Mendengar kata “sujud terakhir”, hatiku merasa takut, tetapi di sisi lain aku bangga melihat kegigihan Reina untuk menunaikan kewajibannya tepat waktu.
Oleh. Siti Komariah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Senyuman manis sang rembulan seakan menyapaku. Cahayanya yang begitu terang menyinari jalan-jalan Desa Argalingga, Majalengka hingga kian menambah indah panorama malam itu. Udara sejuk yang menyergap tubuhku kian membuat khidmat suasana. Aku pun terlarut dalam lamunan malam yang indah di atas balkon rumahku. Kesunyian malam itu merasuk memberikan kedamaian dalam pikiranku.
Tiba-tiba, dering ponsel dari bilik kamar memecah lamunanku. Dengan berat hati kutinggalkan suasana indah di balkon menuju ponselku. Aku pandangi nama yang tertera dalam layar tersebut, Reina. Tanpa berpikir panjang, aku angkat telepon dan terdengar suara lembutnya menyapaku.
Janji Bertemu Reina
“Assalamualaikum, Mil,” ujar Reina dengan suara sedikit berat.
“Waalaikumussalam, Rei kamu kenapa? Suaramu terdengar berat. Kamu sakit?” tanyaku dengan panik.
“Enggak Mil, hanya ada sedikit pikiran yang menggangguku. Aku bingung mau bercerita dengan siapa lagi kecuali dirimu. Oh ya, kira-kira besok kamu ada waktu, nggak? Kamu ‘kan biasanya banyak agenda tiap hari, mau jalan denganmu serasa mau jalan sama pejabat,” ujar Reina sambil tertawa tipis.
Akhir-akhir ini aku memang diberikan amanah dakwah di kalangan remaja. Aku dan teman-teman berupaya membuat berbagai agenda remaja yang asyik dan menyenangkan untuk mereka. Kami paham sifat remaja, mereka tidak mau pengajian-pengajian yang monoton. Oleh karenanya, kami membuat acara-acara untuk membangun kedekatan dengan mereka dan menanamkan nilai-nilai akidah agar mereka tidak terjerat pada pergaulan bebas yang kini kian merajalela.
“Ada-ada saja kamu, Rei. Memangnya ada masalah apa? Insyaallah aku siap menampung curhatanmu. Selama aku mampu membantumu, apa sih yang tidak? Kebetulan besok aku kosong, enggak ada agenda, sih. Memang kita mau jalan ke mana?” tanyaku.
“Ke taman bunga Beepark, Mil, mau?”
“Oke deh. Apa sih yang enggak buat sahabatku satu ini? Besok aku jemput kamu habis salat Asar, ya. Kita jalan sepuas-puasmu. Jarang-jarang ‘kan jalan sama ibu pejabat? Hehehe….”
“Oke, Mil. Terima kasih, ya. Pikiran ini terasa berat buatku. Aku butuh tempat curhat secepatnya agar hati tenang,” ujar Reina.
“Sama-sama, Rei. Saranku nih, nanti malam kamu bangun salat Tahajud. Mintalah kepada Allah dalam sujudmu keringanan masalah yang kamu pikul saat ini. Allah adalah tempat pengaduan terbaik dan Maha Tahu kondisi hamba-Nya. Ya sudah, aku tutup, ya. Sampai ketemu besok, Rei. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab Reina.
Tut tut tut. Ponsel pun terputus. Aku merebahkan badanku ke atas kasur di hadapanku dengan segudang rasa penasaran. Berbagai pikiran aneh berkecamuk di kepalaku dan pertanyaan-pertanyaan mulai meliuk di benakku
Pernikahan Impian Reina
Jam tepat menunjukkan pukul 15.30. Aku mengambil air wudu kemudian menunaikan kewajibanku sebelum berangkat menemui Reina. Dalam sujudku, aku berdoa agar diberikan kelancaran untuk hari ini. Setelah merasa sudah siap, aku pun mengambil kunci motor dan pergi menjemput Reina. Tidak lupa aku berpamitan kepada umi yang sibuk di teras belakang sambil membaca buku Pergaulan dalam Islam.
Jarak rumahku ke rumah Reina hanya sekitar 4 km. Dia tinggal di Desa Argamukti, Kecamatan Argapura. Setelah sampai di desa Reina, ternyata dia sudah menungguku di gang depan rumahnya. Aku pun menghampirinya dan tanpa pikir panjang kami berdua pun pergi ke taman bunga Beepark, tempat wisata dengan keindahan bunga warna-warni dan bermacam-macam jenisnya. Kami mencari tempat persinggahan sambil menikmati panorama keindahan sore itu.
“Rei, katanya kamu mau curhat. Ada masalah apa? Coba ceritakan sama aku. Calon pengantin kok dilanda galau,” ujarku membuka obrolan sambil menggodanya.
“Mil, dua bulan lagi hari pernikahanku akan dilaksanakan, tetapi abi masih keukeuh dengan pendiriannya yang tidak mau resepsi terpisah. Aku sudah coba membujuknya, tetapi nihil. Calon suamiku Kak Mirza dan Ustaz Arul juga berusaha menyampaikan kepada abi, tetapi hasilnya juga nihil. Kamu tahu bagaimana sifat abi ‘kan? Abi tuh keras banget pikirannya. Aku bingung, Mil, harus bagaimana menghadapi abi,” ujar Reina dengan muka murung.
Membujuk Abi
“Hem, abi sifatnya tidak jauh beda sama kamu, Mil. Begini deh, kamu mending sekarang baik-baikin abi dahulu. Nanti ketika perasaan dan pikiran abi lagi tenang, coba bicara dari hati ke hati. Insyaallah nanti abi mau menerima saranmu, apalagi ini demi kebahagiaan anak gadisnya satu-satunya. Ingat, Rei! Setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Itu janji Allah. Jadi pelan-pelan saja. Berdoa dalam setiap sujudmu agar hati abi diluluhkan dan mau menerima kebenaran,” jawabku sambil memegang tangan Reina.
Reina hanya mengangguk. Lalu aku melanjutkan, “Ingat! Di setiap sujudmu, minta kepada Allah agar diringankan niat baikmu ini. Allah adalah Zat yang membolak-balikkan hati manusia. Aku juga akan bantu berdoa dalam sujudku untuk meminta kemudahan tentang urusanmu ini.”
“Oke, Mil, terima kasih sarannya, aku akan berusaha lagi untuk membujuk abi supaya resepsi pernikahanku terpisah.”
Senyum Reina sudah mulai terlihat. Wajah ayu nan manis menghiasi dirinya, walaupun aku paham ini akan menjadi masalah sulit yang harus diselesaikan oleh Reina, aku yakin dia bisa. Apalagi dia baru saja hijrah enam bulan lalu. Dahulu Reina Sanjaya merupakan gadis yang modis, pakaiannya serba seksi, dan pergaulannya pun begitu bebas. Hanya saja, soal pertemanan, dia sangat care, bahkan rela membantu temannya yang kesusahan. Dia anak semata wayang dari keluarga Sanjaya. Dari kecil sangat kurang didikan agama, orang tuanya lebih memberikan kecukupan materi daripada ilmu agama. Bisa dibilang, standar hidupnya sekuler, kebahagiaan diukur dari materi.
Ujian Hidup
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, aku mencoba mengajaknya untuk pergi ke pengajian. Walaupun sulit untuk meluluhkan hatinya, tetapi Allah membukakan pintu hatinya untuk menerima kebenaran dan menjadi bagian dari pejuang Islam kaffah. Dia kini menjadi gadis yang anggun dan menyibukkan diri dalam amanah dakwah. Bahkan, tidak pernah sedikit pun dia menolak amanah yang diberikan kepadanya. Sungguh semangat perjuangannya di jalan dakwah ini begitu luar biasa dan membuatku kagum.
Kini, ujian berat menanti dirinya, dirinya harus berjuang menegakkan agama Allah dalam keluarganya sendiri. Ia berusaha membujuk dan menyadarkan orang tuanya tentang hukum syarak sehingga ia bisa menunaikan impian terbesarnya, yaitu menikah dengan resepsi secara syar’i.
Kabar Bahagia dari Reina
Hari demi hari berganti. Waktu pernikahan Reina pun kian dekat. Seminggu lalu Reina mengabariku bahwa usahanya untuk membujuk abi juga belum membuahkan hasil. Aku pun bingung apa yang harus aku lakukan untuk membantu Reina menyelesaikan masalah ini. Pikiranku beberapa minggu ini berkecamuk memikirkan masalah pernikahan Reina. Aku hanya bisa berdoa dalam sujudku semoga Allah memudahkan langkah Reina.
Tidak lama aku memikirkan Reina, dering ponselku berbunyi, di layar tertulis nama Reina. Aku pun langsung mengambil ponselku dan mengangkatnya.
“Halo, assalamualaikum, Reina.”
“Walaikumussalam. Mil, aku berhasil,” jawab Reina dengan nada sesak seperti habis menangis.
“Mil, setelah berbicara dengan abi cukup lama, aku berhasil meyakinkan abi untuk melaksanakan resepsi pernikahanku secara syar’i. Aku sangat bahagia, Mil. Doa yang aku panjatkan setiap malam dalam sujudku dijawab oleh Allah. Kamu benar, Mil, ketika Allah berkehendak, semua yang mustahil bisa terjadi. Terima kasih sudah mendukungku selama ini,” lanjut Reina.
“Tabarakallah, Rei, aku sangat bahagia mendengar kabar ini. Akhirnya Allah menjawab usaha dan doa-doamu selama ini. Pernikahan syar’i yang kamu harapkan bisa terwujud.” Kami sama-sama menangis di balik telepon karena terharu dengan kabar gembira ini.
“Oke, Mil. Sudah dahulu ya. Aku menghubungimu hanya ingin memberikan kabar gembira ini. Aku juga ingin menghubungi Teh Diah agar menyampaikan berita baik ini kepada Ustaz Arul dan mereka bisa ikut mengatur semua urusan pernikahan ini sebagaimana pesan abi. Assalamualaikum, Mil.”
“Walaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”
Tut tut tut… Obrolan singkat malam itu kami tutup dengan rasa bahagia. Benarlah kiranya sabda Rasulullah, “Sesungguhnya hati itu (tergenggam) dalam dua jari dari jari-jari Allah. Dia membolak-balikkannya menurut apa yang Dia kehendaki.” (HR. Anas bin Malik dan Abu Hurairah).
Hari yang Dinanti
Mentari pagi menampakkan senyuman manisnya kepada penduduk bumi. Angin turut mengembuskan udara yang begitu sejuk, seakan alam turut berbahagia dan meridai acara pernikahan hari ini. Pagi-pagi sekali, kulangkahkan kaki ke tempat resepsi pernikahan Reina. Ketika memasuki pintu tempat resepsi, rangkaian bunga-bunga cantik nan indah menghiasi pelaminan. Dekorasi yang begitu apik tersusun rapi menambah kesan elegan di atas pelaminan.
“Mil, Mili,” panggilan tersebut menyadarkanku dari kekagumanku atas keindahan pelaminan Reina. Aku pun mencari sumber suara, ternyata itu adalah Teh Diah yang sibuk mempersiapkan jamuan untuk tamu-tamu undangan. Aku bergegas menghampirinya. “Teh, apa yang bisa aku bantu?” tanyaku.
Teh Diah menjelaskan dengan detail apa saja yang harus aku kerjakan bersama teman-teman dari akad hingga resepsi pernikahan. Aku pun menganggukkan kepala tanda mengerti arahan dari Teh Diah.
“Siap laksanakan,” jawabku semangat.
Waktu telah menunjukkan pukul 09.00. Rombongan calon pengantin pria telah tiba. Kami mempersilakan mereka untuk menempati posisi yang telah disediakan, begitu juga dengan penghulu dan kedua saksi nikah. Ijab kabul pun dimulai. Acara berlangsung dengan khidmat dan penuh kebahagiaan. Terdengar dari bilik sebelah, Kak Mirza mengucapkan ijab kabul dengan sempurna dan mereka telah sah menjadi suami dan istri.
Setelah rangkaian ijab kabul selesai, tibalah waktunya resepsi, Reina masuk ke ruangan resepsi dengan sangat anggun. Wajah putih dan menawan ditambah dengan balutan gamis putih membuat kesan cantik pada dirinya. Semua mata terpana melihat kecantikan Reina hari ini. “Sungguh seperti bidadari dari surga,” gumamku. Acara pun berlangsung dengan sukses dan resepsi masih terus berjalan. Tamu undangan pun terus berdatangan.
Tidak terasa waktu telah menunjukkan waktu salat Zuhur. Reina pun memanggilku, “Mil, sini.” Aku pun bergegas menuju Reina.
Sujud Terakhir
“Ada apa, Rei? Kamu butuh minum, makan, atau apa?” tanyaku.
“Tidak Mil, bantu aku. Aku mau salat dahulu, sudah waktunya untuk salat.” Ketika kami hendak melangkah pergi, Tante Mala yang merupakan adik dari ayah Reina tiba-tiba menghentikan langkah kami.
“Kamu mau ke mana, Rei? Jangan pergi ke mana-mana, masih banyak tamu,” ujar Tante Mala dengan nada sedikit kesal.
“Aku mau salat, Tan. Ini sudah waktunya salat. Aku juga sudah izin sama umi. Umi mengizinkan,” jawab Reina. Aku hanya terdiam melihat perdebatan mereka.
“Halah, nanti saja salatnya, masih banyak tamu. Enggak bagus meninggalkan tamu. Nanti make up kamu luntur kena air wudu. Masa pengantin kok kusam,” ucap Tante Mala makin sinis.
“Sebentar saja, Tan. Takutnya ini menjadi sujud terakhir kepada Allah. Apa yang bisa aku pertanggungjawabkan nanti di hadapan Allah.” Reina keukeuh untuk salat. terakhir
Mendengar kata “sujud terakhir”, hatiku merasa takut, tetapi di sisi lain aku bangga melihat kegigihan Reina untuk menunaikan kewajibannya tepat waktu. Kami pun pergi ke kamar untuk melaksanakan salat. Reina salat terlebih dahulu, sedangkan aku mengambil air wudu. Teman-teman lainnya juga bergantian untuk menunaikan salat. Rombongan Kak Mirza dan ustaz lainnya pergi ke masjid. Kebetulan jarak rumah Reina dari masjid tidak begitu jauh.
Aku sudah selesai mengambil wudu. Aku masuk ke kamar Reina dan menunggu Reina selesai salat, dia sedang dalam keadaan sujud. Namun, ada yang aneh dengan Reina. Sudah hampir setengah jam Reina tidak kunjung bangun dari sujudnya. Kucoba mendekatinya dan ternyata, Reina terjatuh dari sujudnya. Aku kaget, aku coba membangunkannya, tetapi tidak ada jawaban. Kuperiksa denyut nadinya ternyata dia sudah tidak bernyawa. Spontan aku berteriak keras. Semua orang kaget dan mendatangi kamar Reina.
Bidadari Surga
“Mil, kenapa?” tanya Mbak Dita. Salah satu pembimbing kami. Aku tidak mampu berkata-kata lagi. Aku hanya menangis sejadi-jadinya sambil memeluk tubuh Reina. Mbak Dita datang menghampiri kami dan memeriksa keadaan Reina, kemudian berucap.
“Innalilahi wa innailaihi rajiun.” Ia pun ikut larut dalam tangisan.
Kabar itu pun tersiar ke seluruh hadirin resepsi pernikahan. Abi dan umi pun yang tadi sibuk menjamu tamu berlari menuju kamar Reina. Begitu juga dengan Kak Mirza yang mendapat kabar dari salah seorang keponakannya. Umi dan abi mencoba bertanya, “Bagaimana ini bisa terjadi? Jawab, Mil! Jawab!” Abi memaksaku menjawabnya. Namun, bibir ini kelu. Aku berusaha mengontrol diri hingga aku menjawabnya.
Baca juga: Anakku Muara Bahagiaku
“Saya tidak tahu, Abi. Tadi Reina memanggil saya untuk mengantarkannya salat. Reina salat duluan, saya pergi mengambil air wudu. Saat saya kembali, ada yang aneh dengan sujud Reina. Dia tidak kunjung bangun dari sujudnya. Aku mendekatinya dan Reina sudah tidak bernyawa, Abi.” Aku menjelaskan dengan suara sesenggukan.
Acara yang harusnya bahagia, berubah menjadi duka. Pada hari pernikahan yang diimpikan oleh Reina, seketika juga menjadi sujud terakhirnya. “Engkau telah menjadi bidadari surga, Rei. Impianmu untuk membujuk abi telah terlaksana. Ketaatan untuk menunaikan kewajibanmu telah usai hingga engkau tinggalkan kami di sini dengan begitu cepat,” gumamku. Reina, inilah sujud terakhirmu pada hari bahagiamu.[]
Cerpennya mengandung bawang
Terharu. Akhir yang baik. Semoga kita juga mendapatkan akhir yang baik.
Kematian yg indah kalamana dlm ketaatan dan Allah meridai. Semoga Allah mengampuni segala dosa dan menempatkan di sisi-Nya. Aamiin. Sebuah cita2 diri ini jg.
Meski cerpen kisah ini cukup memberi pelajaran. Barakallah Mbak Siti naskahnya bagus.
Saya kira endingnya bakal nikah dengan cara infishal. ternyata bahagianya nanti di akhirat. Di dunia belum menikah, insyaa Allah di akhirat ada bidadara buat yang taat
Ya Allah…