Ibuku Sayang

"Ibu, doamu menjadi kekuatanku. Di jalan dakwah ini, doakan aku agar bisa istikamah. Ibu, jalan ini adalah kemuliaan. Aku ingin menapakinya hingga nanti supaya kita bisa bersama-sama ke surga-Nya."

Oleh. Deena Noor
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Tangan yang dulu membelaiku penuh kasih itu kini penuh keriput. Genggamannya tak lagi kuat seperti dulu. Guratan kehidupan menjejak di kedua telapaknya. Sering kali ia gemetar karena otot-ototnya yang kendur dan renta. Meskipun begitu, kedua tangan itu tak pernah berhenti menengadah pada-Nya, mendoakan kebaikan untukku. Oh, ibu… semoga Allah selalu menjagamu.

Sorot matanya teduh mendamaikan. Mata itu yang selalu kucari di saat aku butuh penguatan. Mata itu juga yang selalu berbinar menyambutku pulang dari tanah rantau. Sepasang mata itu yang berkaca-kaca saat mengantarku menuju gerbang dunia baru. Mata itu pula yang menyiratkan kecewa kala aku dengan bodohnya melukai hatinya. Kini, mata itu mulai buram. Ia perlu mendekat agar tahu siapa yang berbicara. Penglihatannya telah berkurang seiring usianya. Oh, ibu… engkau tetaplah pemilik mata yang selalu kurindu.

Kakinya yang dulu gesit berjalan ke sana ke mari dalam menunaikan pekerjaan. Kaki bersandalkan jepit itu lincah berlari-lari kecil mengajakku bermain kejar-kejaran di halaman rumah. Kaki yang tergopoh saat aku terluka karena jatuh dari sepeda. Kaki yang melangkah pelan menikmati pemandangan sambil kita membicarakan tentang masa depan. Kini, kaki itu telah melemah. Tak mampu lagi ia berjalan jauh. Nyeri di sendi, membuat jarak langkahnya kian terbatas. Namun, kaki itu masih sanggup menapaki jalan menuju rumah-Nya. Oh, ibu… keberkahan selalu melimpahimu.

Ragamu kian menua. Banyak nikmat-Nya yang telah berkurang untukmu. Pendengaran yang tak setajam dulu, tenaga yang semakin menurun, tubuh yang sering didera sakit, dan ingatan yang mulai memudar adalah episodemu kini. Atas semua itu, syukurmu pada Sang Kuasa tak pernah menghilang.

Senja kian menjelang. Tiada sanggup sedetik pun kita mengadang. Perpisahan kian jelas terbayang. Semakin kusadari tak banyak lagi waktu untuk kita bersama. Usia memang bukan jaminan ajal datang duluan menjemput. Kita tengah menuju akhir tanpa tahu siapa yang akan sampai terlebih dahulu. Apa pun itu, yang pasti semakin sedikit kesempatanku untuk berbakti kepadamu.

Ibu, maafkan semua kesalahanku. Kutahu kau pasti akan memberi maaf sebelum aku memintanya. Bahkan, sebelum aku sadari bahwa aku telah melakukan kesalahan, engkau tulus memaafkan. Pintu maafmu yang selalu terbuka lebar kapan pun untukku yang nakal ini. Tak peduli seberapa pun kesalahan yang kubuat, engkau tetap menerima dan memelukku dengan hangat. Sungguh, Allah telah karuniakan seorang ibu yang teramat mencintaiku. Ibu… selamanya engkaulah cinta abadiku.

Dalam penatku di perjalanan ini, betapa kurindukan senyumanmu. Perhatianmu yang seluas samudera mampu hempaskan segala kekhawatiran. Dalam lelah perjalanan ini, betapa kuingin berlari menujumu. Namun, aku bukan lagi anak kecil yang dulu suka menangis bila ada masalah. Hadapi apa pun yang terjadi, sebagaimana pesanmu selalu. Allah tak akan menguji hamba lebih dari kapasitasnya.

Ibu, aku telah berikrar di jalan ini. Restuilah anakmu untuk berada di jalan perjuangan Ilahi. Meski aku tak sebaik dan tak sepandai mereka, namun aku ingin mengabdi. Meski aku tak sekaya dan sealim mereka, namun aku serius berusaha untuk berkontribusi. Meski aku tak punya apa-apa, namun aku berupaya memberikan yang kumiliki. Anakmu ini tengah merintis jalan penuh bakti.

Mengabdi di jalan-Nya menjadi sebaik cita dan cinta. Aku memang tak sempurna, tapi aku selalu meminta pada Sang Mahasempurna untuk bisa merawatmu. Aku berdoa agar Dia memberiku kemampuan untuk bisa membahagiakanmu, ibu. Dalam repotnya segala urusanku, semoga Allah mampukan aku terus membersamaimu.

Jalan baktiku padamu akan kutempuh dengan menetapi jalan menyeru pada agama-Nya. Aku tahu jalan ini tak memberikan kemudahan dan kenyamanan. Dengan doamu, aku yakin akan baik-baik saja.

Ibu, doamu menjadi kekuatanku. Di jalan dakwah ini, doakan aku agar bisa istikamah. Ibu, jalan ini adalah kemuliaan. Aku ingin menapakinya hingga nanti supaya kita bisa bersama-sama ke surga-Nya. Aku ingin berjuang mewujudkan kehidupan yang lebih baik untuk kita semua. Kehidupan yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah dan perintah Allah. Inilah caraku untuk memuliakanmu, ibu.

Ibuku tersayang, aku akan selalu ingat jalan pulang. Sejauh apa pun aku melangkah, aku pasti pulang ke rumah. Selama apa pun aku pergi, aku pasti kembali. Sesulit apa pun keadaan, akan selalu ada harapan. Ibu, semoga Allah meridai jalan kita.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Deena Noor Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Perang Uhud, Introspeksi Besar Kaum Muslim atas Ketaatan kepada Pemimpin
Next
Transmisi Lokal Omicron Melanda, Sikap Jemawa Mengundang Bencana
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram