"Dalam Islam, istri menyadari peran pentingnya sebagai ummu wa rabbatul bait dan setiap aktivitasnya di rumah adalah jalan meraih pahala. Istri tidak akan merasa kecil menjalani perannya karena Allah Swt. yang telah mengamanahkan tugas itu."
Oleh. Ai Siti Nuraeni
(Pegiat Literasi)
NarasiPost.Com-"Seorang suami yang sukses, tentu karena ada dukungan yang maksimal dari istrinya. Tanpa dukungan dari istrinya, seorang suami belum tentu bisa sukses.”
Pernyataan ini disampaikan oleh Bupati Bandung Dadang Supriatna dalam sebuah acara di Kecamatan Cileunyi pada Selasa, 21 Desember 2021 lalu. Selanjutnya beliau mendorong para peserta acara untuk memanfaatkan program Kredit Usaha Tanpa Bunga dan Kartu Wira Usaha dari Pemerintah Kabupaten Bandung untuk membantu suami, mendukung pemulihan ekonomi masyarakat, dan dalam rangka menekan bank keliling atau bank emok di masyarakat (Inilahkoran.com, 21/12/2021).
Menjadi istri adalah sebuah peran yang harus dijalani wanita setelah ia menikah. Dalam pernikahan, istri akan menjadi rekan suami dalam mewujudkan visi dan tujuan yang ingin diraih bersama. Konsekuensi dari peran ini adalah seorang istri harus bertindak sebagai ibu dan pengatur urusan dalam rumah tangganya. Sekalipun area kerjanya hanya berkutat di rumah saja, peran ini tidak boleh dianggap sepele karena sangat berpengaruh dalam kesuksesan suami serta anak-anaknya.
Hal itu dikarenakan istri adalah manajer keluarga yang akan mempersiapkan segala kebutuhan suami juga nasihat yang baik supaya bisa menjalankan tugasnya sebagai pemimpin, pencari nafkah serta anggota masyarakat. Ia pula yang akan menjaga anak-anak, merawat, dan mendidik mereka dengan sebaik-baiknya. Istri salihah juga akan menjaga rumah dan harta suami saat sedang di luar rumah. Jika semua bisa dilakukan dengan baik, suami akan mendapatkan dorongan positif dan bersemangat untuk berprestasi karena semua kebutuhannya terpenuhi dan hatinya tenang sekalipun tidak bersama keluarganya.
Namun, peran istri dalam keluarga saat ini sulit untuk diwujudkan dengan optimal karena banyak dari mereka yang memilih masuk dalam dunia kerja. Dengan aktivitas tambahan ini, waktu untuk memperhatikan kebutuhan suami dan anak berkurang, tenaga dan pikiran yang terkuras di tempat kerja telah membuat istri kelelahan dan menurunkan kualitas aktivitas di rumah. Meskipun berat, wanita tetap melakukan pekerjaan di luar rumah dengan berbagai alasan seperti kebutuhan ekonomi yang mendesak atau stigma masyarakat yang memandang wanita karier lebih berharga dari sekadar ibu rumah tangga. Bahkan para feminis senantiasa menyatakan bahwa wanita harus mandiri secara finansial agar dianggap sederajat dengan para pria.
Pemerintah juga memberikan motivasi tersendiri bagi wanita untuk bekerja dengan membuat berbagai program pemberdayaan perempuan. Aliran bantuan modal usaha begitu deras ditujukan pada wanita karena mereka dianggap ulet dan kreatif sehingga bisa menciptakan peluang usaha. Dengan program ini, diharapkan para wanita bisa berdaya menghasilkan uang dan mampu membantu perekonomian keluarga.
Semua kondisi ini menempatkan wanita dalam dilema antara menjadi full time mother atau menjadi wanita karier dan half time mother. Efek samping lain dari banyaknya istri yang bekerja membawa kerapuhan dalam keluarga, maka tak heran semakin banyak perceraian dan fenomena anak broken home. Inilah yang terjadi jika individu, masyarakat, dan negara dipengaruhi pemikirannya oleh ideologi kapitalisme.
Kapitalisme menjadikan materi sebagai tolak ukur kebahagiaan, karenanya orang kaya dianggap lebih berharga, wanita karier lebih baik daripada ibu rumah tangga, tidak punya harta berarti sengsara dan banyak pandangan salah lainnya. Maka tak heran jika manusia dalam sistem ini menjadikan materi sebagai tujuan perbuatan. Termasuk seorang istri, ketimbang harus menjadi ibu rumah tangga biasa, mereka lebih memilih menjadi wanita karier agar menghasilkan materi.
Pandangan keliru ini seharusnya tidak terjadi pada negara berpenduduk mayoritas muslim. Karena dalam Islam, istri menyadari peran pentingnya sebagai ummu wa rabbatul bait dan setiap aktivitasnya di rumah adalah jalan meraih pahala. Istri tidak akan merasa kecil menjalani perannya karena Allah Swt. yang telah mengamanahkan tugas itu. Sebagaimana dalam sebuah hadis yang artinya:
"Dan seorang wanita adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan ia akan dipertanyakan (bertanggung jawab) atas kepemimpinannya.” (HR Al-Bukhari).
Adapun masyarakat Islam tidak akan memandang rendah wanita yang tidak bekerja karena mereka telah memahami bahwa bekerja bagi wanita adalah hal mubah, sedangkan menjadi istri dan ibu yang baik adalah kewajiban. Maka dari itu, masyarakat tidak akan membeda-bedakan wanita bekerja dan tidak bekerja. Islam juga tidak akan membiarkan pemahaman keliru seperti feminisme berkembang di masyarakat. Karena wanita dan pria itu sederajat, yang membedakan hanyalah ketakwaannya.
Selanjutnya, negara akan berusaha mendudukkan wanita pada tempat yang aman sehingga bisa menjalankan tugas utamanya. Wanita tidak akan didorong untuk bekerja, negara akan memastikan kebutuhan mereka tercukupi dengan memberikan lapangan pekerjaan pada para suami. Jika wanita tidak punya suami, kewajiban mencari nafkah akan jatuh pada ayah, paman, kakek atau anak laki-laki yang telah dewasa.
Jadi, wanita bisa mencurahkan seluruh waktu, pikiran, dan tenaganya dalam mendukung, menasihati, dan mendampingi suami hingga sukses serta mendidik generasi terbaik.
Selanjutnya, perlu perubahan sistematis untuk bisa mendudukkan kembali istri pada fungsi utamanya. Adapun sistem saat ini tidak bisa merealisasikan hal itu karena asasnya justru bertentangan. Maka perlu penerapan Islam menyeluruh untuk mewujudkannya.
Wallahu a'lam bis shawab.[]