“Hal krusial yang harus dipahami seorang istri adalah menaati perintah suami merupakan kewajiban. Sementara, menjenguk orang tua sakit juga merupakan bentuk birrul walidain. Namun, tentu saja hal ini akan berbuah pahala jika telah mendapat restu suami.”
Oleh. Tsuwaibah Al-Aslamiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-“Bun, sabar ya. Sepertinya kita batal mengakhiri LDR tahun ini. Untuk kebaikan semua, menurut ayah, bunda lebih baik mengurus kedua orang tua kita yang sakit terlebih dahulu.”
Entah mengapa untaian kata yang terlontar dari lisan suamiku ini begitu menusuk hatiku. Pasalnya, mengakhiri LDR merupakan impianku selama ini, maklumlah nyaris 12 tahun aku menjalani hubungan jarak jauh dengan imamku. Qadarullah, ketika persiapan untuk berkumpul sudah hampir 100%, musibah menghampiri keluarga kami. Ibuku mengalami serangan jantung dan harus menjalani rangkaian pemeriksaan medis, begitu pula ibu mertuaku sudah lama mengidap penyakit kronis. Sementara, anggota keluarga yang lain ada uzur syar’i, sehingga tidak berkesempatan menunaikan kewajiban mulia ini.
Apakah kamu pernah mengalami hal yang serupa denganku? Dilema antara mengurus suami dan orang tua? Aku termasuk beruntung, karena suami berbaik hati mengalah dan lebih memprioritaskan kebutuhan orang tua.
Namun, tidak sedikit di luar sana, suami yang mengekang istrinya hingga memutus akses birrul walidain sang istri pada orang tuanya. Jangankan untuk mengunjungi, bahkan untuk sekadar bertanya kabar via ponsel pun tak pernah menyempatkan diri.
Hal ini memantikku untuk mengetahui sejauh mana sih pandangan Islam dalam pengaturan relasi suami-istri dan anak-orang tua? Apakah gerangan keutamaan yang akan direngkuh jika anak merawat orang tuanya yang sakit?
Taat pada Suami atau Orang Tua?
Setiap insan yang terlahir di dunia ini selayaknya memuliakan orang tua yang telah melahirkan, mengurus, dan mendidiknya. Setiap peluh keringat, putusnya urat syaraf, dan hela napas dipersembahkan untuk buah hatinya tercinta.
Ternyata selain bentuk rasa syukur, bakti pada orang tua atau birrul walidain merupakan perintah Allah Swt., baik laki-laki maupun perempuan, sehingga ini menjadi kewajiban yang harus ditunaikan. Hanya saja, bagi wanita yang telah bersuami derajat orang tua dalam hierarki pengabdian bergeser kedudukan oleh suami. Ummul Mukminin Aisyah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah tentang hal tersebut:
Aku bertanya kepada Rasulullah saw., “Siapakah orang yang paling berhak atas seorang wanita? Rasulullah saw. menjawab, “Suaminya”. Aku berkata, lalu siapakah orang yang paling berhak atas seorang lelaki? Rasulullah saw. menjawab, “Ibunya”. (HR. An-Nasa’i no. 3231)
Dari hadis di atas jelas bahwa menaati suami merupakan kewajiban seorang istri. Tentunya ia tak diperkenankan membangkang terhadap perintah suami demi melaksanakan sesuatu yang tak wajib. Namun, bagaimana jika orang tua sang istri sakit, dan ia ingin menjenguk bahkan merawatnya? Jika suami rida dan mengizinkan, tentu saja ini bukan masalah. Maka ia sangat beruntung, karena di saat yang bersamaan ia mendapat dua keutamaan, yakni menaati suami dan birrul walidain. Namun, lain soal jika sang suami tak memberikan restunya. Di sinilah sang istri dituntut untuk mempertimbangkan pilihannya.
Dalam konteks di atas, beberapa ulama berbeda pendapat. Para ulama Hambali melarang istri keluar rumah, kecuali dengan izin suaminya. Sementara itu, para ulama Hanafi justru membolehkan istri menjenguk orang tua dengan atau tanpa izin suaminya. Hanya saja untuk konteks merawat orang tua yang itu memakan waktu lama perlu ada pendalaman lagi. Pandangan lain terlontar dari para ulama Syafi’iyah yang menyatakan bahwa suami memang berhak melarang istrinya, tetapi sebaiknya sang suami tak melakukan pelarangan tadi sebab akan menodai hak-hak istri.
Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama ini, hal krusial yang harus dipahami seorang istri adalah menaati perintah suami merupakan kewajiban. Sementara, menjenguk orang tua sakit juga merupakan bentuk birrul walidain. Namun, tentu saja hal ini akan berbuah pahala jika telah mendapat restu suami.
Para suami juga harus memahami pola mu’asyarah (perlakuan) yang baik kepada istri. Suami tidak boleh semena-mena mengatur istri sekehendak hati tanpa mempertimbangkan kemaslahatan istri dan biduk rumah tangganya. Firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 19: “Dan bergaullah dengan mereka dengan cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.”
Tahukah para suami? Bahwa memperlakukan istri dengan cara yang makruf merupakan ruh dalam bahtera pernikahan. Pasalnya, jika perintah ataupun larangan suami tidak mempertimbangkan kebutuhan sang istri, maka hal itu akan memicu pembangkangan istri sehingga keretakan mahligai rumah tangga tak terelakkan. Selain menuntut hak, seyogianya suami pun wajib memberikan hak-hak istri sesuai kemampuannya. Sebab, menunda hak istri padahal suami mampu menunaikan terkategori kezaliman. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Menunda-nundanya orang yang mampu merupakan sebuah kezaliman.” (HR. Bukhari no.2400)
Cukuplah Rasulullah menjadi teladan dalam hal perlakuan suami kepada istri dan keluarganya. Dalam sebuah hadis riwayat Tirmizi dikatakan, “Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik (akhlaknya) terhadap istrinya.”
Keutamaan Merawat Orang Tua yang Sakit
Mungkin masih terhunjam dalam benak kita bagaimana perlakuan orang tua di saat kita sakit dahulu. Rasa panik, cemas, bercampur tulusnya kasih sayang orang tua dalam merawat diri kita, memastikan kondisi kita normal kembali dan bisa beraktivitas sebagaimana biasanya.
Dunia berputar, kini saatnya kita melakukan hal yang sama terhadap orang tua yang sedang sakit. Sebagai anak, kita berkewajiban merawat orang tua yang sakit. Sebab, itu menjadi bagian dari birrul walidain. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Sungguh merugi, sungguh merugi, sungguh merugi seseorang yang mendapati kedua orang tuanya sudah renta atau salah seorang dari keduanya, namun tidak dapat membuatnya masuk surga.” (HR. Muslim)
Merawat orang tua yang sakit bisa menjadi salah satu pintu gerbang menuju surga bagi anak. Namun, inilah hal yang kadang disepelekan dan disia-siakan anak. Bahkan, saking tak mau direpotkan dengan ‘rewel’ nya orang tua, tak sedikit yang menitipkannya ke panti jompo atau menyewa suster untuk merawatnya. Padahal, sang anak masih mampu untuk merawatnya sendiri atau bersama saudaranya yang lain.
Kesibukan dan ketidakpedulian terhadap kebutuhan orang tua membutakannya dari iming-iming surga dan hikmah yang akan sang anak peroleh. Lantas, apa saja hikmah di balik upaya merawat orang tua yang sakit?
Pertama, semakin mendekatkan diri pada Allah Swt., Zat Yang Maha Menurunkan dan Mengangkat penyakit pada makhluk-Nya. Dalam merawat orang tua, tentu saja anak harus sering melangitkan doa-doa agar Allah berkenan memberi kesembuhan atau akhir yang indah bagi orang tuanya. Bukankah memberikan kesembuhan itu kuasa Allah? Ingatlah, manusia hanya bisa berikhtiar, Allah yang menentukan hasilnya.
Kedua, melekatkan hubungan anak dengan orang tuanya. Interaksi yang berkesinambungan ditambah dengan untaian ketulusan yang terpancar pada hangatnya tatapan mata dan lembutnya perlakuan anak kepada orang tua akan meluluhkan hati orang tua, hingga tanpa diminta dengan penuh keridaan akan mengalirkan restu dan doa yang tak terputus untuk anak tercinta.
Ketiga, mempererat kedekatan dengan anggota keluarga/saudara yang lain. Jika upaya merawat orang tua dilakukan secara bersama-sama, maka akan terasa lebih ringan. Orang tua akan merasa bahagia menyaksikan keharmonisan dan kekompakan keluarganya, secara tidak langsung akan memompa semangat untuk kesembuhannya.
Keempat, sebagai sarana belajar praktis bagi putra-putri kita dalam menerapkan konsep birrul walidain. Tak cukup teori, buah hati kita pun butuh ‘teladan terdekat’ dalam mengamalkan kewajiban ini. Jika anak keturunan kita menyaksikan ketulusan dan kesabaran kita dalam merawat orang tua, maka kelak ini pula yang harus dilakukan mereka ketika mendapati kita sudah renta dan tak berdaya dimakan usia dan dirundung penyakit lansia.
Jika seorang anak telah berhasil melewati ujian ini dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, maka akan menguntungkan keduanya. Bagi orang tua, memiliki anak saleh akan menjadi gerbang pahala menuju surga. Begitu pun bagi anak, amalan merawat orang tua akan menjadi pundi-pundi pahala menuju surga.
Ini berarti, jika sang suami memberikan izin kepada istrinya dan keduanya bersepakat untuk saling mendukung dalam hal pengabdian pada orang tuanya yang sakit, maka dapat dipastikan keberkahan dan keridaan orang tua yang juga menjadi keridaan Allah taala akan terus mengalir pada rumah tangga pasutri ini. Bukankah kita tak pernah tahu pintu mana yang bisa menghantarkan kita pada jannnah -Nya?
Khatimah
Kehidupan berumah tangga memang harus dilandasi prinsip mubaadalah (kesalingan). Tak diperkenan egoisme salah satu pasangan mendominasi. Sebab, Islam telah mengatur sedemikian rupa hak, kewajiban, dan peranan suami dan istri untuk saling melengkapi. Jika semua kekhasan itu dijalankan dengan penuh cinta, komunikasi yang lancar, dan kesadaran akan kebutuhan pasangan maka akan terwujud keluarga sakinah, mawadah, warahmah yang didamba semua insan. Sehingga, tidak akan ada lagi dilema antara memilih suami atau orang tua. Sebab, semua telah saling memahami.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]
Photo : Pinterest
Semoga Allah Swt melimpahkan keberkahan kepada suami yang bersabar dan mengizinkan istrinya untuk merawat orang tua. Sakitnya ibu semoga menjadi ladang pahala buat keduanya (suami dan istri)
tulisan yang mencerahkan, banyak yang masih terjebak dalam perkara demikian antara suami dan ortu merupakan pilihan yang harus dilandasi dalil dan saling memahami. masyaAllah tulisan ini bermanfaat sekali