"Kehidupan suami-istri bagaikan teman sejati yang harus saling mengingatkan dan menguatkan dalam berbiduk bahtera rumah tangga. Hubungan di antara keduanya terikat dengan kewajiban yang sama dalam mengamalkan syariat Islam dan harus mendakwahkannya."
Oleh. Maman El Hakiem
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sebut saja Aisyah, parasnya memang tidak secantik Aisyah ra. istri baginda Rasulullah saw. Pun menikah tidak pada usia muda, Aisyah menikah di usia kepala tiga, terbilang telat menikah di antara teman sebayanya yang rata-rata sudah dikaruniai anak.
Aisyah bukan tanpa alasan telat menikah, ia sibuk dengan aktivitas dakwahnya dan berusaha untuk tidak terjebak dengan pergaulan yang tidak syar'i dalam menemukan jodohnya.
Allah Swt. memang selalu memberikan jodoh yang terbaik, akhirnya Aisyah dipertemukan dengan pasangan suaminya, seorang pengemban dakwah, meskipun menjadi istri keduanya tetapi tidak memengaruhi keharmonisan dalam berumah tangga.
Mereka menempuh kehidupan rumah tangga dengan bekal keyakinan bahwa menikah akan membuat keduanya tenteram dan saling menguatkan dakwahnya.
Aktivitas Kehidupan Wanita
Syariat Islam telah menetapkan bahwa wanita (istri) adalah seorang ibu dan pengatur rumah (ummun wa rabbah al bayt). Karena itu syariat telah memberikan bagi wanita seperangkat hukum yang berkenaan dengan kehamilan, kelahiran (wiladah), penyusuan (radha'ah), pengasuhan (hadhanah) dan berkaitan dengan masalah idah (masa menunggu istri setelah ditinggal cerai suami).
Syekh Taqiyuddin An Nabhani dalam Kitab Nidzam al Ijtimai fii Al Islam, menjelaskan maknanya bahwa tugas-tugas pokok tersebut merupakan tanggung jawab yang paling besar bagi seorang wanita (istri). Sebabnya, di dalam aktivitas wanita tersebut terdapat rahasia kelangsungan jenis manusia. Seorang ibu berperan melahirkan generasi manusia dengan peradaban baru dan hal itu erat kaitannya dengan diterapkannya aturan syariat Islam dalam kehidupan berumah tangga.
Sekalipun aktivitas wanita dibatasi, namun dalam kehidupan umum berupa interaksi dengan masyarakat wanita dibolehkan oleh syariat dalam perkara tertentu seperti transaksi jual beli, kontrak kerja (ijarah) dan muamalah lainnya. Wanita boleh bekerja sebagai tenaga pendidikan, kesehatan, bahkan hakim pengadilan, namun wanita tidak boleh menduduki jabatan pemerintahan yang menyangkut kekuasaan seperti bupati, gubernur, dan kepala negara.
Tidak bolehnya wanita memegang tampuk kekuasaan secara gamblang merujuk pada hadis yang dikeluarkan Imam Al-Bukhari dari jalur Abu Bakrah, sabda Nabi saw. yang maknanya menyatakan bahwa suatu kaum tidak akan pernah beruntung jika menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita.
Dalam kehidupan berumah tangga, seorang suami berperan sebagai pemimpin dan pelindung yang harus bisa memosisikan istri sesuai aturan syariat Islam seperti di atas. Karena kehidupan suami-istri adalah interaksi khusus yang telah dihalalkan melalui pintu pernikahan. Tujuan menikah bukan semata untuk melanjutkan keturunan dan mendapatkan kenikmatan syahwat, melainkan diraihnya rasa tenang dengan pengamalan syariat Islam secara utuh dan menyeluruh.
Dakwah Kewajiban Bersama
Di sinilah pentingnya dakwah di tengah keluarga, suami-istri harus sama-sama menjadi pengemban dakwah setidaknya untuk keluarga dan kerabat dekat serta lingkungan sekitarnya. Kehidupan suami-istri bagaikan teman sejati yang harus saling mengingatkan dan menguatkan dalam berbiduk bahtera rumah tangga. Hubungan di antara keduanya terikat dengan kewajiban yang sama dalam mengamalkan syariat Islam dan harus mendakwahkannya.
Ada kewajiban khusus suami yang harus dipenuhi, yaitu menyangkut nafkah dan kepemimpinan (qawwam), yaitu perlindungan terhadap keluarga agar terjaganya ketaatan pada syariat. Pun ada kewajiban khusus yang hanya bisa dilakukan oleh wanita (istri) seperti menyusui dan pengasuhan anak. Namun, ada kewajiban yang sama-sama dipikul oleh keduanya, yaitu menyangkut kewajiban agama terutama mendakwahkan syariat Islam agar menjadi standar perilaku dalam kehidupan.
Rasa tenang dan tenteram dalam kehidupan rumah tangga akan tercapai bila pasangan suami-istri saling memahami hak dan kewajibannya dalam posisinya sebagai pengemban dakwah di dalam kehidupan. Suami dan istri memiliki kewajiban yang sama karena perintah dakwah tidak dikhususkan untuk laki-laki saja, melainkan wanita pun karena seruan umat terbaik ditunjukan kepada kaum muslimin tanpa membedakan gender. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. Ali Imran: 110 yang bermakna bahwa kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Rumah tangga sebagai miniatur kehidupan harus mampu menghadirkan suasana dakwah antara suami dan istri untuk saling bersinergi menyampaikan kebenaran Islam di tengah umat. Harus menjadi pasangan pengemban dakwah yang tangguh untuk mendapatkan kebahagiaan yang sejati, diraihnya rida Allah dengan penuh keberkahan. Ketenteraman dalam berumah tangga akan diraih jika aturan Islam diterapkan di tengah masyarakat dan menjadikan dakwah sebagai poros kehidupan.
Seorang istri tidak akan mudah cemburu saat suaminya mengemban tugas dakwah ke luar mengunjungi umat yang memang membutuhkan nasihat dan pemahaman syariah secara kaffah. Begitu pun seorang suami tidak akan ragu meninggalkan istri di rumah karena yakin bahwa istri mampu menjaga amanah sebagai seorang ibu dan pengatur rumah tangga yang aktivitasnya dituntun oleh syariat yang menjadikan kedudukan wanita mulia. Rumah tangga yang harmonis akan tercapai jika sama-sama menjalankan tuntunan syariat Islam secara kaffah dan sama-sama mendakwahkannya di tengah kesibukannya. Istri mengatur rumah tangga, suami menjadi pemimpin dan teladan dalam berdakwah. Semoga.
Wallahu'alam bish Shawwab.[]