Sangat penting bagi kita untuk mengajarkan dan menempatkan kasih sayang ini pada anak-anak sebagaimana mestinya. Dalam hal ini, Islam telah memberikan petunjuk agar manusia benar-benar mampu meraih derajat yang mulia, baik secara praktis atau pun komunal.
Oleh: Ida Royanti
NarasiPost.Com-Seorang ibu mengeluh tentang anaknya yang suka memukul teman, gemar merebut mainan, tidak suka berbagi, tidak memiliki empati, baik terhadap teman atau keluarga dan beberapa sifat lain yang menunjukkan permusuhan. Pernahkan Bunda mengalaminya? Anak-anak dengan kecenderungan seperti ini memang seringkali membuat kita sakit kepala.
Ada juga ibu lain yang merasa pusing karena ulah anaknya yang masih bocah, namun, sudah berbicara tentang jatuh cinta. Di usia yang masih sangat dini ini, bocah-bocah itu sudah menjalin hubungan cinta. Bahkan, pasangan imut itu tidak malu menyebut diri mereka mama dan papa.
Ini menggelikan sekaligus memprihatinkan. Bagaimana bisa, bocil-bocil yang ketika menyeka ingus sendiri saja belum benar, melakukan itu semua. Parahnya, kondisi seperti ini tidak hanya terjadi pada satu atau dua anak saja.
Bunda Salehah, kalau kita cermati, kasus pertama atau pun kedua sepertinya saling bertolak belakang. Yang satu seakan jauh dari rasa kasih sayang, yang kedua justru mengumbar kasih sayang.
Pada kasus pertama, anak lebih menonjolkan naluri untuk bertahan. Memang wajar, pada usia tiga tahun ke atas, sifat ingin memiliki pada seorang anak sangat dominan. Ia akan berusaha mempertahankan apa yang dia miliki dan berusaha mendapatkan apa yang tidak dia dimiliki. Seiring waktu berjalan, sikap seperti ini akan terus berkembang.
Nah, jika tidak diarahkan dengan benar, maka naluri untuk bertahan ini akan terus diimplementasikan dengan cara yang kurang tepat, misalnya dengan merebut, memukul, menangis dan sebagainya.
Bisa jadi, tanpa sadar, orang tua juga sering memberi contoh yang kurang tepat. Mungkin orang tua sering marah-marah, membentak, menyakiti secara verbal atau pun fisik, atau berbagai tindakan lain yang tidak mencerminkan rasa empati dan kasih sayang.
Bisa juga karena anak sering menyaksikan tindakan kekerasan di sekitarnya, misalnya lewat film-film kartun kesukaan mereka, pola interaksi di keluarga besar yang kurang sehat, teman-teman sepermainan atau masyarakat sekitar. Kalau hal ini dibiarkan, maka sikap seperti ini akan berlanjut sampai ia dewasa.
Pada kasus kedua, sekilas tidak kita jumpai adanya tindakan kekerasan atau kenakalan secara fisik.
Biasanya, orang tua tidak menganggapnya sebagai masalah serius karena tidak ada keonaran yang ditimbulkan. Padahal, jika dibiarkan, ini juga sangat berbahaya, Bunda, tidak hanya bagi masa depan anak itu sendiri, namun, juga berimbas pada masyarakat secara luas.
Seringkali, berbagai masalah sosial timbul harena hal-hal yang tidak sesuai syariat yang dulu dianggap tabu oleh masyarat, kini menjadi hal yang lumrah karena sudah dibiasaakan sedari kecil, misalnya pacaran, berdua-duaan dengan pasangan yang bukan mahram, cinta satu malam, dan sebagainya.
Bunda, ketika anak-anak tidak diajarkan menempatan kasih sayang dengan benar, maka tidak hanya dampak negatif secara fisik yang akan terjadi, namun juga dampak sosial dalam jangka panjang. Di sini, peran orang tua memang sangat dibutuhkan, karena seperti apa anak kita sekarang, itu adalah hasil bentukan dari orang tua.
Bunda, agar bisa mengarahkan anak dalam menempatkan rasa empati dan kasih sayang dengan benar, maka kita juga perlu memahami kedudukan kasih sayang itu sendiri.
Sebenarnya, berkasih sayang itu adalah suatu fitrah. Allah melengkapi manusia dengan naluri itu bersamaan dengan penciptaan manusia itu sendiri. Wujud dari naluri ini adalah perasaan cinta yang tertanam di dalam diri kita. Baik sayang kita pada orang tua, saudara, sesama atau pada lawan jenis. Semua itu dalam rangka untuk melestarikan jenis kita.
Karena itu, sangatlah wajar jika seorang ibu atau ayah berusaha untuk melindungi anak-anaknya, memenuhi semua kebutuhannya serta rela berbuat apa saja untuk mereka. Semua itu sifatnya naluriah, dalam rangka untuk melestarikan jenis atau keturunannya.
Kasih sayang terhadap lawan jenis misalnya. Islam tidak melarang atau pun mengumbar sebebas-bebasnya. Akan tetapi, ada aturan yang jelas dan tegas sebagai acuan. Bukan dengan pacaran, cinta satu malam atau pun hubungan tanpa status lainnya, melainkan dengan pernikahan yang sah menurut agama.
Hanya saja, saat ini tujuan utama dari naluri berkasih sayang ini, yaitu dalam rangka untuk melestarikan keturunan atau jenis manusia, sedikit demi sedikit mulai terkikis. Budaya hedonis dari sistem kapitalis yang menganut asas manfaat ini, sudah merasuk ke dalam benak sebagian kaum muslimin. Tanpa kita sadari, sistem ini mengajarkan pada kita untuk meraih kenikmatan baik secara fisik atau pun naluriah sebebas-bebasnya, tanpa ada penghalang.
Beberapa hal yang dianggap bisa menghalangi teraihnya kenikmatan itu secara bebas adalah ikatan dalam rumah tangga, hamil, menyusui dan mengurusi anak-anak.
Sifat dasar kapitalis yang serakah itu menyebabkan penganutnya ingin tetap meraih kenikmatan itu tanpa ada penghalang sama sekali. Karena itu, solusi yang ditawarkan adalah hubungan tanpa status, cinta semalam, kondomisasi, legalisasi aborsi, legalisasi hubungan sejenis dan lain sebagainya.
Adalah sangat penting bagi kita untuk mengajarkan dan menempatkan kasih sayang ini pada anak-anak sebagaimana mestinya. Dalam hal ini, Islam telah memberikan petunjuk agar manusia benar-benar mampu meraih derajat yang mulia, baik secara praktis atau pun komunal.
Secara praktis misalnya, pada usia sepuluh tahun, anak harus dipisahkan tempat tidurnya dengan saudaranya, tidak boleh tidur dalam satu selimut, mengajarkan adab sopan-santun pada orang tua terutama ketika ingin masuk ke kamarnya, senantiasa menutup aurat dan sebagainya.
Banyak kasus terjadi ketika masalah yang kelihatannya sepele itu diabaikan, misalnya terjadi hubungan sedarah, hubungan sesama jenis dengan keluarga, pelecahan anak pada orang tua atau sebaliknya.
Di satu sisi, pada anak juga harus ditumbuhkan rasa kasih sayang pada sesama. Mereka diajari untuk berbagi, ditumbuhkan rasa empati, suka menolong, dan diajarkan untuk meraih hak mereka dengan cara yang makruf, tidak dengan cara kekerasan. Dalam hal ini, orang tua harus memberikan contoh nyata, misalnya dengan bersikap lembut pada anak, tidak sekadar melarang, namun harus disertai dengan penjelasan, suka berderma di hadapan anak dan sebagainya.
Orang tua juga harus mengarahkan dan mengawasi pergaulan anak, tontonan mereka, kebiasaan-kebiasaan mereka dan segera meluruskan jika ada yang kurang tepat, tentunya dengan bahasa yang dimengerti oleh anak. Yang jelas, anak harus mengetahui, kapan dia harus menunjukkan empati dan kasih sayangnya, dan kapan harus mengedepankan naluri dia untuk bertahan, misalnya saat dia dilecehkan secara seksual dan sebagainya.
Bunda, potensi yang ada pada anak baik potensi akal, fisik, atau pun naluriah akan terus berkembang sampai usia dewasa. Agar perkembangan itu sempurna maka, perlu adanya pembekalan yang memadai pada akal mereka seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan naluri mereka. Pembekalan itu berupa ilmu dan tsaqofah. Tentu saja peran Ayah dan Bunda adalah yang paling utama. Karena itu, mari bekali diri kita dengan ilmu dan tsaqofah sebanyak-banyaknya agar kita bisa mengantarkan anak-anak kita sebagai khairu ummah.[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]