Angka kematian Mpox lebih tinggi daripada angka kematian Covid-19 saat ditetapkan sebagai darurat kesehatan publik internasional.
Oleh. Siti Komariah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Cacar monyet atau Monkeypox (Mpox) telah mengguncang dunia. Pasalnya, penyakit ini terus mengalami peningkatan jumlah kasus di Republik Demokratik Kongo. Menteri Kesehatan Samuel-Roger Kamba mengatakan, ada peningkatan kasus dalam beberapa hari terakhir ini, yakni dari 16.000 kasus menjadi 16.700 kasus. Sementara itu, jumlah kematian juga mengalami peningkatan dari 548 menjadi 570 kematian (cnbcindonesia.com, 20-08-2024).
Wabah ini terus menyebar ke berbagai negara, bahkan terkonfirmasi telah sampai di negara Asia, yakni Thailand dan Indonesia. Dengan penyebaran penyakit yang terus meningkat tersebut, World Health Organization (WHO) sempat mengumumkan cacar monyet atau Mpox sebagai darurat kesehatan publik yang harus menjadi perhatian dunia internasional pada 23 Juni 2024.
Hanya saja, dalam penanganan virus Mpox ini, WHO menyarankan untuk melakukan vaksinasi terarah, bukan vaksinasi massal. Artinya, vaksinasi dilakukan kepada orang yang berisiko tertular penyakit ini seperti tenaga kesehatan, orang yang melakukan perjalanan ke wilayah endemis, dan juga kelompok lain yang berisiko, seperti anak-anak atau lansia.
Juru bicara WHO Margaret Harris juga menegaskan bahwa tidak perlu melakukan lockdown wilayah, tetapi hanya perlu pengawasan yang baik untuk menentukan siapa yang sakit dan diagnostik laboratorium yang baik (duniatempo.co, 21-08-2024). Lantas, apa itu cacar monyet atau Mpox yang sedang mengguncang dunia?
Mengenal Mpox
Cacar monyet atau Mpox merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh virus MonkeyPox yang termasuk genus Orthopoxvirus dalam keluarga Poxviridae. Mpox adalah penyakit zoonosis, artinya penyakit ini dapat menyebar antara hewan dan manusia. Virus ini pada awalnya ditemukan di Denmark tahun 1958, pada seekor monyet untuk penelitian. Selanjutnya, kasus pertama pada manusia ditemukan di Republik Demokratik Kongo tahun 1970, pada seorang anak laki-laki berusia sembilan bulan (who.int, 18-04-2023).
Selanjutnya, pada 2022 virus ini terus menyebar ke seluruh dunia dan menjadi wabah yang menyerang beberapa negara, baik negara endemis Mpox seperti Benin, Kamerun, Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, dan lainnya maupun negara nonendemis Mpox seperti Inggris, Portugal, Kanada, dan lainnya. Hanya saja, wabah pada 2022 disebabkan oleh infeksi virus Mpox klade II yang risiko kematiannya lebih ringan dibandingkan dengan infeksi virus Mpox klade I yang menyebar saat ini.
Menurut WHO, virus MonkeyPox terdiri dari dua jenis, yaitu klade I dan klade II. Jenis virus Mpox klade I menyebabkan penyakit kulit dan persentase kematian lebih tinggi dibandingkan klade II. Klade I telah menewaskan hingga 10% orang sakit walaupun jenis yang lebih baru memiliki tingkat kematian lebih rendah. Klade I endemik di Afrika Tengah. Sedangkan jenis virus Mpox klade II juga menyebabkan penyakit kulit, tetapi dia memiliki tingkat kematian yang tidak terlalu parah. Dikabarkan, orang yang terinfeksi virus klade II lebih dari 99,9% bertahan hidup. Klade II endemik di Afrika Barat.
Penularan virus ini terjadi dari aktivitas kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi virus Mpox. Selain itu, bisa juga melalui kontak dekat dengan penderita penyakit cacar monyet, seperti menyentuh ruam penderita secara langsung dan berhubungan intim. Penularan juga bisa terjadi melalui kontak langsung dengan bahan yang terkontaminasi.
Ketika melihat fakta penyebaran virus ini, ia tidak hanya bermutasi pada hewan, tetapi sudah menular pada tubuh manusia, seperti virus Covid-19 yang berasal dari kelelawar. Lantas, akankah virus ini menjadi pandemi baru seperti Covid-19? Mengingat angka penularan begitu cepat dan angka kematian cukup tinggi.
Mpox menjadi Wabah baru?
Seiring dengan merebaknya penyakit cacar monyet atau virus Monkeypox varian baru di beberapa wilayah, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sempat menetapkan virus tersebut menjadi darurat kesehatan global untuk keduanya kalinya. Hanya saja, menurut Direktur Regional WHO untuk Eropa Dr. Hans Kluge, virus Mpox ini bukanlah Covid-19 yang baru dan dia berbeda dengan Covid-19, baik terhadap tingkat bahayanya maupun penyebarannya. Selain itu, virus ini lebih mudah penanganannya daripada virus Covid-19.
Di sisi lain, ia juga mengungkapkan bahwa virus Mpox menyebar melalui kontak fisik secara langsung, seperti menyentuh ruam atau berhubungan intim. Penyebaran penyakit ini berbeda dengan Covid-19 yang menyebar melalui udara. Kluge juga menegaskan bahwa untuk menghadapi wabah ini, dunia sudah memiliki pengetahuan dan alat untuk mengendalikan penyebarannya. Ini berbeda dengan virus Covid-19 dahulu yang kita tidak memiliki pemahaman tentangnya (kompas.com, 21-08-2024).
Dari pernyataan WHO di atas bisa disimpulkan bahwa virus Mpox kecil kemungkinannya untuk menjadi wabah, seperti virus Covid-19 yang melanda tahun 2020 silam. Hanya saja, walaupun virus ini memiliki kemungkinan kecil untuk menjadi wabah, bukan berarti dia tidak mungkin berkembang biak menjadi wabah, apalagi saat ini telah muncul klade yang lebih mematikan dan telah menyebar ke seluruh dunia. Oleh karena itu, harusnya WHO dan para penguasa belajar dari wabah Covid-19 yang awalnya berasal dari kelelawar dan akhirnya bermutasi pada tubuh manusia.
Belajar dari Covid-19
Masih lekat dalam ingatan, bagaimana ribuan nyawa melayang akibat virus Covid-19 yang melanda dunia pada 2020. Sebelumnya, virus ini hanya menyerang beberapa orang di wilayah Wuhan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, virus tersebut terus menyebar ke seluruh dunia yang membuat dunia kalang kabut.
Di sisi lain, angka kematian Mpox lebih tinggi daripada angka kematian Covid-19 saat ditetapkan sebagai darurat kesehatan publik internasional. Dahulu Covid-19 dinyatakan sebagai darurat kesehatan publik internasional dari 30 Januari 2020 hingga 31 Desember 2021 memiliki perkiraan tingkat kasus kematian sebesar 1,2 persen. Sedangkan pada virus Mpox, para ilmuwan menemukan ribuan kasus klade I yang dilaporkan oleh 16 negara di Afrika dengan tingkat kematian mencapai 3-4 persen (cnnindonesia.com, 19-08-2024).
Dengan demikian, kita patut belajar dari problem Covid-19 agar virus ini tidak menyebar dan menjadi wabah baru di dalam dunia kesehatan. Sesuatu yang kecil, bukan tidak mungkin menjadi besar seiring berjalannya waktu. Oleh karenanya, kita membutuhkan penanganan serius agar tidak terulang wabah kedua kalinya. Namun, inilah gambaran sistem kapitalisme yang tidak serius menangani problem manusia.
Penanganan Setengah Hati
Ketika melihat kebijakan yang diambil oleh WHO mengindikasikan bahwa penanganan wabah ini setengah hati. Bagaimana tidak, sekecil apa pun potensi Mpox untuk menjadi wabah seharusnya dilakukan lockdown, baik bagi yang terinfeksi maupun bagi negara-negara yang sudah mengonfirmasi adanya kasus ini. Hal ini untuk mencegah makin meningkatnya kasus dan menekan penyebarannya. Namun, langkah-langkah yang diambil justru seakan menganggap bahwa wabah ini tidak berbahaya, padahal jelas bahwa Mpox telah menelan banyak korban jiwa hingga ratusan orang.
Inilah buah busuk penerapan sistem kapitalisme, sistem yang diemban oleh seluruh negeri di dunia ini, tanpa terkecuali Indonesia. Sistem ini berdiri di atas asas kemanfaatan. Dengan kata lain, apa pun itu, ketika tidak memberikan keuntungan, apalagi sampai menghambat kepentingan mereka maka tidak segan untuk dikorbankan. Begitu juga dengan penanganan wabah ini.
Kita berkaca pada kasus Covid-19 silam, bagaimana negara-negara sibuk mementingkan ekonomi daripada nyawa manusia. Kebijakan lockdown diambil ketika virus telah menyebar ke seluruh dunia dan menjadi ancaman nyata bagi ribuan manusia. Kebijakan lockdown pun tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh seperti pada masa kejayaan Islam, tetapi dilakukan setengah hati.
Tambahan lagi, pemberian vaksin pun dijadikan sebagai ajang bisnis, bukan untuk benar-benar mengatasi wabah dan me-riayah urusan rakyat. Begitu pula penanganan wabah Mpox di Afrika ini. Mereka masih sulit mendapatkan vaksin karena keterlambatan dari WHO untuk secara resmi memulai proses yang diperlukan oleh badan-badan internasional untuk menyediakan akses mudah ke vaksin. Sungguh penanganan wabah yang setengah hati membuat rakyat dalam ancaman. Dunia saat ini butuh sistem yang mampu memperhatikan dan menjunjung tinggi nyawa mereka. Sistem tersebut adalah Islam.
Penanganan Wabah dalam Islam
Wabah mematikan sejatinya pernah terjadi pada masa kejayaan Islam, yaitu pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab. Wabah tersebut adalah tha’un, penyakit yang berakhir pada kematian. Kala itu, Khalifah Umar hendak melakukan kunjungan ke Syam, tetapi di tengah perjalanan dia bertemu dengan Abu Ubaidah yang menjabat sebagai Gubernur Syam. Abu Ubaidah memberitahu Umar bahwa di Syam terjadi wabah yang mematikan.
Umar berhenti dan melakukan diskusi sengit dengan beberapa tokoh, apakah harus melanjutkan perjalanan ke Syam atau kembali ke Madinah. Perdebatan dibubarkan karena tidak mendapatkan titik temu hingga akhirnya datang Abdurrahman bin Auf mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah bersabda, "Apabila kalian mendengar ada suatu wabah di daerah tersebut, janganlah kalian mendatanginya. Sebaliknya, kalau wabah tersebut terjadi di suatu daerah tempat kalian tinggal, janganlah kalian keluar melarikan diri darinya."
Dengan demikian, Umar pun mantap untuk kembali ke Madinah dan memerintahkan Abu Ubaidah untuk ikut bersamanya, tetapi ia menolak. Sampai akhirnya dia terkena wabah dan meninggal dunia. Setelah itu, Umar terus mencari solusi terhadap wabah tersebut, hingga akhirnya pada kepemimpinan Gubernur Amr bin Ash, ia mengamati penyebab munculnya wabah dan penyebarannya. Ia pun memerintah warganya untuk memisahkan diri, antara orang yang sakit dan sehat. Ia mengatakan, penyakit ini bagaikan api yang melalap benda yang ada di hadapannya maka keluarlah dari rumah-rumah kalian dan berpisah. Dari isolasi atau kebijakan lockdown ini, wabah dapat diatasi dengan baik.
Khatimah
Sampai kapan pun penanganan wabah tidak akan pernah tuntas dengan sistem kapitalisme sebab asas kemanfaatan masih menjadi dasar kebijakan mereka. Oleh karena itu, hanya sistem Islam yang melindungi nyawa manusia dan memberikan solusi terbaik untuk penanganan wabah. Wallahualam bissawab. []
Masya Allah, sungguh Islam mampu memberikan solusi tuntas dalam setiap permasalahan manusia
Penanganan wabah di era kapitalisme tidak bisa tuntas terselesaikan. Dan hanya Islam solusi tuntas penanganan wabah penyakit.
Penanganan wabah perlu pendekatan global. Dalam sistem kapitalis, derita orang banyak bisa jadi peluang cuan. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Inilah nasib rakyat jelata dalam sistem yang selalu mencari potensi mesin uang.