanya tanpa rasa malu. Tren unboxing harga outfit, house tour, pamer saldo ATM, dan aksi-aksi pamer kekayaan lainnya. Mereka tidak sadar bahwa hal itu merupakan kebiasaan orang-orang yang terdahulu yang telah dilaknat dan diazab oleh Allah Swt.
Ingatlah kisah dalam surah Al-Qashash ayat 79, "Maka keluarlah dia (Qarun) ke hadapan kaumnya dengan membawa segala kemegahannya. Dan berkatalah orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia, 'Semoga kita memiliki harta kekayaan seperti apa yang telah dianugerahkan kepada Qarun, sesungguhnya ia memiliki keberuntungan yang besar'."
Ayat tersebut menggambarkan tabiat Qarun yang suka keluar memamerkan segala kekayaannya, maka ia ditenggelamkan oleh Allah bersama hartanya ke dalam bumi.
Ketiga, lebih suka berkumpul dengan orang yang lebih kaya tapi jarang mau berkumpul dengan yang lebih miskin. Pengaruh teman dalam kehidupan sangatlah kuat. Maka jika seorang hamba lebih suka berteman dengan golongan kaya saja, bisa jadi ia akan terus melambungkan angannya terhadap materi, dan sama sekali tak tergambarkan bahwa di dunia ini ada golongan lemah dan miskin. Dikisahkan ada seseorang yang datang mengadu kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam tentang hatinya yang keras. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah yang berkisah, "Ada seorang lelaki yang datang mengadu pada Nabi shallallahu'alaihi wasallam tentang hatinya yang keras, maka beliau shalallahu'alaihi wasallam bersabda; 'Berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim'."
Karena sesungguhnya berkumpul dengan orang-orang lemah yang diberi keterbatasan harta serta anak yatim, dapat melembutkan hati sehingga mudah untuk bersyukur atas segala nikmat Allah. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadis riwayat Imam Al Bukhari dan Imam Muslim, "Lihatlah orang-orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah memandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan begitu, hal itu akan membuatmu tidak mudah meremehkan nikmat Allah yang diberikan kepadamu."
Keempat, kurang bersyukur. Kurangnya mensyukuri atas nikmat yang Allah anugerahkan adalah salah satu penyebab mengapa hati senantiasa merasa kurang, baik kurang bersyukur pada hal-hal material maupun pada hal yang bersifat immaterial. Jika seorang hamba senang bersyukur ketika sandang, pangan, dan papannya bertambah, maka dia telah menjadi orang yang materialis. Jika rasa syukurnya harus menunggu profit naik atau aset bertambah, inilah seorang hamba yang cinta dunia. Padahal, sebagai seorang yang beriman haruslah rasa syukur tidak hanya dalam hal finansial semata. Apakah hartanya bertambah atau berkurang, rumahnya sempit ataupun lapang, makanannya lezat ataupun biasa saja, selama dia masih diberikan keimanan untuk berdoa kepada Allah dan berharap kepada Allah, maka haruslah manusia selalu bersyukur kepada Allah.
Kelima, hati yang mati. Matinya hati tidak dapat menumbuhkan buah tawakal, kanaah, syukur, maupun sabar. Jika seorang hamba mempunyai hati yang tak bersih, maka apapun akan berbuah keburukan, dan setiap keburukan yang menimpanya adalah senantiasa merasa kurang pada dunia. Dalam sebuah hadis riwayat Ibnu Hibban dan Syeikh Syu’aib Al Arnauth telah berkata bahwa sanad hadis ini sahih sesuai syarat Muslim, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata padaku, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau mengira bahwa banyaknya harta yang menjadi sebab orang disebut kaya (ghani)? 'Benar,' Abu Dzar menjawab. Rasulullah bertanya lagi, 'Apakah engkau mengira bahwa sedikitnya harta itu adalah fakir?' 'Benar,' Abu Dzar kembali menjawab. Kemudian beliau pun bersabda, 'Sesungguhnya yang kaya (ghani) adalah kayanya hati (hati yang selalu kanaah/merasa cukup). Sementara fakir adalah fakirnya hati (hati yang selalu kurang/tak pernah puas)'."
Keenam, kurang ibadah. Kehidupan dunia adalah ladang untuk memperbanyak bekal menuju kampung akhirat. Bekal menuju kehidupan yang sesungguhnya kelak hanya amal ibadah, bukanlah harta dunia. Berapa pun banyaknya harta yang dimiliki jika tidak digunakan di jalan ketaatan, maka akan menyebabkan kesengsaraan, baik di dunia maupun di akhirat. Maka yang harus dilakukan selama masih hidup di dunia ini adalah ibadah kepada Allah. Selain karena itulah alasan mengapa manusia itu diciptakan, ibadah juga merupakan komunikasi manusia dengan Rabbnya. Sehingga jika intensitas dan kualitas ibadah ini berkurang dan tak diperhatikan, maka manusia akan lebih sibuk dengan hal-hal duniawi yang tak pernah cukup dan akan terus melambai-lambai menggoda manusia melupakan akhirat.
Ketujuh, ketika hartanya tercampur dengan yang haram. Harta yang haram akan menjadikan hati manusia tidak pernah merasa cukup. Ia membuat hati terus merasa kurang dan ingin lebih, karena tiadanya keberkahan di dalamnya. Imam Syafi'i rahimahullah pernah ditanya oleh seseorang, "Saya mempunyai penghasilan yang besar, namun mengapa saya masih merasa kurang? Maka Imam Syafi'i menjawab dengan sederhana, 'Engkau merasa kurang di tengah dinar yang begitu banyak yang Allah berikan kepadamu, pasti ada di antara dinar itu yang tercampur dengan yang haram, yang haram itulah yang memakan dan melahap semua keberkahan pada dinar yang lainnya'."
Kedelapan, karena kurang berdoa kepada Allah Swt. Doa adalah inti ibadah. Doa adalah obat dari setiap penyakit. Doa adalah bukti penghambaan seorang hamba. Allah sangat mencintai hambanya yang senang berdoa. Dan sebaliknya, Allah sangat marah kepada hambanya yang tak pernah menengadahkan tangannya kepada Rabbnya untuk memohon. Maka mohonlah keistikamahan dalam ketaatan, kecukupan dalam hidup, kelapangan hati, rasa kanaah, dan mintalah perlindungan kepada Allah dari rasa tak pernah cukup akan dunia dan dari keinginan terhadap yang haram.
اَللَّهُمَّ اِكْفِنَا بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَبِطَاعَتِكَ عَنْ مَعْصِيَتِكَ وَبِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ وَصَلَّى الله ُعَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
"Ya Allah, cukupkanlah kami dengan yang halal agar kami tidak menginginkan yang haram dengan ketaatan kepada-Mu, agar kami tidak menginginkan kedurhakaan dengan anugerah-Mu, dan agar kami tidak berpaling kepada selain-Mu." (HR. At-Tirmidzi)
Wallahu a'lam bish showab[]