"Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut…" (TQS. Al-Baqarah: 233)
Oleh. Irma Sari Rahayu
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.com-Sahabat, pernah tidak merasa lelah jadi ibu atau merasa kecil hati karena hanya jadi ibu rumah tangga? Jangan-jangan ada yang menyesal karena terlahir sebagai perempuan? Duh, kok bisa sih ada perasaan seperti itu?
Saat ini tak sedikit muslimah yang merasa insecure dengan peran keibuannya. Merasa rendah diri dan tak berguna jika hanya sebagai ibu rumah tangga, bukan perempuan pekerja. Apalagi polemik dua kutub antara pro ibu bekerja dan rumah tangga ikut andil memperkeruh keadaan. Katanya, "Gak zamannya lagi istri itu cuma minta uang ke suami. Sekarang, perempuan harus mandiri finansial biar gak bergantung terus sama suami". Tambah nelangsa deh.
Jerat kapitalis yang mencengkeram negeri mulai mengalihkan arti kebahagiaan para muslimah. Bahagia itu kalau punya materi yang banyak. Apalagi kasus kekerasan pada perempuan, KDRT, dan perselingkuhan semakin banyak. Akhirnya, mandiri finansial bagi perempuan memang jadi jalan keluar.
Ide feminisme saat ini semakin menguat membidik muslimah. Sedikit demi sedikit peran perempuan mulai diarahkan agar keluar dari rambu syarak. Parahnya lagi, mereka mulai mengusik keagungungan hukum Ilahi. Katanya, Islam itu melingkung kebebasan dan gak adil buat perempuan. Buktinya, muslimah harus menutup aurat, jumlah waris gak sama antara laki-laki dan perempuan, suami jadi pemimpin keluarga dan istri harus taat. Ini bentuk diskriminasi katanya. Hmm, apa benar begitu?
Sahabat, perlu kita sadari bahwa peran sebagi istri dan ibu itu sangat penting. Bukan peran receh apalagi "kaleng-kaleng". Tapi dia adalah peran yang strategis dan agung. Istri yang salihah ada untuk menyenangkan suaminya. Sebagai tempat bersandar yang menenangkan ketika suami gundah. Menguatkan dan mengembalikan kepercayaan dirinya saat terpuruk. Membersamai menjalankan rumah tangga yang penuh suka dan duka dengan mengharap rida Allah Swt. Begitu juga menjadi ibu. Dari rahimnya akan lahir generasi pengukir peradaban. Tangannya senantiasa cekatan mengerjakan semua tugas rumah tangga. Mulai dari memasak, merawat keluarga yang sakit, membersihkan rumah agar selalu bersih dan nyaman dihuni. Tak jarang waktu istirahatnya terganggu dengan tangis anak-anak atau masalah lainnya. Adakah yang bisa menggantikan peran ini?
Allah Swt. adakalanya memberikan beban hukum berupa kewajiban yang sama kepada laki-laki dan perempuan dan adakalanya berbeda, sesuai dengan potensinya sebagai manusia. Penetapan hak dan kewajiban bagi laki-laki dan perempuan ini semata-mata demi kemaslahatan dan menjadi solusi bagi permasalahan yang menimpa keduanya. Penetapan ini pun sepenuhnya adalah hak Allah Swt. yang lebih mengetahui makhluk ciptaan-Nya.
Ketika Allah Swt. meletakkan kewajiban nafkah ada di pundak laki-laki dan pengasuhan anak kepada perempuan semata-mata karena Dia Maha Mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh keduanya. Allah Swt. berfirman,
وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ
الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ
"Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut…" (QS. Al-Baqarah: 233)
Perbedaan ini bukan karena Allah tidak adil. Tidak juga menjadikan laki-laki lebih mulia daripada perempuan karena semata-semata ia seorang laki-laki, karena kemuliaan seorang hamba terletak pada ketakwaannya kepada Allah Swt. Lalu, mengapa kita harus iri dengan perbedaan ini?
Di masa Rasulullah saw., para shahabiyah merasa gelisah dengan perbedaan kesempatan beramal mereka dengan laki-laki. Bukan iri dengan perbedaan perannya, namun mereka khawatir, apa yang selama ini dilakukan tidak mendapatkan pahala sebesar laki-laki. Akhirnya Asma' binti Yazid bin Sukun bin Rafi memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah saw. dan menyampaikan kegundahan yang mereka rasakan.
“Engkau bagaikan ibu dan sekaligus ayahku, wahai Rasulullah. Keberadaanku di sini adalah untuk mewakili para wanita. Bahwasannya Allah telah mengutusmu untuk segenap laki-laki dan perempuan. Kami mengimanimu dan juga Tuhan- Mu. Aku akan memberitahukan kepadamu, bahwa kita kaum wanita tak mempunyai gerak yang leluasa tak sebagaimana laki-laki. Amal perbuatan kami hanya sebatas perbuatan yang bersifat rumah tangga saja, tempat pelampiasan nafsu kalian dan sekaligus untuk mengandung dan melahirkan anak-anak kalian pula. Ini berbeda dengan kalian semua, wahai kaum laki-laki. Kalian melebihi kami dalam hal berjemaah, menjenguk orang sakit, mengantarkan mayat ke kuburan, haji, dan yang lebih utama lagi adalah kemampuan kalian untuk melakukan jihad di jalan Allah. Amal perbuatan kami di saat kalian pergi haji atau melakukan jihad hanya sebatas menjaga harta, mencuci pakaian, dan mendidik anak-anak kalian pula. Oleh karena itu, kami ingin bertanya kepada kalian, apakah amal perbuatan kami itu pahalanya bisa disetarakan dengan amal perbuatan kalian?”
Kemudian, Rasulullah pun menoleh kepada Asma’ bin Yazid dan berkata,
“Engkau pahamilah dan sampaikanlah apa yang akan aku katakan nanti kepada wanita-wanita selainmu. Bahwa bergaul baik dengan suami, merawat di saat ia sakit, mematuhi perintahnya, pahalanya setara dengan amal perbuatan yang hanya bisa dikerjakan oleh para laki-laki tersebut.”
Masyaallah, ternyata meski hanya mencucikan pakaian suami dan menjaga anak-anak bisa dapat pahala setara dengan jihad. Sahabat, tidaklah patut bagi kita untuk menyelisihi hukum Allah Swt. karena terjebak muslihat "kesetaraan gender". Merasa tidak berarti hanya karena tidak bisa menjadi pahlawan ekonomi negara. Hendaknya kita yakin bahwa surga telah menanti jika kita beriman kepada Allah, beramal saleh dan tunduk kepada syariat- Nya. Allah Swt. berfirman,
وَمَن يَعْمَلْ مِنَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ مِن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُو۟لَٰٓئِكَ يَدْخُلُونَ ٱلْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
"Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun." (QS. An- Nisa: 124)
Juga dalam surah Az-Zukhruf ayat 69-70 Allah Swt. berfirman,
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَا وَكَانُوا۟ مُسْلِمِين • اُدْخُلُوا الْجَنَّةَ اَنْتُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ تُحْبَرُوْنَ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami dan adalah mereka dahulu orang-orang yang berserah diri. Masuklah kamu ke dalam surga, kamu dan istri-istrimu akan digembirakan.”
Lalu, apakah kata surga masih belum cukup untuk kita? Wallahu a'lam bishawab.[]
Photo: pinterest