"Tidak sedikit umat Islam yang masuk ke dalam perangkap ini, yaitu saat terselip insecurity. Rasa tidak percaya yang hadir di dalam diri terjadi bukan semata karena banyaknya kekurangan yang kita miliki. Namun, ketika mindset kita terfokus kepada pencapaian orang lain."
Oleh. Annisa Fauziah, S.Si
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Saat ini kita hidup di zaman di mana kemapanan, jabatan, kecantikan, dan sebagainya menjadi sesuatu yang dipertontonkan dan dibanggakan. Terlebih lagi, semua itu kini secara masif diunggah di media sosial. Jika kita tidak punya kontrol diri yang baik, mungkin kita akan mudah terbawa “tsunami informasi.”
Tak bisa dimungkiri, sistem kapitalisme sekuler yang eksis di dalam kehidupan hari ini telah mengubah banyak persepsi kita tentang kehidupan. Standar kesuksesan, standar baik dan buruk, terpuji dan tercela, hingga kebahagiaan semuanya dilekatkan kepada materi dan orientasi duniawi.
Bahkan, tidak sedikit umat Islam yang masuk ke dalam perangkap ini, yaitu saat terselip insecurity. Rasa tidak percaya yang hadir di dalam diri terjadi bukan semata karena banyaknya kekurangan yang kita miliki. Namun, ketika mindset kita terfokus kepada pencapaian orang lain. Bahkan, tanpa sadar kita pun sering terhanyut untuk menggantungkan mimpi kepada kehidupan orang sekitar.
Pada akhirnya, banyak orang yang merasa tidak sehebat temannya di media sosial dan tidak seharmonis keluarga rekan kerjanya. Ada pula seorang ibu yang merasa tidak cakap untuk mendidik anak-anaknya hanya karena melihat anak tetangga yang sudah pandai menulis dan membaca. Lalu, ia mulai meratapi kondisi anaknya yang masih belajar mengeja.
Melihat unggahan ibu lain yang pintar memasak, rumahnya rapi, dan anaknya pintar berkomunikasi tak jarang membuat kita merasa menjadi ibu yang gagal. Padahal, jika kita lebih banyak bersyukur maka kita akan lebih banyak berfokus kepada proses saat menjalani setiap peran, bukan kepada hasilnya.
Apalagi sejatinya, media sosial sering kali hanya menampakkan hal-hal baik dari seseorang, tetapi kita tak pernah tahu bagaimana kesulitan dan perjuangan yang orang-orang lakukan dalam menjalani kehidupannya. Maka, insecure hadir karena sebuah persepsi yang harus kita benahi, yaitu ketika kita meletakkan standar kehidupan berdasarkan kepada sudut pandang manusia.
Standar kecantikan yang paripurna ala sosialita membuat banyak muslimah yang merasa diri tak sempurna hanya karena tak memiliki kulit glowing bak artis ibu kota. Kita sering lupa bahwa bentuk fisik dan warna kulit kita adalah qada dari Allah Swt. Oleh karena itu, kita tak akan pernah dihisab karena kulit kita yang berwarna gelap. Sebab, yang membedakan nilai kita di hadapan-Nya hanyalah takwa.
Jika kita merefleksikan kembali tentang potensi kehidupan manusia. Bukankah Allah Swt. telah menciptakan kita sebagai sebaik-baiknya makhluk? Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an surah At-Tin ayat 4 yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya". Allah Swt. menciptakan kebutuhan jasmani, naluri, dan juga potensi akal agar kita bisa membedakan mana yang baik dan buruk.
Jika seorang muslim kurang memiliki amunisi berupa akidah yang kokoh maka pasti ia akan mudah terseret kepada arus ini. Hal sepele yang mungkin patut menjadi muhasabah adalah tatkala kita berselancar di media sosial. Pada awalnya mungkin kita berharap bisa berjejaring untuk memperluas pertemanan. Selain itu juga ingin mudah mendapatkan akses informasi dan juga mencari inspirasi.
Akan tetapi, nyatanya saat fokus kita justru kepada apa yang tidak kita miliki maka wajar kita akan selalu merasa kurang. Bahkan tanpa sadar kita sering kali merasa insecure hingga lupa bersyukur atas apa yang sudah Allah berikan kepada kita saat ini. Allah Swt. mengingatkan kita di dalam Al-Qur’an surah Ibrahim ayat 7 yang artinya: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
Mengatasi insecure bukan berarti harus menganut body positivity yang menggaungkan my body my authority. Tak perlu kita berpakaian seksi membuka aurat untuk menunjukkan bahwa kita menerima diri kita seutuhnya. Justru bentuk syukur kita kepada-Nya adalah dengan menutup aurat kita secara sempurna sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Bukan sekadar mengikuti apa yang kita inginkan.
Tak perlu malu jika kita dilabeli sebagai orang yang tidak modis hanya karena jilbab dan khimar yang kita kenakan. Justru banggalah dengan identitas kita sebagai muslim yang senantiasa memiliki pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan syariat-Nya. Maka, tak perlu merasa tertinggal karena kita tak mengusung pemikiran liberal. Sebab, kita mulia karena mengemban ideologi Islam, bukan yang lainnya.
Oleh karena itu, mari kita hilangkan insecure dengan semakin meluaskan syukur. Sebab terlalu banyak nikmat Allah Swt. yang tak akan pernah bisa kita hitung dan mungkin luput untuk disyukuri. Salah satunya, sampai detik ini kita masih diberikan kesempatan oleh Allah Swt. untuk hidup di dunia dan mempersembahkan amalan terbaik, Sebab, jika kesempatan itu tak lagi Allah Swt. berikan, bukankah yang ada hanyalah penyesalan? Maka, meluaskan syukur adalah kunci agar kebahagiaan hidup bisa kita dapatkan.
Perspektif syukur akan membuat kita mampu melihat kebaikan dari setiap peristiwa dan kanaah atas apa yang kita punya. Lalu kita pun akan bertanya, Apakah kita memiliki alasan untuk tidak bersyukur kepada-Nya? Padahal, kenikmatan yang Allah Swt. berikan terhampar luas tak terhingga.[]