"Seperti yang terjadi di beberapa platform aplikasi, kebebasan dan kemudahan seseorang dalam menyebarkan informasi, bahkan dalam bentuk video membuat tak terbendungnya batasan informasi yang boleh disebarkan."
Oleh. Nurjanah Triani
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kemajuan teknologi memang menjadi salah satu hal yang patut kita syukuri. Kemudahan disuguhkan untuk dinikmati dan dimanfaatkan. Tak ayal, sosial media pun sudah menjadi bagian erat di kalangan kaum muslim. Teknologi bisa menjadi potensi luar biasa saat digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat, memberi informasi, memudahkan komunikasi, hingga menjadi sarana dakwah yang mujarab. Namun, tak dapat dimungkiri bahwa teknologi bak pisau bermata dua, bisa menjadi penawar bagi kesulitan, bisa juga menjadi racun yang mematikan.
Racun teknologi bisa sangat mematikan untuk segala kalangan. Anak-anak yang tak kenal waktu bermain games, remaja yang mulai mencari tontonan-tontonan romantisme perzinaan, dewasa dengan berbagai dating apps yang meresahkan, bahkan orang tua masih ada yang menggunakan sosial media untuk bertengkar lewat story-nya, juga tontonan-tontonan tak senonoh yang bisa didapatkan dari aplikasi apa saja. Maka, racun ini berbanding lurus dengan manfaat teknologi itu sendiri. Kemudahan yang didapatkan berbanding lurus dengan harusnya memperketat penjagaan.
Seperti yang terjadi di beberapa platform aplikasi, kebebasan dan kemudahan seseorang dalam menyebarkan informasi, bahkan dalam bentuk video membuat tak terbendungnya batasan informasi yang boleh disebarkan. Semisal maraknya tren memberikan kode untuk mengajak dan meminta "jatah" yang dilakukan oleh sepasang suami istri, membeberkan perihal "rahasia" di dalam kamar dengan tujuan komedi, komplain perihal kekurangan pasangan saat berhubungan dengan tujuan seru-seruan, dan lain sebagainya. Konten-konten seperti melihat istri yang baru saja bersuci dari datang bulan atau selepas nifas, kemudian sang suami memberi kode untuk mengajak berhubungan, banyak ditemukan di sana. Hingga warganet tak lagi asing dengan kata “jatah”, “ritual malam jumat” dan “fast charging” yang sering menjadi slogan mereka.
Miris. Hal yang seharusnya begitu tertutup rapat, justru menyebar di jejaring sosial. Tak bisa dibayangkan, jikalau yang melihat konten tersebut adalah anak di bawah umur atau remaja, mereka akan secara liar mencari sendiri arti dari konten tersebut di sosial media, hingga tak menutup kemungkinan mengantarkan mereka pada video-video porno yang bertebaran tak tertahan. Belum lagi, tentu tak terjaganya pikiran orang-orang yang paham dan menonton, meningkatnya syahwat dan hawa nafsu dengan pikiran yang kotor. Dampaknya sangat luas, seseorang yang belum menikah paham konten tersebut hingga munculnya syahwat mengantarkannya pada masturbasi dan onani, atau bahkan yang sudah menikah bisa berpikiran kotor untuk membayangkan bagaimana jika benar kedua pasangan suami istri itu berhubungan badan. Ditambah konten seorang istri yang dikenal publik sebagai wanita berhijab sedang menggoda suaminya menggunakan "baju dinas". Bagaimana lagi kita sebagai sesama penikmat sosial media tidak berpikir kotor?. Terutama laki-laki, bukan tidak mungkin kaum lelaki membayangkan bentuk tubuh wanita tersebut. Astagfirullah…
Tentu, selain bagi yang menonton, muruah sebagai pasangan suami istri tidak lagi terjaga. Bagaimana akan terciptanya rahmah dalam keluarga, saat sesuatu yang seharusnya menjadi rahasia berdua, malah terpampang di sosial media ? Bagaimana bisa tercipta generasi pejuang agama, jika dalam prosesnya sudah melanggar aturan Tuhannya?
Maka, dalam pemanfaatan teknologi ini, perlu adanya rambu-rambu yang menjadi batasan:
1. Tidak ikut-ikutan tren
Begitu banyak tren yang tersebar di sosial media, namun tak semuanya baik untuk diikuti. Sebagai seorang muslim, kita perlu menilik mana hal yang boleh dilakukan dan mana yang dilarang. Jelas, jika hal itu dilarang, meskipun bisa diperhalus, atau berniat untuk candaan, maka tetap perlu dihindari.
2. Memanfaatkan sosial media untuk kebaikan
Sosial media dengan segala potensinya bisa mengantarkan kita pada pahala yang berlipat ganda. Bukan kita yang menjadi budak konten hanya untuk viral semata. Potensi kebaikan dalam bersosial media juga tak kalah dahsyat pengaruhnya. Kita bisa menggunakan berbagai platform untuk berdakwah menyerukan Islam kepada umat.
3. Atur algoritma sosial media
Algoritma beberapa platform bisa kita atur berdasarkan ketertarikan. Saat kita lebih lama menonton video berisikan tausiah, maka algoritma akan mengikuti hal tersebut. Beranda kita akan dipenuhi tausiah yang bermanfaat, jauh dari tontonan maksiat. Tetapi, jika kita sendiri secara sadar atau tidak sadar lebih menikmati tontonan tak berfaedah, maka itu pulalah yang ada di beranda sosial media kita.
4. Mengawasi anak dalam bersosial media
Hal penting lainnya adalah mengawasi anak. Sebagai seorang yang sudah dewasa, kita memiliki kemampuan untuk menyaring mana yang baik dan yang buruk, namun tidak untuk anak. Saat rasa penasarannya muncul tentang sesuatu, ia akan terus mencari jawaban hingga mendapatkannya. Masih beruntung, jika ia bertanya langsung pada kita sebagai orang tua. Celaka, jika anak memilih untuk mencari tahu sendiri di sosial media yang tak terbatas informasinya.
5. Kokohkan keimanan
Hal pokok lainnya ialah keimanan. Tanpa benteng keimanan, semua bisa hancur berantakan. Keimanan menjadi pondasi diri dan keluarga. Yaps. Tak cukup hanya diri sendiri, kita perlu membentengi keluarga dengan menanamkan keimanan, sebab terkadang tayangan tak sesuai syariat itu bisa kapan saja berlalu-lalang di sosial media, keimananlah yang menentukan respons kita terhadapnya. Pendidikan dalam keluarga juga sangat berpengaruh terhadap respons yang akan dilakukan saat berhadapan dengan sosial media. Anak yang sudah mendapatkan bekal keimanan dari orang tuanya, akan menjadikan orang tua sebagai pusat informasi kebenaran baginya. Maka, saat ia tak sengaja menemukan hal yang tak wajar di sosial media, ia akan bertanya secara langsung kepada orang tuanya. Begitu pula suami dan istri, saat sudah paham rambu-rambu agama, maka tak akan mengumbar hal tak senonoh meski dalam ranah bercanda. Pun suami/istri yang melihat tayangan aurat lawan jenis yang bisa saja lewat iklan atau semacamnya, tak mudah tergoda jika keimanan sudah mengakar di hatinya.
Semua itu memang sulit untuk dilakukan seorang diri saat berhadapan dengan sosial media. Karena derasnya informasi yang ada, tak bisa kita bendung seorang diri saja. Perlu adanya perlindungan dari negara yang dapat memblokir hal-hal yang bertentangan dengan syariat agama. Wallahu a'lam bishawab.[]