"Memilih Allah di atas segalanya menjadikan diri selalu tegar menjalani setiap keadaan. Sesulit apa pun itu. Letakkan cinta kita kepada manusia di bawah cinta-Nya, maka kita tak akan pernah terkhianati ataupun bersedih hati."
Oleh. Deena Noor
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Saya pernah membaca sebuah kisah nyata yang dimuat di sebuah majalah wanita terkenal. Mata saya sembap usai membaca kisah tersebut. Terbayang bagaimana sedih dan malangnya keadaan sang tokoh.
Kisah itu adalah tentang seorang ibu yang berjuang merawat buah hatinya yang merupakan anak berkebutuhan khusus (ABK). Yang membuat dada saya sesak adalah kenyataan bahwa sang ibu harus dihadapkan pada pilihan berat. Ia diharuskan memilih suami atau anaknya.
Dalam pemikiran saya yang masih anak-anak kala itu apa yang terjadi pada sang ibu sangat sulit diterima. Terlebih lagi setelah tahu bahwa yang mengultimatum si ibu adalah suaminya sendiri alias sang ayah kandung ABK.
Kenapa ayah tega melakukan itu?! Tak sayangkah ia pada istri dan anaknya? Apa yang membuatnya ngotot begitu? Sambil menangis, saya terus bertanya-tanya sendiri. Sungguh, saya tidak memahami dunia ini. Perasaan dan logika saya seperti diaduk-aduk.
Tidak dijelaskan secara mendetail alasan kenapa sang ayah meminta ibu untuk memilih di antara dirinya dengan sang putra. Demi menjaga privasi keluarga dan kehormatan sang ayah, ibu itu tidak bisa mengungkapkan secara gamblang. Ada persoalan yang memang telah lama membelit dan tak kunjung terselesaikan. Sempat diceritakan sedikit bahwa sang ayah merasa ibu terlalu perhatian kepada anaknya.
Bukankah memang sudah semestinya anak mendapatkan perhatian dan perlindungan dari orang tuanya? Apakah salah bila ibu mencintai dan ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya? Apalagi kondisi ‘tidak beruntung’ yang dimiliki sang putra tentu membutuhkan perlakuan ekstra.
Saat itu saya sama sekali tidak mengerti bagaimana kondisi keluarga dengan ABK, perjuangan mereka, dan seperti apa beratnya. Namun, pemikiran sederhana saya menuntun bahwa ‘ketidaknormalan’ sang anak itu berimplikasi pada hal-hal yang menuntut upaya lebih dari biasanya dalam banyak sisi. Menurut saya itu pasti berat bagi mereka.
Pada akhirnya, ibu memilih sang putra dengan alasan ia lebih membutuhkan dirinya dan tak kuasa bila harus ‘melepas’ buah hatinya tersebut. Pilihan itu mengandung konsekuensi ia harus berpisah dari sang suami. Entah seperti apa kehidupan anak dengan ibu itu tanpa ayah di sisi mereka.
Hati saya terluka. Kisah itu benar-benar membuat saya merasa terkhianati. Ada ketidakadilan yang juga menorehkan luka mendalam. Sungguh tidak adil bila ibu harus menanggung beban seberat itu. Harusnya ibu mendapat dukungan penuh dalam merawat anak-anaknya. Bagaimana pun keadaannya, tidak patut bagi ayah meninggalkan ibu menjalani semuanya sendirian.
Kenapa harus memilih? Tak bisakah menahan semua ego demi sang anak? Begitulah tanya saya kala itu.. Sisi emosional saya tercabik
Tahun berganti tahun. Kisah itu tak pernah terlupakan. Kini, setelah berkeluarga dan mengalami sendiri dinamika dalam berumah tangga saya bisa melihatnya dengan pandangan yang lebih luas. Setiap keluarga memang punya masalah dan ujiannya masing-masing serta bagaimana menghadapinya.
Sebagai seorang muslim tentunya harus menjadikan Allah sebagai satu-satunya tempat bertumpu. Dalam keadaan apa pun, Dialah yang senantiasa menjadi sandaran. Apa yang kita lakukan harusnya memang Dia yang kita tuju. Melibatkan-Nya selalu di setiap detik kehidupan.
Perjalanan hidup akan menghadapkan kita pada pilihan-pilihan. Terkadang pilihan tersebut amat sulit karena menyangkut orang-orang yang kita cintai. Tak terbayangkan betapa beratnya harus memilih di antara keluarga sendiri. Ibaratnya seperti memilih hati dan jantung. Dua hal yang sama-sama penting.
Namun, bila harus memilih, maka saya memilih untuk menyerahkan semuanya pada Dia. Biarlah Allah yang menuntun jalan. Terdengar klise, tetapi memang seperti itulah adanya. Kita tak bisa memaksa siapa pun tetap berada di sisi kita. Kita tak punya kuasa menggerakkan hati manusia. Kita tak mungkin mengubah cinta dan benci sesuai kehendak kita. Hanya Allah yang bisa.
Bila memang harus memilih, maka mintalah pada-Nya untuk memberikan petunjuk dan kekuatan. Kita penuhi kewajiban sebagai hamba dengan menjaga ketakwaan selalu untuk-Nya. Tiada lepas doa dan harapan kita hanya pada-Nya. Dengan begitu, jalan akan terbuka dan kita mampu melaluinya menurut kehendak Dia, Sang Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.
Kita bukan apa-apa tanpa-Nya. Dialah tumpuan dan tujuan. Dialah yang memberikan kekuatan dan pertolongan sehingga kita mampu melakukan segalanya. Dia juga yang menunjukkan kita pada jalan yang terbaik, termasuk dalam membuat pilihan. Apa pun pilihan kita, sesungguhnya hanya rida Allah yang kita cari. Tak ada kekecewaan berarti jika sedari awal kita yakin bahwa apa pun yang digariskan oleh-Nya itulah yang terbaik.
Menyadari bahwa semua yang ada di sisi kita saat ini hanya titipan. Pasangan dan anak kita juga hanya sementara saja keberadaannya. Pada waktunya, mereka akan berpisah dari kita, entah sementara atau selamanya karena kematian. Bisa kita atau mereka dahulu yang pergi meninggalkan. Hanya Allah yang tetap berada di sisi kita. Hanya Dia yang tetap setia dan tak penah mengkhianati sebagaimana yang telah dinyatakan dalam surah At-Taghabun ayat 15: “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
Memilih Allah di atas segalanya menjadikan diri selalu tegar menjalani setiap keadaan. Sesulit apa pun itu. Letakkan cinta kita kepada manusia di bawah cinta-Nya, maka kita tak akan pernah terkhianati ataupun bersedih hati. Allah telah menegaskan dalam surah At-Taubah ayat 24 bahwa: “Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk pada orang-orang yang fasik.”
Wallahu a’lam bish-shawwab[]