Sajak Cinta Bintang

"Dada gadis itu sesak. Bukan karena hardikan yang ia terima. Namun, ia masih tak percaya keputusan besar untuk putus mampu ia lakukan. Meski tak nyaman, ada kelegaan jauh di sudut hatinya."

Oleh. Choirin Fitri

NarasiPost.Com-"Mas, kita putus aja ya?"

Gadis berkerudung ungu memelintir ujung kerudungnya. Suaranya bergetar. Ia tak memperhatikan ekspresi laki-laki yang duduk berseberangan dengannya. Mereka hanya dipisahkan meja kecil berbentuk bundar di taman kota.

"Kenapa? Kau sudah menemukan laki-laki lain yang lebih tampan dariku di kampusmu?"

Laki-laki itu menoleh. Tatapannya menusuk tajam lawan bicaranya. Rasanya dua tahun lalu ketika bulan cinta tiba, keduanya mengikat janji setia. Kini, tepat ketika sebungkus cokleat dan setangkai mawar merah ingin ia berikan, kata putus malah hadir tanpa diminta.

"Tidak, tidak ada pacar baru. Tidak ada laki-laki lain di kampusku, Mas. Aku…."

Ucapan Bintang menggantung di udara. Benaknya masih mempertimbangkan cara menjelaskan alasan yang tepat, karena ingin fokus kuliah atau karena ia telah memahami bahwa pacaran tak ada dalam kamus agama Islam.

Laki-laki itu tak sabar menunggu. Ia berdiri dan mendekati Bintang yang langsung ikut berdiri dan mundur menghindar.

"Kenapa?"

Suara bariton dari sosok yang mukanya merah padam di hadapannya terdengar menghantam di gendang telinga Bintang. Dadanya berdegup kencang. Ia seperti tersengat listrik. Otaknya bergegas memutuskan. Ia harus jujur. Diterima atau tidak alasannya, ia akan tetap ungkapan.

"Sepekan lalu sebelum liburan, untuk mengisi waktu luang aku ikut kajian. Temanya 'Asyiknya Nikah Muda.' Dari kajian itulah aku memahami bahwa Islam tak hanya mengatur urusan salat, puasa, zakat, ataupun haji. Pergaulan laki-laki dan perempuan pun diatur dalam Islam."

"Lalu, apa hubungannya dengan permintaanmu? Cepat katakan!" Laki-laki itu memandang Bintang tajam. Jiwa kelaki-lakiannya jelas tak terima diputuskan secara sepihak oleh seorang perempuan.

Bintang mundur tiga langkah. "Dalam Islam hubungan laki-laki dan perempuan hanya halal dalam pernikahan, Mas. Tidak ada istilah pacaran dalam kamus agama Islam. Siap menikah, jika tak siap maka puasa."

"Jadi, maksudmu aku harus segera menikahimu?"

Gadis itu menghela nafas berat. Dirapalnya kalimat basmalah dalam hati.

"Kalau Mas siap," ucap gadis bermata jeli itu mantap.

Laki-laki berkaus hitam tergelak. Ia jelas tak siap. Kondisi finansial dia sebagai tukang bengkel tak memungkinkan menanggung gadisnya yang masih berstatus mahasiswa.

"Kamu siap?"

Kepala gadis itu mendongak sebentar lalu kembali menunduk. Ia mendapatkan serangan balik. Serangan yang menurut perhitungannya pasti terjadi. Ia jelas-jelas tak siap. Ia tak mungkin mengorbankan beasiswa untuk menjadi guru TK yang telah susah payah ia raih. Bisa jadi orang tuanya pun tak setuju jika ia putus kuliah hanya karena ingin menikah.

Laki-laki itu sudah bisa menebak jawaban yang akan diberikan kekasihnya. Ia tak perlu memburu jawabannya.

"Selama ini pacaran kita tak macam-macamkan?"

Laki-laki berkulit sawo matang itu pun duduk kembali. Ia melanjutkan ucapannya.

"Kamu tetap bisa fokus kuliah dan aku kerja. Kita beda tempat. Hanya sesekali bertemu saat kamu libur seperti ini. Aku pun tak pernah menyentuhmu. Aneh memang gaya pacaran kita."

Laki-laki itu tergelak. Gadis di sampingnya diam bergeming. Ia memilih tetap berdiri mematung. Permintaan ingin putus sudah ia pikir dalam-dalam. Pada kenyataannya, memutuskan seseorang yang telah terlanjur mengisi kekosongan hati bukanlah hal yang mudah.

"Karena itu kita putus saja, Mas. Kalau memang jodoh, kita pasti bertemu di pelaminan."

Bintang berjalan menjauh. Butiran bening telah berdesakan di sudut matanya. Atas nama Allah ia telah menyayat hatinya. Ingin rasanya ikhlas, namun kenyataan membuktikan ikhlas ringan diucap tapi berat untuk dilakukan.

Laki-laki berbadan tegap itu segera berdiri. Ia menarik tangan gadisnya. Secepat kilat mata gadis itu menoleh. Tatapannya mengiba.

"Lepaskan!"

"Aku tak terima kau putuskan dengan cara seperti ini."

"Maaf, Mas! Aku tak bisa berlama-lama bermaksiat bersamamu. Jika kau benar-benar mencintaiku, lepaskan aku! Biarkan aku pergi! Jika memang kita berjodoh, semoga Allah pertemukan kita di pelaminan."

Gadis itu melepas paksa genggaman tangan laki-laki yang tidak terima dengan keputusannya. Ia berlari menyeberang jalan sambil terisak. Suara klakson dari pengendara yang kaget melihatnya menyeberang tak digubris. Ia nyaris tertabrak.

"Hei, Mbak, kalau nyebrang pakai mata dong! Kamu mau mati hah?!"

Hardik sopir angkot hanya ia tanggapi dengan tangkupan tangan serta menunduk sebentar. Ia tak peduli lagi dengan sumpah serapah yang didengungkan sopir angkot berwarna merah itu.

Dada gadis itu sesak. Bukan karena hardikan yang ia terima. Namun, ia masih tak percaya keputusan besar untuk putus mampu ia lakukan. Meski tak nyaman, ada kelegaan jauh di sudut hatinya. Ia telah mampu mengamalkan isi buku hadiah acara yang dihadirinya, buku bersampul biru berjudul Udah Putusin Aja!

Di seberang jalan, laki-laki itu benar-benar marah. Rahangnya gemeretak menahan emosi yang meluap. Buku-buku jarinya tampak menonjol saat ia mengepal dan menghantamkannya pada meja yang diam membisu menyaksikan kelakuannya. Sebungkus cokeplat ia remas-remas hingga hancur. Setangkai bunga mawar dengan hiasan plastik bening dan pita warna pink ia injak-injak sampai tak berbentuk.

"Baru putus ya, Mas?"

Seorang tukang amen menyapanya dengan senyum mengejek. Sontak pengamen yang menggendong gitar itu jadi bahan pelampiasan laki-laki yang baru putus cinta. Ia menggenggam kerah baju pengamen itu. Tangan kanan laki-laki itu telah mengepal, ia siap menjotos mulut pengamen yang mengusiknya

"Eits, santai-santai, Bro! Elo yang putus jangan gue yang jadi sasaran. Oke? Kalau kata-kata gue menyinggung maafin deh! Lepasin ya!"

Laki-laki itu tersadar. Jemarinya melemah. Tangan yang mengepal ia turunkan. Sedikit didorongnya lawan bicaranya agar tak memancing emosinya lagi.

"Maaf!"

"Oke tak apa. Ingat aja pesan gue. Masih banyak cewek di dunia ini. Jangan khawatir kehabisan stok. Oke?!"

Pengamen itu melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan. Tak lupa, sebuah nasihat ia layangkan.

"Ingat Bro, Elo ganteng! Cewek jomblo masih banyak."

Pengamen itu berlalu sambil memetik gitar dan menyenandungkan lagu dengan syair putus cinta. Laki-laki itu tersenyum getir. Ia tak peduli dengan banyaknya cewek yang ada di dunia ini. Ia hanya peduli pada gadis yang ia lihat menaiki motor matiknya menjauh dari TKP.

Gadis itu melajukan motornya kembali ke rumah. Keinginan untuk bertemu dengan teman-teman SMA-nya ia undur. Nyatanya kata putus yang telah ia ucapkan tak seringan pikirannya.

Rumah sepi. Sesepi hati gadis yang dirundung pilu itu. Ia segera ke kamar mandi dan mengambil air wudu. Ia ingin mengadu pada Rabb yang telah menciptakan rasa cinta di hatinya. Rabb yang tahu betapa hatinya kini tak tenang.

Mukena putih dan sajadah hijau yang terhampar menjadi saksi bisu atas air matanya yang tertumpah. Bukan air mata penyesalan karena telah putus, tetapi air mata doa agar Allah perkenankan laki-laki pertama yang menggenggam hatinya itu kelak menjadi imam kehidupannya. Entah kapan.

Selepas salat. Ia meraih bolpoin biru dan buku diari dari dalam tasnya. Ia merebahkan tubuhnya di atas dipan.

Tak pernah kutemukan makanan seabstrak cinta
Rasanya pahit, manis, asam asin, berbagai rupa

Tak pernah kutemukan minuman seunik cinta
Terasa segar, manis, pahit, asam, buat ketagihan dan seabrek rasa yang tak kutahu namanya

Tak pernah kutemukan dunia seaneh cinta
Kadang membawa indah atau juga luka sayat menganga

Belum usai sajak yang ingin ia goreskan, ponsel Bintang bergetar. Ia menatap layar datarnya dari kejauhan. Tampak sebuah foto dirinya berangkulan menatap laut lepas dengan seorang perempuan berkerudung ungu. Gambar ikon ponsel berwarna hijau ia tekan. Sebuah suara salam yang amat ia kenal terdengar. Balasan salam ia gaungkan.

"Heeeemmm, kok suaramu seperti itu? Habis nangis atau sedang nangis?"

"Yang kedua."

Gadis itu menyandarkan badannya pada dipan. Duduk tegap rasanya akan membuatnya lebih cepat limbung dan terjatuh.

"Kenapa?"

"Aku baru putus."

"Bagus dong. Aku ikut senang."

Di seberang, sahabat gadis itu tersenyum puas. Misinya agar sahabatnya putus pacaran seperti dirinya telah berhasil.

"Aku sedih, Va. Putus cinta itu berat. Tak seperti yang kubayangkan."

Lawan bicaranya tertawa. "Seperti itulah yang terjadi padaku dulu. Seiring berjalannya waktu, kau bisa melupakannya."

"Kalau tidak bisa?"

"Kau minta saja pada Allah agar mengembalikannya dengan status halal! Beres kan?"

Bintang mematikan sambungan telepon secara sepihak. Pikirannya kalut. Ia tak ingin berlama-lama mengobrol. Gambar ikon ponsel berwarna merah ia pencet saat sahabatnya menelepon ulang. Saat ia ingin meletakkan ponselnya, sebuah notifikasi pesan masuk menarik perhatiannya.

Dari sebuah nomor yang ia beri nama "Mas Ganteng."

[Jika kau jujur tak memiliki laki-laki lain di hatimu, tunggu aku di pelaminan!]

Batu, 22 Februari 2022

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
Choirin Fitri Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Banggalah dengan Banyaknya Anakmu
Next
Muslim Minoritas Makin Tergilas, Adakah Solusi Tuntas?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram