Di masa lalu, keluarga Muslim menjadi madrasah pertama bagi putra-putrinya. Semenjak masih dalam kandungan dan berlanjut saat telah lahir, orang tuanya membiasakan putra-putrinya untuk menghafal Alquran dengan cara memperdengarkan bacaannya. Rutinitas itu membuat mereka bisa hafal Alquran sebelum usia enam atau tujuh tahun.
Oleh: Neneng Sri Wahyuningsih
NarasiPost.com -- Baru-baru ini jagat media dihebohkan dengan berita yang cukup menggelitik. Dilansir dari viva.co.id. 2/10/2020, Kepala Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menarik kembali instruksi untuk membaca buku Muhammad Al Fatih 1453 karya Felix Y Siauw. Semula Surat bernomor 420/11.09.F DISDIK ini ditujukan kepada seluruh Kepala Sekolah SMA/SMK se-provinsi Bangka Belitung dalam rangka meningkatkan minat literasi siswa. Para siswa diminta untuk membaca dan merangkum isi dari bukunya. Adapun alasan pihaknya memilih buku tersebut karena melihat perjuangan Muhamamd Al Fatih yang sejak kecil sudah hafiz dan merebut konstatinopel (Turki).
Namun disayangkan, hanya berselang satu jam setelah SE itu dikirim ke seluruh sekolah, kegiatan ini pun dianulir dikarenakan sosok penulis yang kontroversial dan seolah tak ada buku lain yang layak dijadikan rujukan.
Lucunya negeri ini. Karya-karya yang dapat merusak anak bangsa baik itu berupa literasi maupun tayangan, bebas melenggang begitu saja. Sedangkan karya literasi yang bermuatan positif dan dapat meningkatkan spirit perjuangan malah dihalangi.
Muhammad Alfatih Sosok Inspiratif
Siapa yang tak mengenal sosok fenomenal satu ini. Ya, Muhammad Alfatih adalah sosok yang tercatat dalam sejarah dunia dan terus dikenang hingga kini. Saat usianya 21 tahun, ia telah berhasil memimpin pasukan Turki Utsmani merebut kota Konstantinopel dari Kekaisaran Byzantium.
Keimanan dan ketakwaannya sudah tertanam kuat sejak kecil. Kedekatannya kepada Sang Maha Pencipta tidak diragukan lagi. Muhammad Al-Fatih mempelajari ilmu sains dan teknologi. Mempelajari geografi untuk menyusun strategi perang. Dan menguasai berbagai macam bahasa (Arab, Persia, Turki, Yunani dan bahasa lainnya). Semuanya dipersiapkan dalam rangka menaklukkan Konstantinopel. Rentang 825 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Generasi bersambung generasi. Namun keyakinannya terhadap bissyarah Rasulullah tak pernah padam.
Sosoknya yang begitu inspiratif memang layak dijadikan panutan oleh generasi muda saat ini. Maka wajar ketika Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Bangka Belitung menjadikan buku tersebut sebagai salah satu rujukan untuk meningkatkan literasi para siswanya. Tak dipungkiri buku tersebut telah banyak menginspirasi para milenial baik dari kalangan artis atau lainnya untuk berhijrah. Dan sebagai generasi Muslim, harusnya yang menjadi panduan dalam menjalankan kehidupannya hanyalah bersumber dari Islam. Termasuk didalamnya memilih sosok yang diidolakan.
Begitupun dengan niatan sang penulis ketika membuat karya literasi ini, semata-mata ingin mengajak Kita kaum Muslimin untuk memahami sejarah dan kejayaan Islam serta meneladani sosok Muhammad Alfatih. Sungguh tak ada alasan kuat kenapa hal ini harus dipermasalahkan bukan? Lantas bagaimana Islam melahirkan generasi hebat (penakluk) layaknya Muhammad Alfatih?
Islam Melahirkan Generasi Penakluk
Ada ungkapan dalam bahasa Arab, “Syubanu al-yaum rijalu al-ghaddi” [pemuda hari ini adalah tokoh pada masa yang akan datang]. Ya, remaja atau pemuda merupakan generasi penerus sebelumnya. Setiap negara pasti mengharapkan memiliki penerus bangsa yang hebat dan cemerlang guna melanjutkan estafet perjuangan negerinya menjadi sebuah negara yang kuat.
Islam memberikan perhatian besar kepada mereka, bahkan sejak dini. Di masa lalu, banyak pemuda hebat seperti halnya Muhammad Alfatih, karena generasi sebelumnya adalah orang-orang hebat. Adapun cara Islam melahirkan generasi penakluk di antaranya:
Pertama, Pendidikan Usia Dini. Nabi SAW mengajarkan, “Muru auladakum bi as-shalati wa hum abna’ sab’in.” [Ajarkanlah kepada anak-anakmu shalat, ketika mereka berusia tujuh tahun]. Makna hadist ini sebenarnya tidak hanya memerintahkan shalat, tetapi juga hukum syara’ yang lain.
Di masa lalu, keluarga Muslim menjadi madrasah pertama bagi putra-putrinya. Semenjak masih dalam kandungan dan berlanjut saat telah lahir, orang tuanya membiasakan putra-putrinya untuk menghafal Alquran dengan cara memperdengarkan bacaannya. Rutinitas itu membuat mereka bisa hafal Alquran sebelum usia enam atau tujuh tahun.
Di samping itu, mereka juga dibiasakan untuk mengerjakan shalat, berpuasa, berzakat, infaq hingga berjihad. Seperti halnya Muhammad Alfatih ini, semasa hidupnya tidak pernah meninggalkan shalat fardu, shalat sunah, shalat Tahajud, dan berpuasa. Dan sejarah mengisahkan bahwa proses pendidikannya tidak terlepas dari peran orang tua dan gurunya. Begitupun dengan sosok hebat lainnya seperti Abdullah bin Zubair. Jiwa ksatria pemberani tidak lepas dari didikan orang tuanya sejak dini.
Kedua, Kehidupan yang bersih. Bersih di sini bermakna kehidupan para pemuda di zaman kejayaan Islam sangat jauh dari hura-hura, dugem dan kehidupan hedonistik lainnya. Terbebas dari miras dan narkoba. Ketika dilanda masalah, maka mereka serahkan pada Sang Pemberi Petunjuk. Yakin akan pertolonganNya, qadha’ dan qadar, rizki, dan ajal yang memang sudah diaturNya.
Kehidupan pria dan wanita pun dipisah. Tidak ada ikhtilath, khalwat, menarik perhatian lawan jenis [tabarruj], apalagi pacaran hingga perzinaan. Berbagai pintu mendekati kemaksiatan ditutup rapat. Sanksi hukumnya pun tegas dan keras, sehingga membuat siapapun yang hendak melanggar akan berpikir ulang. Sungguh kehormatan [izzah] pria dan wanita, serta kesucian hati [iffah] mereka terjaga.
Ketiga, Sibuk dalam ketaatan. Ada ungkapan bijak, “Jika seseorang tidak menyibukkan diri dalam kebenaran, pasti sibuk dalam kebatilan” (Al Jawabul Kaafi hal 156). Ya, apabila waktu kita tidak diisi dengan hal yang positif, pasti akan diisi dengan hal yang negatif. Maka seperti tayangan atau aktivitas lain yang bisa menyibukkan generasi penakluk dalam kebatilan harus dihentikan.
Nabi SAW menitahkan, “Min husni Islami al-mar’i tarkuhu ma la ya’nihi.” [Di antara ciri baiknya keislaman seseorang, ketika dia bisa meninggalkan apa yang tidak ada manfaatnya bagi dirinya]. Boleh jadi sesuatu yang tidak manfaat itu mubah, tetapi sia-sia. Waktu, tenaga, pikiran, bahkan harta yang digunakannya pun hilang percuma.
Dengan menyibukkan diri dalam ketaatan, produktivitas generasi muda di era kejayaan Islam sangat luar biasa. Banyak karya ilmiah, riset dan penemuan yang mereka hasilkan saat usianya masih muda. Misalnya Imam an-Nawawi, ketika usia 20 tahunan bisa menghasilkan berjilid-jilid kitab. Imam Ahmad, Imam Bukhari dan lainnya bisa mengumpulkan dan hafal lebih dari satu juta hadits.
Bisa dipastikan, ketika memahami dan menjalankan ketiga faktor di atas, maka calon generasi penakluk ini tidak akan mengalami yang namanya krisis identitas. Mereka memahami betul siapa dirinya, apa tujuan hidupnya, dan manfaat apa yang bisa mereka berikan untuk negerinya. Tentu tidak akan keliru juga dalam memilih sosok yang patut diidolakan.
Dan pastinya semua ini bisa tercapai dengan adanya peran negara yang menjalankan sistem sempurna yang bersumber dari Sang Pencipta yakni Khilafah. Karena sesungguhnya generasi penakluk seperti di atas hanya pernah terjadi dalam masa kejayaan Khilafah, bukan yang lain. Wallahu a'lam bishshawab.[]
Picture Source by Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected].