"Jika kesadaran berjuang dan berkorban itu hanya dimiliki oleh segelintir orang, maka beruntunglah bagi orang-orang yang sedang menikmati jalan kebenaran."
Oleh. Ahsani Annajma
NarasiPost.Com-Sering kali aku berjumpa dengan seseorang yang ketika diseru kepada dakwah masih terasa berat. Kata-kata dakwah itu seperti alergi. Alergi adalah sebuah respon sistem kekebalan tubuh yang berlebihan ketika zat asing menghampiri. Mereka suka berdalih dan berpaling, bahkan tak jarang menimbulkan reaksi yang berlebihan. Baik itu sekadar berdiskusi, mengkaji, menelaah, apalagi mendalami dan mengamalkan seruan dakwah itu.
Belum lama, ada seseorang yang mengatakan, “Jangan belajar agama terlalu dalam."
Miris, sebuah agama dan ajarannya dianggap candu yang berbahaya bagi sebagian pihak. Di sisi lain, ada yang sibuk mencari alasan, mulai dari tidak mendapatkan izin dari suami atau orang tua, tidak memiliki waktu luang, sibuk mengurus rumah tangga dan anak anak, sibuk dengan pekerjaan di kantor, sibuk dengan wirausahanya, atau sibuk dalam perkara dunia lainnya. Berbagai alasan diklaim oleh mereka, sehingga belum bersegera menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim yakni menuntut ilmu agama dan ikut mendakwahkannya. Bagi mereka, melakukan ibadah salat lima waktu, berpuasa, berzakat, berhaji, sedekah, dan melakukan ibadah nafilah, serta menjadi pribadi berakhlak baik, sudah cukup menjadi standar muslim yang baik.
Saya juga pernah mendengar ada ucapan, “Jangan berdakwah sebelum diri kamu sudah bisa menjadi contoh bagi orang lain, urus diri sendiri saja belum benar, bagaimana mau nasihatin orang lain?”
Sederhananya, ketika belum mampu menjadi contoh, jangan berdakwah, mungkin yang pantas berdakwah dan mengisi mimbar-mimbar itu hanya malaikat, karena malaikat adalah makhluk suci yang tidak memiliki kesalahan. Tak perlu juga untuk berdakwah dan berjuang, karena baginya itu urusan para ustaz dan ulama.
Padahal, jika kita mau melakukan introspeksi diri, setiap tahun, bulan, hari, jam, menit, detik, Allah menurunkan rezeki dan kasih sayang kepadanya. Coba bayangkan jika mau hitung-hitungan dengan nikmat Allah, misalnya menghirup udara ini berbayar, mampukah kita membayarnya? Saya rasa, orang paling tajir sekalipun, tidak akan mampu membayar sampai napas berhenti di kerongkongannya, Subhanallah!
Kesadaran seorang muslim untuk berdakwah ini sangat mahal, hanya sedikit orang yang mau berkorban dan ikut berdakwah demi tegaknya dinul Islam. Padahal, Allah sudah mewanti-wanti, bahwa kehidupan ini fana, dan hanya sebuah panggung sandiwara, kehidupan yang sebenarnya dan kekal ialah di akhirat.
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu” (TQS Al-Hadid ayat 20).
Lantas, mengapa masih terasa berat untuk bergerak? Jangan-jangan paham moderasi beragama sudah berhasil meracuni pikiran mereka? Sehingga hidup tanpa aturan Islam, seolah aman-aman saja, bertindak dengan hukum buatan manusia seolah tak mengapa, sehingga keseharian hidupnya dipenuhi dengan perkawa duniawi, seolah-olah ia tidak mati menghadap Ilahi untuk mempertanggungjawabkan kehidupannya di dunia. Jika kesadaran berjuang dan berkorban itu hanya dimiliki oleh segelintir orang, maka beruntunglah bagi orang-orang yang sedang menikmati jalan kebenaran. Sebab, jalan kebenaran ini penuh duri dan onak, semua orang mengetahui hal ini secara meyakinkan tanpa ada keraguan sedikitpun. Bagaimana tidak, mereka menyaksikan dan mendengar setiap hari algojo jahiliah mengarahkan moncong senapan mereka ke dada kaum mukmin dan berkat, "Tembak langsung aktivis Islam!”
Kendati sulit dan berat, orang mukmin yang meyakini kebenaran Islam dan memperjuangkannya tentunya merasakan kenikmatan tersendiri, bahkan baginya sulit diungkapkan dengan kata-kata. Nikmatnya jalan kebenaran ini dapat meringankan segala kesulitan, memudahkan segala kesusahan, membuat rintangan menjadi enteng, dan menjadikan seseorang rida dengan Allah, kendati ia menjalani masa paling sulit sekalipun dalam hidupnya. Alasan terbesar ia memilih jalan kebenaran, karena ia yakin, jual beli dengan Allah tak akan membuatnya menjadi rugi. Sebagaimana digambarkan dalam sebuah firman:
إِنَّ ٱللَّهَ ٱشْتَرَىٰ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَٰلَهُم بِأَنَّ لَهُمُ ٱلْجَنَّةَ
“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri mau-pun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka” (TQS At-Taubah [9]:111).
Semoga Allah menjadikan kita bagian dari orang-orang yang mudah menerima seruan dakwah dan sadar untuk mendakwahkannya, juga menjadikan kita bagian dari orang-orang yang dapat mereguk nikmatnya jalan kebenaran.
Hadanallah waiyyakum ajma'in.[]