"Satu faktor terpenting agar anak bisa sesuai harapan adalah terletak pada kekuatan doa dan rasa sabar orang tuanya. Menyerahkan segala urusan hanya kepada Allah Swt."
Oleh. Isty Da’iyah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah pahala yang besar.” (At-Tagabun [64]:15)
Dari ayat di atas, kita bisa mengambil banyak hikmah dengan keberadaan amanah yang berupa anak. Mempunyai buah hati yang qurota’ayun, dan tumbuh menjadi pribadi kuat, pejuang yang tangguh, serta kukuh dalam berdakwah adalah harapan semua orang tua. Dapat dipastikan semua orang tua mempunyai harapan besar kepada anaknya. Di antaranya berharap supaya anaknya menjadi penerus perjuangan dalam menegakkan hukum-hukum Allah subhanahu wa ta’ala.
Tidak ada orang tua yang menghendaki anaknya jatuh pada perbuatan yang sia-sia. Semua punya cita-cita terhadap masa depan anaknya. Misalnya orang tua yang sudah terbiasa terlibat dalam aktivitas dakwah, pasti juga ingin anaknya menekuni jalan dakwah yang sama, bahkan dengan kualitas yang lebih baik.
Semua orang tua juga menghendaki masa depan anaknya lebih baik, secara kepribadian (syakhsiyah) maupun secara materi (madiyah). Hal ini sangat manusiawi, karena orang tua memang dituntut untuk selalu bertanggung jawab atas amanah mendidik anak-anaknya.
Namun, pada kenyataannya orang tua sering berhadapan dengan kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan. Ada saatnya keinginan anak berbeda dengan orang tuanya. Terlebih pada usia anak yang sudah menginjak remaja ( ghorizah baqo’ sangat mendominasi). Tidak jarang kita sebagai orang tua dibuat pusing. Misalnya, masalah memilih kegiatan atau organisasi, teman, dan memilih lembaga pendidikan sampai kepada masalah penampilan, ini sering membuat orang tua khawatir bahkan was-was.
Apalagi saat ini, kehidupan sekuler kapitalis membawa tantangan tersendiri dalam mendidik anak. Era digital yang begitu cepat, sangat berpengaruh terhadap pola pikir anak. Kondisi kehidupan yang dihadapi anak kita pun semakin kompleks dan berat. Gaya hidup yang ditawarkan dari sistem kapitalis sekuler membuat anak-anak lebih rentan untuk tertarik pada kemewahan, dan kesenangan semu, daripada memikirkan idealisme yang berat.
Menghadapi kenyataan ini, sering kita sebagai orang tua terjebak pada perkara perselisihan dengan anak, yang membuat hubungan menjadi renggang. Atau bahkan terkadang, untuk menghindari perselisihan atau konflik banyak orang tua yang membebaskan keinginan anak, dengan alasan agar potensinya melejit. Namun, alih-alih anak menjadi baik justru ini menjadi kesempatan anak untuk menyenangkan ambisinya yang bisa menjauhkan dari koridor syariat.
Untuk itulah dibutuhkan panduan untuk mendudukkan harapan orang tua dengan kondisi anak kita saat ini. Orang tua harus menyiapkan beberapa hal, agar harapannya bisa sejalan dengan kondisi anak. Butuh pemahaman dari orang tua agar tidak kehilangan momentum dalam mendidik anak akibat dari perselisihan yang sering terjadi. Atau kekecewaan yang mendalam akibat apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan.
Menentukan Skala Prioritas dan Standar
Tantangan dalam mendidik anak dari hari ke hari memang semakin berat. Ketika sistem sudah tidak lagi berpihak pada fitrah orang tua dan anak, maka tanggung jawab itu akan berada di pundak kita. Kita harus tetap berusaha maksimal untuk menyelamatkan anak-anak kita dari bahaya yang selalu mengintainya.
Orang tua harus pandai memilih dan memilah mana harapan yang baku (harus terwujud) dan tidak baku (tidak harus terwujud karena alasan tertentu). Pemilahan ini haruslah tetap bersandarkan pada hukum syariat. Ini sangat diperlukan agar kita tidak terjebak pada aktivitas yang sia-sia dan menghabiskan energi.
Kebijakan dalam memilih skala prioritas ini, akan mengurangi konflik yang terjadi ketika anak dan orang tua saling berkomunikasi. Karena anak mempunya kondisi dan potensi yang berbeda-beda. Ia akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi, lingkungan dan zaman yang berbeda dengan kita. Orang tua perlu mengarahkannya agar anak tetap berada dalam koridor syariat.
Misalnya, harapan yang baku itu adalah, ketika kita ingin menjadikan anak kita sebagai pengemban dakwah atau orang yang fakih (paham) dalam agama. Harapan inilah yang harusnya mendapat porsi lebih, karena menurut prioritas inilah yang harus didahulukan. Sementara skala yang tidak baku misalnya masalah anak nanti akan berprofesi sebagai apa, dan contoh yang lain sebagainya.
Selain menentukan skala prioritas tentang harapan kita kepada anak, satu hal yang tidak kalah penting adalah menanamkan standar untuk anak dalam menentukan sebuah pilihan. Anak harus dididik sejak dini agar mempunyai standar yang benar dalam berbuat dan memilih apapun, diantaranya:
Pertama, standar akidah. Artinya, apapun harapan dan keinginan anak dan orang taunya haruslah satu perkara yang tidak menjauhkan dari keimanan. Harus ditanamkan dalam diri anak segala perkara yang dipilih harus perkara yang bisa menguatkan keimanan kita kepada Allah Swt. Perlu ketegasan dalam hal ini, agar menjadi sebuah kebiasaan.
Kedua, menjaga ketaatan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Artinya menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman dalam hidupnya. Karena dalam menentukan prioritas amal haruslah mengikuti hukum syariat. Misalnya, yang namanya kewajiban tidak boleh ditinggalkan, harus diutamakan daripada yang sunah, apalagi yang mubah. Meninggalkan yang makruh dan yang haram adalah satu keharusan yang harus dilakukan bersama-sama.
Sebuah keharusan bagi orang tua mengajarkan pada anak untuk memilih perkara yang bisa mengamankan syariat terhadap dirinya. Sebagaimana hadis dari Rasulullah yang artinya: “Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada,” (HR Ahmad dan At-Tiridzi).
Ketiga, memantapkan diri menjadi manusia mulia di sisi Allah Swt. Salah satu hal yang menjadikan manusia mulia di sisi Allah, adalah menjadikan diri kita dan anak kita berada dalam barisan orang-orang yang mengemban dakwah Islam.
Arahkan anak untuk selalu beramal makruf dan menyeru kepada kebenaran Islam. Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an surah Ali-Imran ayat 104 yang artinya: “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung.”
Sehingga tugas orang tua harus senantiasa mengarahkan anak-anaknya agar tidak melalaikan kewajiban ini.
Menjadi Orang Tua Harapan Masa Depan
Untuk mewujudkan kenyataan yang seindah harapan terhadap anak-anak kita, memang bukan perkara mudah. Apalagi tidak bisa dimungkiri kalau sistem juga lebih banyak berperan dalam mewujudkannya. Namun, selama sistemnya masih rusak seperti saat ini, maka tugas kita adalah harus menyiapkan diri kita menjadi orang tua teladan. Sehingga paling tidak kenyataan tidak terlalu jauh dari harapan.
Dalam kehidupan rumah tangga, perilaku anak tidak akan jauh dengan perilaku orang tua. Karena orang tualah lingkungan terdekat yang akan memberi warna terhadap anak-anaknya. Sehingga orang tua harus memberikan keteladanan sebaik mungkin sejak dini, agar muncul idealisme dalam diri anak. Sehingga pilihan yang diambil oleh anak bisa sejalan dengan harapan orang tua.
Keteladanan orang tua akan menjadi spirit bagi anak dalam mewujudkan harapannya. Apalagi ketika didukung dengan cara komunikasi yang baik, maka segala perkara bisa didudukkan pada tempatnya. Dengan komunikasi yang menyenangkan, anak akan menjadikan orang tuanya tempat ternyaman menyampaikan segala persoalannya.
Satu faktor terpenting agar anak bisa sesuai harapan adalah terletak pada kekuatan doa dan rasa sabar orang tuanya. Menyerahkan segala urusan hanya kepada Allah Swt. Berusaha sabar atas segala yang telah menjadi jatah takdir kita. Karena tidak semua orang bisa mendapat jatah anak yang penurut dan patuh. Perlu usaha lebih untuk membimbing dan mendidiknya, dan inilah sejatinya letak pahala itu berada.
Setelah kita berusaha sekuat tenaga mencurahkan segala usaha untuk mendidik anak kita, selanjutnya biar Allah yang menjaga anak kita. Karena Allah adalah sebaik-baik penjaga. Tugas kita hanya yakin pasti akan ada kebaikan yang Allah berikan untuk anak kita, baik itu kebaikan di dunia atau di akhirat kelak.
Wallahu’alam bi shawab[]
Sabar tanpa batas saat mendidik anak, ya. Karena ada pahala ketika harus berulang kali mengingatkan dan menasehati.