"Sebagai manusia, sudah fitrahnya ada air mata di dalam setiap pernikahan. Namun, sebagai hamba, seharusnya bagaimana mewujudkan air mata pernikahan ini untuk meraih rida Allah Swt., bukanlah air mata yang mengalir karena perhitungan dunia"
Oleh: Novida Sari, S.Kom
(Ketua Majelis Taklim Islam Kaffah Mandailing Natal)
NarasiPost.Com-Tidak ada pernikahan yang tidak mengalami air mata dan kesedihan, termasuk di kalangan manusia-manusia pilihan. Lihat saja bagaimana Asiyah Binti Muzahim, istri Fir’aun laknatullah. Demi mempertahankan keimanan kepada Allah Swt., ia rela disiksa sang suami hingga ajal menjemputnya. Memiliki suami sekejam dan sezalim Fir’aun tidak lantas membuatnya gentar dan putus asa, hingga Allah Swt. pun memberikan padanya jaminan surga lengkap dengan rumah yang telah dibangun untuknya.
Pernikahan mulia Nabi Ibrahim as. dengan Ibunda Hajar juga tak luput dari air mata. Bagaimana tidak, di tengah kebahagiaan tengah memenuhi relung jiwa dengan kehadiran sang buah hati, Allah Swt. memerintahkan agar Ibunda Hajar hijrah ke tempat asing yang tidak ada penduduk di tengah padang pasir yang tandus. Beliau hanya berdua dengan putra tercinta, tanpa didampingi sang suami, hingga perbekalan mereka habis.
Rasa dahaga datang menghampiri, diiringi tangisan dari mulut mungil Ismail kecil. Dengan penuh pengharapan dan air mata, Ibunda Hajar pun berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah. Karena keteguhan hati, kesabaran, dan kekuatan iman yang tetap tertancap di hatinya, maka Allah Swt. pun mengganti air mata beliau dengan mata air yang kita kenal dengan air Zamzam.
Begitu juga dengan teladan umat Islam sedunia. Pernikahan Nabi Muhammad saw. dengan Ibunda Khadijah binti Khuwailid, sungguh tidak lepas dari air mata pernikahan. Di dalam pernikahannya, Khadijah sering menahan rasa lapar sambil menyusui anaknya sehingga yang keluar bukan lagi air susu, tetapi darah yang masuk ke mulut Fatimah Azzahra.
Dikisahkan dalam Sirah Sayyidah Khadijah, di suatu waktu, tatkala Rasulullah saw. pulang dari berdakwah dan tidur di pangkuan Ibunda Khadijah, air mata Ibunda Khadijah menetes ke pipi Rasulullah saw. sehingga Rasulullah saw. pun bertanya,
“Wahai Khadijah, mengapa engkau menangis? Adakah engkau menyesal bersuamikan aku? Dahulu engkau wanita bangsawan, engkau mulia, engkau hartawan, tetapi hari ini engkau telah dihina orang, semua orang telah menjauh darimu, seluruh harta bendamu habis. Adakah engkau menyesal bersuamikan aku, Muhammad?"
Kemudian Ibunda Khadijah pun menjawab, “Wahai suamiku, wahai Nabi Allah, bukan itu yang aku tangiskan. Dulu aku memiliki kemuliaan, kemuliaan itu aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Dahulu aku memiliki kebangsawanan, kebangsawanan itu pun aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Dahulu aku memiliki harta kekayaan, seluruh harta kekayaan itu aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Wahai Rasulullah, sekarang ini aku tidak memiliki apa-apa lagi. Akan tetapi, engkau masih terus memperjuangkan agama ini. Wahai Rasulullah, seandainya aku telah mati sedangkan perjuanganmu ini belum selesai, kemudian engkau hendak menyeberangi lautan, engkau hendak menyeberangi sebuah sungai dan engkau tidak menemukan satu perahu pun ataupun jambatan, maka engkau gali lubang kuburku, engkau gali kuburku, kemudian ambillah tulang belulangku, engkau jadikan jembatan sebagai jalan menyeberangi sungai itu untuk menemui umatmu.” Mendengar hal ini, Rasulullah saw. pun menangis.
Sebagai manusia, sudah fitrahnya ada air mata di dalam setiap pernikahan. Namun, sebagai hamba, seharusnya bagaimana mewujudkan air mata pernikahan ini untuk meraih rida Allah Swt., bukanlah air mata yang mengalir karena perhitungan dunia.
Memang benar, di kehidupan kapitalisme akan banyak air mata yang akan menetes, akan sering air mata itu menghiasi hari-hari membersamai anak dan pasangan. Namun, bersabarlah karena Allah Swt.
Sejatinya pasangan kita tidaklah seperti Fir’aun. Kesulitan berumah tangga pun tidak sesulit kehidupan Ibunda Hajar. Namun, berpandanganlah sebagaimana pandangan pasangan Rasulullah bersama Ibunda Khadijah, tidak berfikir siapa yang memberi dan siapa yang menerima. Akan tetapi, bagaimana agar masyarakat bisa menerima Islam secara menyeluruh di tengah rusaknya peradaban manusia.
Berfikirlah agar senantiasa menjadikan rida Allah Swt. sebagai tujuan hidup. Jadikan kehidupan akhirat yang abadi sebagai prioritas, sehingga saat air mata yang keluar membasahi pipi, serta ketegaran dan kesabaran yang membersamai, menghasilkan keimanan yang kokoh seperti Ibunda Hajar, Ibunda Khadijah dan Ibunda Asiyah istri Fir’aun hingga akhir hayat. Wallahu a’lam bishshawab[]