"Curahkan bakti terbaik kita kepada ibu kita selama beliau masih hidup di dunia. Lukislah senyum di wajahnya, jangan pernah sekalipun meninggikan suara di hadapannya apalagi sampai membuatnya menangis karena menahan perih di dadanya akibat ucapan kita. Jika kita tak sanggup mencukupi kebutuhan ibu kita dengan limpahan materi, maka cukuplah tahan lisan kita dari menyakitinya."
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Hadis Rasulullah saw yang menyatakan bahwa surga itu di bawah telapak kaki ibu tentu saja sudah sangat masyhur di telinga masyarakat. Hal itu menegaskan bahwa ibu memiliki peran penting dalam kehidupan akhir setiap anak manusia. Artinya, perlakuan kita terhadap ibu kita menentukan surga atau neraka kita.
Ya, ibu merupakan sosok yang dimuliakan dalam Islam. Betapa tidak, pengorbanan dan perjuangannya mengandung, melahirkan, hingga membesarkan buah hati tak bisa dianggap sepele. Wajar jika balasan bagi ibu adalah surga, dan penghormatan Islam kepadanya adalah dengan mengibaratkan surga di bawah telapak kakinya. Tak hanya itu, bahkan Rasulullah saw menyebut kata "ibu" sebanyak tiga kali, sebelum akhirnya "ayah".
Pada saat itu, seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?" Rasulullah shalallaahu 'alaihi wasallam menjawab, "Ibumu!" Dan orang tersebut kembali bertanya, "Kemudian siapa lagi?" Rasulullah shalallaahu 'alaihi wasallam menjawab, "Ibumu!" Orang tersebut bertanya kembali, "Kemudian siapa lagi?" Beliau menjawab, "Ibumu." Orang tersebut bertanya kembali, "Kemudian siapa lagi," Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Kemudian ayahmu." (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Kisah tentang seorang anak yang begitu mencintai dan berbakti kepada ibunya terekam dalam sejarah. Dialah Uwais Al-Qarni. Seorang pemuda yatim dari Yaman yang memiliki penyakit sopak di tubuhnya, yakni bercak-bercak putih pada tubuhnya. Ia begitu mencintai ibunya yang diuji Allah dengan kelumpuhan. Meski miskin, Uwais merawat ibunya dengan telaten. Bahkan ia rela menggendong ibunya yang lumpuh dari Yaman ke Makkah demi mewujudkan impian ibunya berhaji. Masya Allah…. Padahal jarak dari Yaman ke Makkah adalah sekitar 1.119 km atau setara jarak dari Pelabuhan Merak, Banten ke Banyuwangi.
Begitu fenomenalnya bakti seorang Uwais Al-Qarni kepada ibunya, sampai-sampai Rasulullah saw pun menyebut namanya dalam hadisnya, padahal Rasulullah saw belum pernah bertemu dengannya, "Sesungguhnya tabi'in yang terbaik adalah seorang lelaki bernama Uwais, ia memiliki seorang ibu, dan ia memiliki tanda putih di tubuhnya. Maka temuilah ia dan mintalah ampunan kepada Allah melalui dia untuk kalian." (HR. Muslim)
Lantas, adakah bakti seorang anak serupa baktinya seorang Uwais Al-Qarni kepada ibunya dalam sistem kehidupan sekuler saat ini? Insyallah masih ada, meski tidak banyak. Sebab, sistem sekuler kapitalistik meniscayakan hitungan untung rugi dalam menakar sebuah perbuatan, termasuk anak kepada ibunya. Tak heran jika, anak menganggap ibu sebagai beban sehingga tak sedikit yang pada akhirnya memutuskan 'membuang' ibu kandung ke panti jompo.
Anak-anak semacam itu sungguh tidak menyadari bahwa ada surga yang tengah mereka abaikan, ada rahmat yang tengah mereka jauhkan dari hidup mereka. Mereka juga sungguh lupa bahwa tetesan darah yang mengalir dari seorang ibu saat melahirkan mereka, takkan pernah terbalas oleh materi sebanyak apa pun itu. Belum lagi peluh dan lelah yang menyergap saat membesarkan mereka, sungguh takkan pernah mampu terbalaskan dengan emas permata sekalipun. Jadi, sungguh keterlaluan jika masih menjadikan untung rugi dalam merawatnya.
Firman Allah dalam surah Luqman ayat 14 berikut layak menjadi renungan, "Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu."
Oleh karena itu, curahkan bakti terbaik kita kepada ibu kita selama beliau masih hidup di dunia. Lukislah senyum di wajahnya, jangan pernah sekalipun meninggikan suara di hadapannya apalagi sampai membuatnya menangis karena menahan perih di dadanya akibat ucapan kita. Jika kita tak sanggup mencukupi kebutuhan ibu kita dengan limpahan materi, maka cukuplah tahan lisan kita dari menyakitinya. Itu adalah wujud bakti juga terhadap ibu kita.
Meski ibu kita bukan orang yang berpendidikan tinggi seperti kita, namun tanpa hadirnya, kita tak mungkin ada di dunia ini dan meraih berbagai kesuksesan hidup. Sedikit atau banyak, sentuhan nasihat dan kasih sayang ibu saat kita kecil telah mengantarkan kita sampai berada di titik saat ini. Oleh karena itu, hargailah keberadaannya. Bahkan jika ibu kita telah tiada, jangan putuskan bakti kita kepadanya, yakni dengan terus mengalirkan doa untuknya dan kita terus berproses menjadi hamba Allah yang taat. Bukankah satu hal yang dapat menjadi penolong seorang ibu di akhirat adalah kesalehan seorang anak? Ya, maka teruslah motivasi diri kita agar menjadi muslim atau muslimah yang berislam secara kaffah sebagai wujud bakti tertinggi kita kepada kedua orang tua kita, khususnya ibu kita. Wallahu'alam bis shawab.[]