Kita adalah ibu yang ingin menghantar anak-anaknya menjadi generasi terbaik, yang mempunyai akidah yang kukuh tidak mudah terbawa sekuler kapitalisme atau sosialisme.
Oleh: Sitha S.
NarasiPost.com - Air matanya deras mengalir di kedua pipinya. Diadukannya tentang buah hatinya semata wayang. Sedari kecil diasuh dan dididik taat dengan sepenuh jiwa. Namun ternyata setelah dewasa tak mampu menolak tarikan kuat kemaksiatan yang bertebaran di negeri ini. Luapan kecewa yang telah lama dipendam dalam dadanya akhirnya tumpah saat usai kajian bulanan di sebuah kampung.
Hati ini ikut merasakan pilu. Mungkin ada ribuan ibu di negeri ini yang mengalami hal serupa. Sudah berupaya mendidik tetapi akhirnya merasa lemah tak berdaya dengan sistem sekuler yang serba bebas yang kian hari kian menggurita. Membuat bingung bagaimana menjadi ibu yang seharusnya.
Kita memang tidak seperti para ibu di negeri konflik. Mereka menyelamatkan anak-anaknya dari serdadu musuh, baik fisik maupun aqidahnya. Namun bukan berarti kondisi kita lebih baik karena kita di negeri yang aman. Sebaliknya musuh-musuh kita justru lebih berbahaya, karena mereka tak kasat mata. Mereka menyerang diam-diam dan langsung menyelinap masuk ke dalam setiap inci pemikiran anak-anak kita.
Lalu ikhtiyar apakah yang akan menghantar anak-anak kita agar menjadi seperti generasi terdahulu? Yaitu Arqam bin Arqam, Mus’ab bin Umair, Anas bin Malik, Imam Bukhari, Muhammad Al Fatih, Shalahudin al-Ayubi dan lainnya.
Kita adalah ibu yang ingin menghantar anak-anaknya menjadi generasi terbaik, yang mempunyai akidah yang kukuh tidak mudah terbawa sekuler kapitalisme atau sosialisme. Kita adalah ibu yang bercita-cita anak-anaknya mampu mempersembahkan hidupnya untuk kemuliaan Islam. Sebagaimana yang Allah sematkan pada kita dalam firman-Nya, “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik (khoiru ummah) yang dilahirkan untuk manusia ..” (QS. Ali Imran [3] :110)
Inilah alasan bagi kita para ibu untuk memahami apa saja peran yang telah Islam berikan. Ada dua peran, yaitu: Pertama sebagai ibu dan istri yang mengurus rumah tangga (ummu warabbatul bait). Setiap perempuan yang melahirkan maka dia adalah ibu bagi anaknya. Pilihan ada di tanganmu wahai ibu, menjadi ibu yang amanahkah atau sebaliknya. Menjaga titipan Allah seperti yang diinginkan-Nya yakni khoiru ummah atau sebaliknya.
Nabi Saw bersabda, “Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orangtua kepada anaknya selain pendidikan yang baik“ (HR al-Hakim 7679)
Telah menceritakan kepada kami Nu’man(1) Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid(2) dari Ayyub(3) dari Nafi’ (4) dari Abdullah ia berkata, Nabi Saw bersabda, ”Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya, dan ia pun akan dimintai pertanggungjawabannya…”
(HR Bukhari 4789)
Peran kedua adalah sebagai ibu generasi (Ummu Ajyal). Ternyata mendidik tak hanya untuk anak sendiri, tapi ibu juga harus peduli dengan anak-anak kaum Muslimin lainnya. Bisa secara langsung atau melalui ibu-ibu mereka. Mengapa? Karena Allah meminta kita melalui lisan Rasul-Nya, “Barangsiapa bangun di pagi hari tidak memikirkan urusan kaum muslimin maka dia bukan golonganku” (HR Ath-Thabrani)
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kebajikan. Menyuruh kepada yang yang makruf dan mencegah dari yang munkar…” (QS. Ali Imran [3] : 104)
Dari Abu Sai’id Al Khudri Ra berkata, saya mendengar rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim)
Wahai ibu, sejatinya tugas yang kedua inilah yang sering kita abaikan. Kita lupa bahwa tidak selamanya anak-anak kita ada di dalam rumah kita, ada dalam pengawasan kita. Suatu hari dia akan pergi keluar, ke tengah masyarakat mengarungi kehidupan. Maka sebaik apapun kita mendidik anak kita di rumah, tidak menjamin ia baik-baik saja ketika ada di tengah masyarakat yang rusak. Seperti masyarakat kita yang menerapkan aturan sekuler yang serba bebas. Mereka difasilitasi oleh negara untuk menawarkan kemaksiatan berbalut keindahan. Masuk ke benak anak-anak kita yang dengan susah payah kita bekali ajaran Islam.
Maka bersiaplah kita melakukan:
Pertama, wahai para ibu jagalah alidah kita dan kukuhkanlah! Yaitu dengan senantiasa mengkaji Islam terus menerus. Alangkah baiknya kajian dalam pembinaan intensif dalam sebuah jemaah dakwah.
Hal ini untuk menekankan tiga hal sebagai berikut :
Pertama, mengevaluasi kembali identitas dan komitmen kita dalam keterikatan terhadap Islam.
Kedua, jadilah ibu yang memiliki kesadaran politik bahwa hanya Islamlah solusi segala persoalan kehidupan. Ketiga, memahami bahwa kaum Muslimin di seluruh dunia terikat dengan ikatan akidah yakni ukhuwah Islamiyah. Sehingga walaupun kita berbeda bangsa, berbeda bahasa, berbeda wilayah, sejatinya kita adalah satu jemaah yakni kaum Muslimin. Kita mempunyai pemikiran, perasaan dan peraturan yang sama. Namun kini terpisah oleh sekat negara bangsa.
Sehingga penderitaan kita di sini dirasakan oleh saudara kita di belahan bumi lain. Begitu pula sebaliknya.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat [49] ayat 10, ”Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara…”
Kemudian semua pemahaman-pemahaman ini kita sampaikan ke anak kita, keluarga kita, juga ke tengah-tengah kaum Muslimin terkhusus anak-anak kaum Muslimin dan kaum ibu. Sehingga mereka mampu memahami hakikat kehidupan dan memiliki kepribadian Islam.
Kedua, jadilah ibu yang senantiasa mengupgrade diri/meningkatkan ilmu, menjadi ibu pembelajar. Belajar tsaqafah-tsaqafah Islam misalnya bahasa Arab, membaca Al-Quran, fikih. Bisa juga belajar ilmu pengasuhan, ilmu komunikasi, gizi keluarga, makanan halal thoyyib, ilmu kesehatan keluarga, mengatur keuangan juga ilmu memenej waktu dalam mengurus rumah tangga. Juga ilmu-ilmu sains dan hal-hal lain yang mendukung peran ibu sebagai pendidik generasi.
Ketiga, perjuangan kita mewujudkan generasi umat terbaik ternyata tidak bisa sendirian. Kita membutuhkan dukungan sebuah institusi negara. Oleh sebab itu, sambil melakukan semua aktivitas di atas, kita juga harus berjuang menegakkan khilafah yakni sebuah institusi negara yang menerapkan seluruh aturan berlandaskan aqidah Islam.
Wahai ibu, tetaplah bersemangat dan istiqomah berjuang, karena musuh-musuh Islam tak akan pernah berhenti menyerang kita. Sesungguhnya kita senantiasa dalam medan pertempuran. Allah berfirman, “…Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu sampai kamu murtad (keluar) dari agamamu, jika mereka sanggup…” (QS. Al-Baqarah[2] : 217)
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka , dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” ( QS. At-Taubah [9]:32)
“Wahai orang-orang yang beriman jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad [47]: 7)
Jika agama Allah adalah cahaya, sementara aturan yang lain yakni sekuler kapitalis, sosialis komunis adalah kegelapan, maka menjadi ibu yang berjuang menghantar anak-anak kita menjadi generasi terbaik adalah bagian dari menjaga cahaya-Nya. Mari kita kuatkan azam kita sebagai bagian orang-orang yang menjadi penolong agama Allah.