"Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa pencetus KDRT bukan semata bersifat individual, tapi sudah sistemis. Karena bukan hanya sifat bawaan pelaku secara personal yang mendorongnya melakukan KDRT, tapi juga beragam aspek yang melingkupi kehidupannya, yang telah membentuk karakter kasar lagi kejam tanpa belas kasih dan sangat jauh dari bersifat qawwam (pemimpin) dalam keluarga."
Oleh. Rizki Ika Sahana
(Pegiat Media dan Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tragedi dalam lingkup keluarga terus saja terjadi. Kabarnya nyaris setiap hari. Bahkan beberapa waktu yang lalu, seorang suami di Depok nekat membantai istri dan anaknya hingga sang istri kritis dan nyawa anak kandungnya melayang. Subhanallah, sungguh mengerikan dan di luar nalar ya, Bund.
Peristiwa serupa belakangan ini semakin jamak. Pelakunya bukan orang tak dikenal, justru orang terdekat yang seharusnya menjadi pelindung terbaik, menjadi penjaga dan pembela dari berbagai bahaya dan kejahatan.
Yup benar, Bund. Seorang suami sekaligus ayah seharusnya menjadi qawwam a.k.a. pemimpin dalam keluarga. Artinya, suami (ayah) berkedudukan sebagai pengayom seluruh anggota keluarga. Suami (ayah) adalah penanggung jawab nafkah dalam memenuhi kebutuhan keluarga, pemberi rasa aman bagi istri dan anak, berperan mendidik dan membimbing anggota keluarga menuju kebaikan, juga menjaga keharmonisan hubungan dalam keluarga dengan berbagai kebijakan dan keputusan yang diambil demi membawa seluruh anggota keluarga kepada kemaslahatan. Inilah yang diamanatkan oleh Islam kepada setiap laki-laki yang telah menikah.
Allah subhanahu wa taala berfirman,
اَلرِّجَا لُ قَوَّا مُوْنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَاۤ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَا لِهِمْ ۗ فَا لصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗ وَا لّٰتِيْ تَخَا فُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَا جِعِ وَا ضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِ نْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَا نَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
"Laki-laki (suami) itu pemimpin bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 34)
Suami tidak boleh sewenang-wenang hanya sebab tampuk kepemimpinan diletakkan di tangannya. Justru kepemimpinan suami (ayah) yang baik adalah kepemimpinan yang me-riayah yakni mengatur, mengelola, memelihara, menanggung, mengontrol, membenahi, lagi menyelesaikan masalah. Kepemimpinan yang baik juga menenangkan, memberikan rasa aman, nyaman, sekaligus menenteramkan.
Kepemimpinan model seperti ini tidak lantas selalu identik dengan kehidupan serba berkecukupan bahkan mewah. Karena faktanya, KDRT tidak hanya terjadi dalam keluarga ekonomi pas-pasan, namun juga dalam keluarga dengan ekonomi menengah ke atas. Sehingga pemicu KDRT bukan hanya faktor ekonomi, meski faktor ekonomi menjadi pencetus paling sering. Pribadi yang rapuh, bersumbu pendek, meledak-ledak, dan sulit mengelola emosi, tak mampu menjadi pemimpin yang baik, adalah pencetus lain KDRT yang tak bisa disepelekan baik dalam keluarga serba berkecukupan maupun yang kekurangan. Faktor kompleks lainnya, yakni tuntutan gaya hidup, pergaulan, tekanan, dan persaingan di dunia kerja, juga perselingkuhan, turut menjadi penyulut KDRT di dua kategori keluarga sekaligus, keluarga mampu maupun keluarga yang mengalami kesulitan keuangan.
Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa pencetus KDRT bukan semata bersifat individual, tapi sudah sistemis. Karena bukan hanya sifat bawaan pelaku secara personal yang mendorongnya melakukan KDRT, tapi juga beragam aspek yang melingkupi kehidupannya, yang telah membentuk karakter kasar lagi kejam tanpa belas kasih dan sangat jauh dari bersifat qawwam (pemimpin) dalam keluarga. Aspek sistemis tersebut di antaranya adalah tekanan ekonomi, tuntutan gaya hidup, juga pergaulan bebas yang diberi ruang demikian luas.
Maka menyelesaikan kasus KDRT harus mengcover dua dimensi sekaligus: personal maupun sistemis. Karenanya membutuhkan peran negara secara mutlak.
Penyelenggaraan pendidikan berbasis akidah dengan visi membentuk sosok berkepribadian Islam yang kuat dan tangguh, sehingga mampu menjadi pemimpin bagi diri, keluarga, maupun masyarakat, adalah tanggung jawab negara yang tak boleh diabaikan. Demikian pula dengan penyelenggaraan sistem hukum yang tegas yang membuat jera pelaku KDRT serta adil tanpa diskriminasi, juga merupakan kewajiban negara. Menyelenggarakan sistem ekonomi yang menyejahterakan dan berorientasi pada kemaslahatan umat, yang bukan hanya menguntungkan para cukong dan kapitalis, adalah tanggung jawab negara. Pun menyelenggarakan sistem informasi melalui media, yang mengedukasi bukan menyebarluaskan gaya hidup liberal serta seks bebas, juga adalah peran negara yang vital.
Karenanya, negara wajib hadir dalam menuntaskan KDRT hingga akar masalah, yakni dengan membenahi berbagai kebijakan dan regulasi yang ada secara sistemis, mencakup berbagai dimensi (pendidikan, ekonomi, hukum, sosial, infokom). Sebab faktanya, regulasi yang sudah diterbitkan terkait KDRT, itu saja, tidak mampu meminimalissasi, lebih-lebih mengakhiri kasus KDRT. Wallahu a'lam.[]
Photo : Pinterest