Pelajaran Berharga

Hidup di sistem kapitalis ini memang serba susah. Nilai gotong royong yang dulu sangat kental dan dibanggakan di negeri ini, kini semakin luntur, berganti dengan individualistis.


Oleh: Ida Royanti (Founder Komunitas Aktif Menulis)

NarasiPost.Com-Surti mendorong motor sekuat tenaga. Matik lawas keluaran pertama ini memang lebih berat. Di samping karena sudah lama tidak diservis, body motor itu pun lebih besar dari keluaran berikutnya. Wajar, kalau ia tampak kepayahan. Belum lagi dagangan yang ia taruh di gantungan depan, di bawah stang. Di boncengan belakang, duduk manis si Kakak yang berpegangan erat pada tempat yang ia duduki. Sementara, di gendongan Surti, si Adek yang waktu itu masih berumur dua tahun tertidur dengan pulas.  

“Bismillah, semoga kuat!” bisik Surti dalam hati. 

Keringat wanita itu mulai bercucuran, padahal hari masih sangat pagi. Tadi ia terlalu gembira hingga tidak melihat kondisi motornya. Habis subuhan tadi, ia sempat membaca pesan dari salah satu jamaah pengajian di kampung sebelah yang ia bina. Beliau memesan beberapa mukena untuk disumbangkan di masjid.

“Alhamdulillah!” Surti bersyukur. 

Sudah hampir seminggu ini suaminya yang bekerja di luar kota telat mengirim uang belanja. Alasannya, pabrik tempat ia bekerja terancam bangkrut sehingga sering telat menggaji para karyawan. Mereka yang protes langsung terkena pemutusan hubungan kerja alias dirumahkan. Jadilah Surti pontang-panting, bekerja keras membanting tulang. Ini tentu saja tidak mudah, mengingat ia masih harus mengurusi dua balita yang bukan main aktifnya.

Beberapa pasang mata tampak memperhatikan Surti dengan iba. Namun, mereka tidak berbuat apa-apa. Surti tidak suuzon. Mungkin mereka juga memiliki kepentingan sendiri hingga tak satu pun sempat membantunya. Hidup di sistem kapitalis ini memang serba susah. Nilai gotong royong yang dulu sangat kental dan dibanggakan di negeri ini, kini semakin luntur, berganti dengan individualistis.

“Motornya kenapa, Bu?” tanya seorang bapak yang sedang membersihkan halaman rumah.

“Kehabisan bensin, Pak!” jawab Surti sambil terengah-engah.

“Oh… yang jualan bensin masih di sana, Bu, jauh,” kata bapak itu lagi, setelah itu meneruskan bersih-bersihnya.

Surti hanya mengangguk sopan. Ia terus mendorong matik itu sekuat tenaga. Sebentar lagi ada tanjakan. Rasa-rasanya ia tidak akan sangggup mendorong lagi. Apalagi si Adek yang tadi tertidur mulai terbangun. Karena itu, ia berhenti sejenak untuk mengambil napas, kemudian mendorong lagi. 

Belum sampai ia mendorong naik, Surti sudah tidak kuat lagi. Nafasnya semakin ngos-ngosan. Wanita itu hanya bisa pasrah. Saat itu, yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa, semoga Allah memberinya kekuatan.

“Motornya kehabisan bensin, ya, Bu?” tanya seorang pengendara motor yang tiba-tiba berhenti tepat di depannya. Surti mendongak. Tampak seorang lelaki paruh baya dengan dua anaknya. Seragam panjang lengkap dengan atribut yang mereka pakai menunjukkan kalau mereka sekolah di SDIT.

“Iya, Pak,” jawab Surti singkat.

“Monggo, pakai ini, Bu!” Laki-laki itu turun dari motor sambil menyerahkan sebotol bensin pada Surti. 

Sejenak wanita itu tertegun. Bagaimana orang itu bisa tahu kalau dirinya kehabisan bensin? Bukankah ia datang dari arah yang berlawanan? Mungkin ini adalah bentuk pertolongan Allah yang tak terduga. Akhirnya, tanpa ragu-ragu, ia pun menerima. Faktanya, Surti memang sangat membutuhkan.

“Bisa, Bu?” tanya bapak itu. Surti mengangguk. Setelah itu, ia langsung menuang bahan bakar itu kemudian memberikan botol kosong itu pada bapak tadi.

“Terima kasih, Pak! Oh, ya, ini uangnya, Pak!” kata Surti sambil menyerahkan uang sepuluh ribuan.

“Oh, tidak usah, Bu. Silahkan dibawa saja,” kata bapak itu.

“Tapi, Pak…”

“Buat ibu saja uangnya, mari!” pamit bapak itu. Ia lalu menyalakan mesin, kemudian berlalu bersama dengan kedua anaknya.

Surti masih termangu beberapa saat. Ia tidak mengenal lelaki itu. Ia menduga kalau lelaki itu tadi mungkin searah dengannya dan sempat melewati Surti. Mungkin tanpa sengaja ia mendengar percakapan sepintas antara Surti dengan bapak yang membersihkan halaman tadi, kemudian  putar balik setelah mendapatkan bensin untuk Surti.

Entahlah, apa pun itu, Surti bersyukur karena Allah telah memberikan pertolongan dari arah yang tidak disangka-sangka.

***

Bunda, kejadian yang dialami Surti tersebut sebenarnya sangat sederhana. Mungkin bunda juga pernah mengalaminya bahkan bisa jadi lebih dahsyat dari itu. Namun, dari kesederhanaan itu, ada beberapa hal yang bisa kita ambil sebagai pelajaran, baik dari sudut pandang Surti atau pun dari sisi penolongnya.

Allah Swt. berfirman:

Allah tidak membebani suatu kamu melebihi batas kemampuannya.”
(QS. Al-Baqarah: 286)

Inilah yang terjadi pada Surti. Sungguh pertolongan Allah datang ketika ia berada di puncak kesabaran dan kepasrahannya. Keyakinan secara penuh bahwa Allah tidak akan menguji dengan segala hal yang tidak sanggup ia pikul membuat wanita itu tetap tegar untuk terus melangkah.

Di dalam surat Huud ayat 6, Allah Swt. berfirman:

Dan tidak ada satu pun makhluk yang berjalan di muka bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (Huud: 6)

Surti yakin, setiap yang bernyawa di dunia sudah ditetapkan kadar rezeki masing- masing. Sesulit apa pun hidup, ia akan menerima dan terus menjalani dengan penuh ketaatan dan rasa syukur. Ia yakin, rezeki untuk anak-anaknya pasti sudah dipersiapkan oleh Allah, entah bagaiman caranya. Surti sangat yakin bahwa Allah tidak akan pernah menzolimi hambanya. Ketakwaan yang dia pegang itulah yang mengantarkan Surti pada pertolongan yang tidak disangka. (QS. Ath-Thalaq [65]: 2-5 )

Di  tengah keterpurukan yang mendera akibat sistem demokrasi kapitalis yang rusak ini, ternyata Surti tidak bersikap egois. Ia sadar, apa yang terjadi di masyarakat yang cenderung individualis tersebut tidak semata-mata karena kesalahan mereka. Ia tahu, terkikisnya rasa kepedulian dan kemanusiaan itu terjadi secara sistemik, menggejala hampir di seluruh lapisan. Sistem yang berpedoman pada asas manfaat inilah yang menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan yang ada.

Karena itu, Surti tidak tinggal diam. Ia paham, kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan. Bersama dengan ibu-ibu yang lain, ia bergerak untuk memahamkan masyarakat pelan-pelan agar mereka memahami bahwa demokrasi kapitalislah yang menyebabkan semua petaka dan sudah saatnya dicampakkan. Masyarakat harus diyakinkan kembali bahwa hanya dengan ketakwaan secara totalitas kepada Allah Swt. maka kesejahteraan dan kedamaian di tengah masyarakat bisa diwujudkan.

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
(QS. Muhammad:7)

Bunda, itu adalah kebaikan yang didapat dari sudut pandang Surti. Bagi orang yang menolong pun ada kebaikan yang bisa kita ambil hkmahnya.

Pertama, tidak diragukan lagi, kebaikan sederhana yang ia lakukan dengan ikhlas semata mencari rida Allah, maka akan tercatat sebagai amal yang ihsan yang berhak atasnya pahala. 

Kedua, ia telah melakukan suatu kebaikan, yaitu memberi kemudahan bagi orang lain. Dan sesuai dengan janji Allah, maka ia akan dimudahkan segala urusannya.

Dari Abu Hurairah ra, Nabi saw. bersabda:

Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barangg siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu suka menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

Mungkin balasan kebaikan itu tidak didapat saat itu, tidak harus melalui Surti juga. Namun, kelak ketika ia menemui kesulitan, apa pun itu, maka Allah akan memberikan kemudahan padanya .

Ketiga, orang itu juga akan mendapatkan kebaikan dari doa yang diucapkan oleh Surti baik melalui lisan atau dalam hati. Sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah, doa yang diucapkakn oleh orang lain tanpa diketahui oleh orang yang didoakan, maka akan diijabah oleh Allah Swt. Rasulullah saw. bersabda:

Doa seorang muslim untuk saudaranya (sesama muslim) tanpa diketahui olehnya adalah doa mustajabah. Di atas kepalanya (orang yang berdoa) ada malaikat yang telah diutus. Sehingga setiap kali dia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, maka malaikat yang diutus tersebut akan mengucapkan,’Amin dan kamu juga akan mendapatkan seperti itu’.”
(HR. Muslim).

Keempat, ini yang tidak kalah penting dari semuanya. Lelaki itu telah memberi contoh dan keteladanan secara langsung pada anak-anaknya tentang kepedulian, kemanusiaan dan perhatian pada sesama. Tidak hanya secara teori, namun lewat tindakan nyata.

Meskipun sederhana, kejadian itu telah terekam kemudian membekas dan akan terus dibawa sampai kelak ketika anak-anak itu dewasa.

Semoga kita bisa menjadi orang-orang yang pandai memetik pelajaran dari setiap kejadian yang Allah tetapkan untuk kita. Aamiin.

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Previous
Ilusi Kebebasan Berpendapat dalam Sistem Demokrasi
Next
Tetap Optimis Menyongsong Abad Khilafah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram