"Sebaiknya, jika ada badai yang menghantam bahtera rumah tangga disikapi dengan cara bijak dan bersabar. Islam telah memerintahkan para suami untuk menggunakan berbagai sarana yang bisa mengurangi sikap keras istrinya karena pembangkangan (nusyuz) mereka, tujuannya untuk mendidiknya. Sebagaimana yang Allah Swt. perintahkan kepada suami untuk menasihati istri dan memisahkan tempat tidur mereka. Bisa dilihat di QS. An-Nisa:34."
Oleh: Maman El Hakiem
NarasiPost.Com-Kehidupan rumah tangga diposisikan sebagai “persahabatan” dua lawan jenis manusia yang semula berada dalam pergaulan yang sifatnya umum menjadi khusus. Interaksi keduanya tidak lagi dibatasi larangan untuk berkhalwat karena telah dihalalkan melalui akad nikah. Adanya interaksi khusus ini bukan semata-mata demi terpenuhinya kenikmatan karena adanya naluri syahwat (gharizatun nau'), melainkan pula dalam upaya meraih ketenteraman dalam menjalankan syariat atau hukum Allah Swt.
Manusia secara fitrah dibekali perasaan cinta karena terlahir dari rahim seorang ibu yang memiliki sifat ruhama, artinya kasih sayang yang tulus tanpa keluh kesah. Maka, seorang ibu yang mengandung janin dari pernikahan yang diberkahi Allah Swt. tidak akan pernah berkeluh kesah hingga bayi lahir dengan selamat. Kasih sayang itu pun terus mengalir saat merawat buah hatinya sampai gerbang pintu pernikahan saat dewasa. Bekal itulah yang menjadi dasar kehidupan rumah tangga, kenikmatannya diperoleh disebabkan adanya perasaan cinta dan kasih sayang.
Perasaan cinta tersebut eksistensinya akan terjaga jika rumah tangga terbina dengan baik. Namun, seiring waktu rumah tangga ibarat bahtera yang melaju di lautan yang tak lepas dari hantaman ombak dan badai, adakalanya dihadapkan dengan situasi sulit yang tidak mudah untuk dihadapi. Di sinilah butuhnya kerjasama suami istri untuk bisa saling menasihati dalam ketaatan dan kesabaran, sebelum mengambil keputusan talak (perceraian). Banyaknya kasus perceraian di negeri ini, BPS mencatat jumlah perceraian di Indonesia pada 2021 mencapai 447.743, dengan rincian 110.400 cerai talak dan 337.343 cerai gugat. Data perceraian lebih tinggi dari sebelumnya, yaitu 291.677 pada 2020 dan 493.002 pada 2019. (Kompas.com, 9/3/2022).
Alasan Ingin Berpisah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang membedakan cerai talak dan cerai gugat adalah dilihat dari pemohonnya, cerai talak adalah cerai karena keinginan suami, sedangkan jika berasal dari istri maka disebut cerai gugat. Disebutkan dalam UU tersebut, bahwa pengajuan perceraian harus ada cukup alasan antara suami dan istri tidak akan dapat rukun sebagai pasangan.
Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam Kitab Nidzam Al-Ijtima'i fii Al-Islam bab Talak, merinci kebolehan istri menggugat cerai suaminya bukan karena adanya hak talak, melainkan karena suami yang memiliki hak talak tersebut melimpahkannya kepada istri. Hak talak juga bisa didapatkan istri dikarenakan beberapa kondisi tertentu, semisal:
Pertama, istri mengetahui suaminya memiliki cacat sehingga tidak dapat melakukan senggama, seperti impoten atau telah dikebiri, sementara istri tidak memiliki cacat semacam itu. Dalam keadaan seperti ini, istri dapat mengajukan fasakh (pembatalan) pernikahan atau yang dikenal dengan gugat cerai.
Kedua, jika suaminya mengidap penyakit yang tidak memungkinkan untuk bisa tinggal bersama karena berbahaya semisal penyakit lepra, kusta, HIV Aids dan lainnya. Tuntutan istri bisa dikabulkan jika memang penyakit tersebut tidak bisa disembuhkan dalam jangka waktu tertentu. Khiyar (pilihan) yang dilakukan istri bersifat permanen, tidak temporer sesuai kaidah dharar (bahaya) yang harus dihindari.
Ketiga, kondisi suami yang melakukan perjalanan (safar) ke suatu tempat, baik dekat maupun jauh, lalu menghilang tanpa ada kabar beritanya, sementara istrinya terhalang untuk mendapatkan nafkahnya, maka istri berhak menuntut pemisahan dari suaminya setelah berusaha keras secara maksimal untuk mencari dan menemukan suaminya. Hal tersebut berdasarkan hadis Nabi saw. “Berilah aku (istri) makan (nafkah), jika tidak ceraikan aku.” (HR. Ad-Daruquthni dan Ahmad)
Keempat, jika antara suami dan istri terjadi pertentangan dan persengketaan, maka istri berhak menuntut perpisahan dengan suaminya. Di sinilah pentingnya ada juru damai dari kedua belah pihak agar bisa rukun kembali tidak sampai pada perceraian. Allah Swt. memberikan solusi terbaik jika mereka ingin berdamai, “…. niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri tersebut.” (QS an Nisa: 35)
Adanya kondisi tersebut di atas bukan berarti mengubah hukum asal talak yang menjadi hak suami atas istrinya, melainkan karena Allah Swt. telah memandang bahwa seorang istri merupakan sahabat bagi suaminya dalam kehidupan berumah tangga. Setiap ketidakbahagiaan dan kebencian yang terjadi dalam bahtera rumah tangga yang menimpa istri juga pasti menimpa suami. Maka harus ada jaminan bagi seorang istri untuk bisa melepaskan diri dari penderitaannya.
Sebaiknya, jika ada badai yang menghantam bahtera rumah tangga disikapi dengan cara bijak dan bersabar. Islam telah memerintahkan para suami untuk menggunakan berbagai sarana yang bisa mengurangi sikap keras istrinya karena pembangkangan (nusyuz) mereka, tujuannya untuk mendidiknya. Sebagaimana yang Allah Swt. perintahkan kepada suami untuk menasihati istri dan memisahkan tempat tidur mereka. Bisa dilihat di QS. An-Nisa:34.
Riak Bahtera Rasulullah saw.
Rasululullah saw. dalam kehidupan rumah tangganya tidak pernah terlihat kurang membantu istri-istrinya di dalam rumah. Seorang sahabat Aswad berkata, bahwa ia pernah bertanya kepada Aisyah: “Apa yang Rasululullah saw. lakukan di rumahnya? Aisyah berkata: Beliau suka mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ketika tiba waktu shalat , beliau melaksanakan shalat.” Di lain riwayat, Aisyah juga pernah ditanya tentang apa saja yang dilakukan beliau, maka Aisyah berkata: “Rasulullah adalah salah seorang dari kalangan manusia, beliau suka membersihkan bajunya, memerah kambingnya dan melayani dirinya sendiri. “ (Syamail Ibnu Katsir juz I hal: 78)
Walaupun demikian, kehidupan rumah tangga Rasulullah saw., sempat juga terkena terpaan badai saat para istrinya menuntut nafkah yang membuatnya murung dan bersedih. Sudah dimaklumi bahwa Rasulullah saw. menjalani kehidupan rumah tangganya dalam keadaan fakir. Walaupun beliau bisa saja mengambil harta dari baitul mal sebanyak-banyaknya sehingga bisa mencukupi keluarganya, tetapi beliau lebih memilih untuk hidup sederhana (sekadar bisa memenuhi keperluannya) dan menginfakkan harta tersebut menjadi sesuatu yang bermanfaat buat umat. Dalam hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari, Rasulullah saw. dan keluarganya sering tidak pernah kenyang memakan makanan tiga hari berturut-turut, itu berlangsung hingga beliau wafat.
Rasulullah saw. tidak pernah mengingkari hak istri-istrinya untuk memperoleh nafkah. Namun, beliau tidak bisa menempatkan hak para istrinya tersebut di atas hak Islam dan umat yang lebih membutuhkan pertolongan. Ketika Aisyah dan istri lainnya mengeluhkan nafkah yang diberikannya, beliau mengungkapkan dengan nasihat yang indah, sebagaimana tercantum dalam QS: al Ahzab: 28-29, yang intisarinya memberikan hak istrinya untuk berpisah atau bersabar membersamainya dalam mencari keridaan Allah dan Rasul-Nya.
Wallahu’alam bish Shawwab.[]