"Tahun demi tahun berganti. Resolusi hanya seputar pencapaian dalam bermuamalah atau hal-hal yang bersifat duniawi. Pekerjaan mapan, punya rumah permanen, punya mobil pribadi, bahkan soal jodoh tak luput menjadi resolusi. Lupa, jika jiwa dan spiritual pun perlu diperbaiki, butuh disangga oleh sebuah resolusi."
Oleh. Ana Nazahah
(Kontributor Tetap Narasipost.com)
NarasiPost.Com-Tak terasa waktu bergulir begitu cepat. Kini kita telah menginjak Januari di tahun 2022. Ada yang merayakan pergantian tahun dengan bahagia penuh suka. Ada pula yang menjalaninya dengan perasaan biasa saja. Namun, tak sedikit pula, ada yang melewati tahun baru dengan sikap menyesal karena gagal dalam mengeksekusi resolusi yang sudah dibuatnya di tahun lalu.
Apapun kondisi yang dialami saat mengawali tahun baru, setiap insan pastinya tak luput dari menyusun resolusi baru lagi. Baik yang dirangkai dalam sebuah catatan nan rapi, atau sekadar mengukirnya dalam ingatan. Resolusi adalah komitmen dan tuntutan hidup yang akan dijalaninya di tahun ini.
Namun sayangnya, tahun demi tahun berganti. Resolusi hanya seputar pencapaian dalam bermuamalah atau hal-hal yang bersifat duniawi. Pekerjaan mapan, punya rumah permanen, punya mobil pribadi, bahkan soal jodoh tak luput menjadi resolusi. Lupa, jika jiwa dan spiritual pun perlu diperbaiki, butuh disangga oleh sebuah resolusi.
Sebagai muslim, tidaklah pantas bagi kita jika hanya mengukur kesuksesan dan kegagalan dengan standar pencapaian materi. Lantas yang dievaluasi hanya masalah untung dan rugi. Lupa akan status diri, bahwa sebagai hamba Allah, kelak kita akan dimintai pertanggungjawaban pada setiap perbuatan dan waktu yang dihabiskan di dunia ini. Sebagaimana sebuah hadis mengatakan: “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya ke mana dihabiskannya; tentang ilmunya, bagaimana dia mengamalkannya; tentang hartanya, dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya; serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya” (HR. Tirmidzi).
Karenanya, akan lucu sekali jika seseorang mengatakan dirinya sudah berhasil dan sukses melewati tahun lalu dengan standar materi. Padahal sejauh ini, dia tidak dekat dengan Tuhannya. Lupa ibadah, lupa tugasnya sebagai hamba yang sejatinya memiliki misi penting sebagai khairu ummah di bumi. Maka, tak salah jika kita menyebut tindakan ini lucu sekali, jika ia mengganggap dirinya sebagai sosok yang sukses, di saat Allah Swt. menyebutnya sebagai pribadi yang merugi, sebagaimana firman Allah:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا. ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah, ‘Apakah ingin Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang perbuatan-perbuatannya paling merugi?’ (Mereka itu) orang yang usahanya sia-sia dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka itu berbuat sebaik-baiknya" (QS. Al-Kahfi Ayat 103-104).
Jika ditelaah lebih jauh, mayoritas muslim hari ini hidupnya dipersembahkan hanya untuk mengejar materi. Dari pagi hingga sore hari, yang dipikirkannya adalah bagaimana mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Paham yang dipropagandakan dan disebarkan oleh bangsa Barat ini telah menjadikan kita budak nafsu.
Pemikiran kapitalisme tentu saja bertentangan dengan syariat agama kita. Khususnya dalam hal menentukan tujuan hidup manusia, serta konsep kegagalan dan kesuksesan bagi penganutnya. Dalam agama kita, tujuan hidup bagi setiap muslim adalah dalam rangka beribadah kepada Allah, sementara tujuan dan pencapaian hidup dalam kapitalisme hanya berorientasi pada materi yang nisbi. Karenanya, merindukan resolusi takwa terwujud pada diri, dengan mengandalkan standar kapitalis-sekuler sebagai solusi, adalah "bagai melukis di atas air," takkan pernah bisa.
Dan memang begitulah adanya. Setiap insan beriman seharusnya menyusun resolusi takwa berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah saja. Standar ini pula yang dijadikan sebagai dasar untuk bermuhasabah dan mengevaluasi setiap pencapaian yang kita lakukan. Khususnya sebagai hamba Allah, yang telah Allah taklifkan bagi kita syariat Islam untuk diterapkan dalam kehidupan individu, masyarakat, bahkan negara.
Selanjutnya, resolusi tak boleh sekadar rancangan. Namun wajib dikaji dengan teliti, seberapa efektif resolusi tersebut saat dieksekusi. Kita bisa mengukurnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membangun. Misalnya, "Seberapa efektif resolusi yang kita buat, hingga mampu mencapai target menjadi pribadi yang lebih baik lagi?."
"Seberapa strategis resolusi demi mengeksekusi setiap perencanaan, sehingga lahirlah pribadi yang berkualitas dari hari ke hari?."
"Mampukah resolusi tersebut melahirkan jiwa-jiwa bertakwa di hadapan Rabb pemilik nyawa? Hidup dengan bertindak sesuai dengan perintah Rabb, sebagaimana yang dicontohkan oleh rasul-Nya. Menaati Allah dengan perasaan taslima, tanpa paksaan dan suka rela."
Sejauh ini, resolusi yang sedang kita susun, sudahkah memakai pendekatan ini? Jika belum, maka sudah saatnya mempersiapkan resolusi baru demi menyongsong hidup yang baru di tahun ini. Terlebih, dengan bergantinya tahun, itu artinya semakin berkurang waktu kita di dunia. Maka, untuk resolusi takwa diperlukan evaluasi yang dilakukan setiap hari berganti. Muhasabah tidak hanya dilakukan setiap tahun baru saja. Sungguh, tak ada yang menjamin kita hidup sampai tahun ini berakhir.
Oleh sebab itu, mari jalani tahun ini seolah ini adalah tahun yang terakhir bagi kita. Dengan begitu kita akan senantiasa hidup dalam sikap wara'. Tidak sombong apalagi jemawa berbuat dosa seolah hidup selamanya. Sembari mengingat peringatan Allah di surat Al-Baqarah ayat 281, “Dan takutlah kamu akan suatu hari ketika kamu semua dikembalikan kepada Allah, lalu setiap diri diberikan balasan terhadap apa yang telah dikerjakannya (ketika di dunia)."
Wallahu'alam[]