Fatherless: Ayah, Antara Ada dan Tiada

"Andai ayah selalu berada di rumah pun, kehadirannya antara ada dan tiada untuk anak. Tak betah mengobrol lama dengan anak, lebih nyaman menyampaikan pesan untuk anak, lewat ibunya."

Oleh. Nurjanah Triani
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Apakah kamu sering mengobrol santai dengan ayahmu? Atau jangankan mengobrol, dengar suara batuknya saja kamu sudah panik duluan, dengar suara motornya dari kejauhan, kamu memilih kabur ke kamar, dan jika kamu perlu berbicara dengan ayahmu, kamu memilih menyampaikan pesan lewat ibu? Jika iya, mungkin kamu adalah salah satu realita anak Indonesia yang kekurangan figur ayah atau fatherless.

Sering kita melihat bahwa anak ketika di dalam rumah selalu bertanya kepada ibunya, sekali pun bertanya kepada ayah, mereka akan bertanya di mana keberadaan ibunya. Hal ini dianggap bukan hal yang istimewa, biasa saja atau memang begitu adanya. Namun, ternyata ini adalah salah satu ciri fatherless, atau kurangnya peran ayah.

Dalam kacamata masyarakat hari ini, peran seorang ayah adalah bekerja. Sedangkan anak menjadi urusan ibu sepenuhnya. Tak dapat ditampik, bahwa hal ini pulalah yang menganggap sistem masyarakat saat ini patriarki dan melahirkan kelompok feminis. Sebab, masyarakat memandang laki-laki porsinya hanya bekerja. Terlepas dari itu semua, seperti mengurus rumah, anak, melayani, dan lainnya merupakan tugas wajib seorang ibu. Tak heran, mengapa hal ini melahirkan pemikiran feminis untuk kesetaraan gender.

Andai ayah selalu berada di rumah pun, kehadirannya antara ada dan tiada untuk anak. Tak betah mengobrol lama dengan anak, lebih nyaman menyampaikan pesan untuk anak, lewat ibunya. Hal ini mengakibatkan anak berlaku demikian, ada atau tiada ayahnya di rumah, selama ada ibunya maka tidak apa-apa. Anak menjadi takut untuk berbicara kepada ayahnya.

Ironi Fatherless Country

Fatherless ialah kondisi di mana anak tidak memiliki sosok ayah dalam pola asuhnya. Kondisi ini dapat terjadi karena seorang anak sudah tidak memiliki ayah, atau ketika seorang anak memiliki ayah namun tak memiliki hubungan yang dekat dengan ayahnya karena berbagai alasan. Fatherless dalam hal ini bukanlah ketika anak kehilangan ayahnya karena meninggal dunia. Namun, merujuk pada ketiadaan peran ayah dalam perkembangan anak baik secara fisik ataupun emosional.

Pengasuhan anak sering dikaitkan menjadi tugas seorang ibu semata. Pandangan inilah yang mengakibatkan Indonesia berada di urutan ketiga fatherless country di dunia. Hal ini dapat kita lihat dengan kurangnya peran dan keterlibatan ayah dalam kehidupan sehari-hari anak di rumah. Salah satu penyebabnya adalah budaya dan stigma negatif di masyarakat terkait peran ayah dalam pengasuhan anak. Seperti pandangan bahwa ayah tidak mampu mengasuh anak atau tidak dapat mengurus rumah tangga. Padahal, pengasuhan anak juga tak bisa dibebankan hanya kepada ibu, sebab ayah tetap memiliki peranan penting dalam pengasuhan anak hingga terbentuk pola pengasuhan yang seimbang.

Dampak Fatherless

Peranan ayah dalam pengasuhan tak bisa digantikan oleh ibu. Ayah memiliki porsi tersendiri dalam pengasuhannya yang dibutuhkan oleh anak. Kehadiran sosok ayah dalam setiap fase tumbuh kembang anak akan membantu anak memiliki pengasuhan yang seimbang, tanpa ada ruang kosong yang hilang atau kurang dalam pendidikan anak.

Menurut Asosiasi Psikoterapi Anak, ayah memberikan kontribusi penting dalam perkembangan emosional anak. Cara berinteraksi ayah dengan anaknya cenderung lebih komunikatif dengan penggunaan kosakata yang beragam. Pola pertanyaan 5W+1H yang sering ayah utarakan dapat membuat anak memiliki kemampuan berkomunikasi lebih bertanggung jawab dan logis.
Saat anak tidak mendapatkan peran ayah dalam perkembangannya, akan berdampak pada sifat dan sikap perilaku anak. Untuk anak laki-laki, ia akan kesulitan dalam membahas perihal perasaan. Ia akan lebih memilih memendam hal yang ia rasakan. Sebab sosok ayah yang ia temui sehari-hari tak pernah membicarakan hal apa pun dengannya. Ia akan merasa risih saat membahas perihal perasaan. Sementara untuk anak perempuan, ia akan mudah luluh dengan gombalan lawan jenis yang memberikannya perhatian. Meskipun hanya perhatian yang ringan, namun ia menganggapnya sebagai hal yang spesial. Sebab ia tak mendapatkan hal tersebut dari laki-laki di rumahnya, yakni ayah. Jadi, tatkala ada laki-laki asing yang dapat memberikan itu, ia akan mudah merasa nyaman. Hal ini dapat berakibat negatif tatkala sang anak mudah jatuh cinta pada laki-laki yang tidak seharusnya, dikarenakan sifat mudah "baper" yang ia miliki.

Ibu Sekolah, Ayah Kepala Sekolahnya

Al ummu warabatul bait memang disematkan untuk seorang ibu, yakni madrasah pertama seorang anak. Namun hal itu tak lantas membuat ayah angkat tangan dalam perihal pendidikan anak. Sebab, jika ibu sebuah madrasah, maka ayah adalah kepala sekolahnya. Ialah yang perlu merancang kurikulum pendidikan dalam pengasuhan anak. Karena yang memiliki tanggung jawab atas apa yang ia pimpin adalah seorang kepala rumah tangga, yakni seorang ayah. Ayahlah yang diminta pertanggungjawabannya atas keluarga, begitupun pendidikan di dalamnya.

Pola asuh ayah yang baik yakni tegas namun tetap penuh perhatian. Ketegasan seorang ayah menggambarkan kewibawaan seorang laki-laki. Hal ini membentuk pola asuh ayah lebih logis dan komunikatif, sebab dalam situasi penting, ayah akan fokus pada pola pertanyaan 5W+1H. Manfaat hal tersebut dalam perkembangan anak ialah :

  1. Anak lebih sering berbicara dan mengungkapkan pendapat.
  2. Anak dapat lebih banyak menggunakan kosakata dan menghasilkan kalimat yang lebih panjang dan logis.
  3. Anak dapat berpikir lebih logis, karena perlu menyampaikan sesuatu agar dipahami oleh lawan bicara.

Bahkan, ketika ayah memiliki kedekatan khusus dengan anak, dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

  1. Kemampuan kognitif anak pada usia 6 bulan dapat lebih baik.
  2. Pada usia 1 tahun, kemampuan kognitif anak akan berkembang hingga memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik.
  3. Pada usia 3 tahun, IQ anak dapat lebih tinggi dibandingkan dengan anak seusianya yang tak memiliki peranan ayah dalam perkembangannya.

Telah jelas dalam Islam bagaimana pentingnya interaksi anak dengan ayahnya. Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an, Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: 'Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar'.” (QS. Lukman: 13)

يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ

“(Lukman berkata): 'Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui'” (QS. Lukman: 16)

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

“Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Lukman: 17)

Percakapan lukman dengan anaknya adalah gambaran bahwasannya ayahlah yang perlu mendidik seorang anak. Ibu mengajarkan, namun pendidikannya tetap di tangan ayah sebagai kepala sekolahnya.

Allahua'lam bish shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Nurjanah Triani Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Setulus Cinta Para Sahabat
Next
Standar Kecantikan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
R. Bilhaq
R. Bilhaq
1 year ago

Mengapa banyak para ayah yang hanya mau mengambil peran sebagai pencari nafkah namun meninggalkan peran sebagai komando dalam Rumah Tangganya? bukankah ini sebuah kewajiban yang bernilai pahala?

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram