"Sejelek-jeleknya perilaku orang tua kepada anaknya, seharusnya sebagai anak tetap menghormati orang tua. Bila terjadi perselisihan antara orang tua dan anak, maka jangan sampai memutuskan tali silaturahmi."
Oleh. Asri Mulya
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Namaku Liana Devi. Usiaku 35 tahun. Aku menikah dengan seorang angkatan darat bernama Satria. Profesiku adalah analis di sebuah rumah sakit swasta dan memiliki hobi menulis cerpen. Semenjak memiliki anak, suamiku menyuruhku berhenti bekerja. Awalnya, hatiku terasa berat untuk memutuskan berhenti bekerja. Namun, dengan berniat karena Allah ingin mengabdikan diri sebagai istri dan ibu untuk anakku yang baru berusia 1,5 tahun, akhirnya kuputuskan mengundurkan diri dari RS tempatku bekerja selama enam tahun semenjak lulus kuliah. Aku dan keluarga kecilku tinggal di Solo menempati rumah dinas, meski sudah memiliki rumah sendiri yang sederhana di Tegal, dekat rumah ibuku.
Semenjak berhenti bekerja, aku mencoba mencari kesibukan lain seperti berjualan pakaian secara online untuk menambah penghasilan. Aku tidak ingin hanya mengandalkan gaji suami saja. Aku juga tetap menekuni hobi menulis hingga suatu hari berkenalan dengan seorang teman yang memiliki hobi sama denganku. Teman itu lalu mengajakku bergabung dalam sebuah komunitas menulis gratis.
Akhirnya, aku pun bergabung di komunitas menulis tersebut. Dari situ, aku banyak kenal dengan para penulis yang mumpuni. Di komunitas itu, para penulis saling bertukar ilmu kepenulisan. Aku makin menekuni dan mengembangkan hobi menulis hingga mengikuti kelas kepenulisan di berbagai komunitas menulis, meski berbayar sekalipun. Aku banyak mendapatkan ilmu dalam dunia literasi.
Pada suatu waktu, ada sebuah parade menulis dengan tema "30 Hari Menulis Novel" dari salah satu penerbitan. Aku memberanikan diri mengikutinya. Aku ingin menantang diri sambil mengasah kemampuan yang kudapat dari komunitas literasi yang kuikuti.
Saat itu, aku tengah mengandung anak kedua. Dalam keadaan hamil muda dan sering mengalami mual muntah, aku tetap mengikuti tantangan menulis 30 hari tanpa putus itu. Peraturannya menetapkan bila putus, meski hanya satu hari, akan dianggap gagal dan tidak bisa melanjutkan parade menulisnya. Alhamdulillah, aku berhasil menaklukkan tantangan tersebut dan bisa menerbitkan sebuah novel berjudul "Pernikahan Impian."
Sungguh senangnya hatiku. Dengan semangat dan rajin, aku mempromosikan novelku di sosial media. Aku juga tidak malu menawarkannya kepada teman-teman lewat pesan pribadi di WhatsApp. Novelku akhirnya bisa terjual hingga 50 eksemplar. Hasil dari penjualan novel sebagian kusumbangkan ke salah satu lembaga amal. Ternyata, beberapa bulan kemudian, Allah membalas apa yang kusumbangkan tersebut dengan memberi limpahan rezeki yang tak disangka. Rumahku di Tegal laku dikontrak selama lima tahun langsung.
Saat aku bahagia bisa menerbitkan novel dan mendapatkan uang sewa dari rumah yang dikontrakkan, ternyata ujian datang menerpa. Novelku dipermasalahkan oleh bapakku sendiri.
"Nda, ini bapak WA," ujar suamiku sambil memberikan ponselnya padaku.
Aku yang tadinya mau tidur siang segera beranjak dari tempat tidur dan langsung mengambil ponsel suami. Ada pesan yang tertera di layar ponsel dari aplikasi hijau.
[Mas, tolong bilang ke istrimu agar novelnya dicabut dan jangan diedarkan! Kalau tidak dicabut, bapak murka!]
[Bapak sudah tenang hidup sama istri. Jangan bikin masalah dengan memunculkan kisah di novel kampungan!]
Membaca pesan dari bapak, seketika aku merasakan ada sayatan seperti serpihan kaca menusuk hati. Aku sedih dan tak menyangka jika seorang bapak kandung akan tega mengatakan karya anaknya sendiri sebagai novel kampungan.
Apa karena di dalam novel tersebut, kisah yang kutuliskan persis seperti kisah bapak di masa lalunya? Bapak merasa tersinggung dan tidak terima kisahnya diangkat dalam cerita novel.
Ya, meski tulisan dalam novelku itu fiksi, tetapi aku pun menuangkan true story di dalamnya. Sebagian dari kisah yang pernah kualami di masa kecil saat ibu dan bapak bercerai. Mungkin yang membuat bapak tidak terima adalah bagian yang menceritakan kronologi perceraian akibat perselingkuhan bapak dengan sepupunya sendiri, seorang wanita yang aku panggil 'Bibi'. Meskipun pada akhirnya mereka menikah, tetapi pernikahan bapak dan bibi juga mengalami perceraian. Penyebabnya bisa dikatakan karena faktor kebangkrutan usaha bapak di bidang konveksi. Pabrik konveksi punya bapak bangkrut setelah modalnya macet akibat banyak kena tipu oleh rekan kerjanya yang tidak amanah.
"Kok, bapak bisa tahu novel Bunda?" tanya Satria, suamiku.
"Mungkin Jingga yang cerita," ucapku datar karena masih syok setelah membaca pesan bapak di ponsel Satria.
Aku duduk terdiam di pinggir tempat tidur dengan pikiran dan hati tak tenang. Dalam hati, aku bertanya, "Apakah novelku benar-benar membuat bapak tersinggung hingga menjadi marah?"
"Seharusnya Jingga tidak usah menceritakan isi novelnya," lirih suamiku yang akhirnya ikut diam sepertiku.
*
Jingga adalah anak dari bapak dan bibi. Usianya 24 tahun. Ia membeli novelku karena penasaran dengan isinya. Jingga bertanya lewat pesan WhatsApp padaku.
"Mba Liana, apa di novel itu kisah dari Mba sendiri?"
Aku jawab, "Iya, sebagian ada kisah Mba dari masa kecil hingga dewasa."
"Lalu, kenapa ada kisah bapak juga?"
"Ya, namanya juga kisah Mba, otomastis ada juga kisah bapak, tetapi fiksinya juga ada."
"Berapa persen kisaran antara fiksi dan kisah nyatanya?"
"Sekitar 50:50. Biasalah, namanya juga novel! Pasti ada kisah yang sama persis dirasakan sama orang, termasuk bapak. Heheee …"
"Tapi, Jingga yakin itu kisah benaran yang bapak alami. Itu 'kan sama aja mengumbar aib bapak, Mba!"
"Ya, Mba gak bermaksud begitu. Tokohnya 'kan dibuat fiktif dan pakai nama samaran."
"Ya, tetap aja Mba Lianaaa … Itu membuat bapak tersinggung."
Dari percakapanku dengan Jingga itulah aku yakin Jingga yang sudah memberi tahu isi dari novelku kepada bapak hingga membuat bapak mengirim pesan WhatsApp kepada suamiku. Mungkin Jingga juga merasa tersinggung karena novelku menceritakan kisah mamanya atau bibiku, yang tak lain adalah istri bapak setelah bercerai dengan ibuku. Yang aku heran, kenapa bapak tidak mengirim pesan langsung ke nomer ponselku?
Sungguh, aku tidak ada niat untuk membuka aib keluarga. Apalagi itu bapak sendiri. Aku hanya ingin mencurahkan isi hati, menuliskan perjalanan kisah masa kecilku hingga dewasa yang kualami dan kurasakan dalam sebuah diari. Curahan hati yang kemudian kutulis menjadi sebuah novel. Kekecewaanku kepada bapak yang selama ini tidak pernah kuungkap kepada siapa pun hingga aku menikah dan memiliki anak.
*
Aku kecil sebagai anak dari korban broken home yang kurang mendapatkan kasih sayang seorang bapak. Saat dewasa pun sosok bapak juga kurang hadir dalam kehidupanku. Bapak adalah sosok yang gila kerja hingga kurang memperhatikan keluarganya, termasuk padaku. Bapak suka pulang dini hari dan kasar pada bibi.
Aku pernah merasa iri kepada teman-teman kuliah yang memiliki bapak selalu ada dan peduli dengan anaknya. Keinginanku sukar dipenuhi bapak. Ia memberi, tetapi diiringi dengan perkataan yang membuat sakit hati. Meski saat itu finansial bapak lagi maju, bapak tetap sulit memenuhi apa yang kubutuhkan, seperti ponsel misalnya. Padahal bapak pernah berjanji saat aku kuliah akan membelikan HP. Nyatanya bapak tidak menepati janjinya. Bapak justru membeli HP satu dan itu hanya untuk bibi. Aku hanya boleh pinjam sesekali waktu.
Saat kuliah, aku tinggal bersama bapak dan keluarganya. Meski tinggal bersama orang tua sendiri, aku juga tahu diri. Aku berusaha untuk membantu pekerjaan rumah tangga. Namun, apa yang kukerjakan selalu salah di mata bibi. Terkadang aku mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan seperti dianaktirikan, meski memang faktanya aku adalah anak tiri bibi. Mau makan saja harus masak terlebih dahulu. Ketika mereka makan, aku tidak ditawari. Aku sudah membantu pekerjaan rumah tangga pun masih dianggap malas. Bapak hanya diam dan tidak membelaku.
Pernah ada rasa benci mendalam di hatiku dan tidak ingin mengakui keberadaan bapak. Semua yang terjadi padaku itu sempat membuatku trauma untuk membina rumah tangga. Sampai suatu ketika, Allah menyadarkanku lewat mimpi. Dalam mimpiku, bapak meninggal dunia dan aku menangis. Saat itu aku sangat menyesal karena telah membenci bapak dan tidak bisa meminta maaf padanya. Berawal dari mimpi itulah, aku mencoba memaafkan bapak. Aku berusaha memahami kondisinya setelah suatu hari bapak bercerita banyak hal. Bapak menjelaskan duduk permasalahan sehingga bisa bercerai dengan ibuku. Bapak juga bercerita tentang penyebab usahanya yang bangkrut dan alasan di balik sikapnya yang kasar dan keras selama ini.
Dari situ, hubunganku dengan bapak mulai membaik. Setelah aku lulus kuliah, kemudian bekerja di RS hingga aku menikah dan punya anak, bapak berusaha untuk lebih memberi perhatian kepadaku dan keluarga kecilku. Bapak dan bibi turut membantu menjaga anakku saat aku masih bekerja di RS. Kebetulan memang tempat tinggalku di Solo berdekatan dengan rumah bapak, hanya beda kecamatan.
Namun, setelah ada pesan bapak yang mengatakan karyaku sebagai novel kampungan, aku kembali merasa kecewa dengan bapak. Jujur, aku sakit hati. Tak habis kupikir mengapa bapak tega berkata seperti itu. Padahal, bila saja bapak mau menyadari, sebenarnya tulisanku itu adalah ungkapan hatiku sebagai anak kepadanya. Seharusnya bapak bisa memahami dan berusaha memperbaiki perilakunya. Sejak saat itu, aku kembali tidak dekat dengan bapak.
Apalagi kemudian bapak ketahuan menikah lagi usai bercerai dengan bibi. Bapak menikah lagi dengan perempuan yang baru dikenalnya di media sosial. Aku merasa sangat kecewa karena telah dibohongi. Bapak berbohong saat meminta uang padaku untuk usahanya, nyatanya uang itu dipakai untuk modal menikah lagi. Kabar menikahnya bapak pun kutahu dari Jingga, bukan dari bapak sendiri. Bapak sengaja tidak memberitahuku karena takut aku tidak menyetujui pernikahannya. Aku pernah mengingatkan bapak, "Bapak boleh menikah lagi, asal mampu bertanggung jawab menafkahi istri." Hanya saja bapak tidak mau mendengar pendapatku, sebagaimana karakternya yang memang keras kepala dan juga egois.
Aku kembali membenci bapak. Kok dengan mudahnya bapak menikah lagi. Padahal saat itu kondisi keuangan bapak sedang tidak baik. Seolah tidak memikirkan bagaimana harus menafkahi istri barunya.
Pernikahan bapak dengan wanita yang baru dikenalnya itu hanya bertahan dalam hitungan bulan. Benar saja, bapak ternyata tidak mampu menafkahi istrinya. Istri baru bapak meminta cerai. Dari kejadian itu, aku merasa malu memiliki bapak sepertinya. Aku malu kepada suami dan mertuaku. Hubunganku dengan bapak kembali merenggang. Tidak ada lagi komunikasi di antara kami.
Setelah hampir satu tahun kami tak berhubungan, bapak menghubungiku lewat WhatsApp dan meminta maaf padaku. Bapak menyadari kesalahannya. Bapak mengakui sudah menjadi orang tua yang gagal dan tidak bisa memberi perhatian kepadaku, anaknya. Aku pun meminta maaf kepada bapak. Aku juga bersalah padanya karena membiarkan rasa kecewa dan sakit hati menguasaiku hingga tak menghubungi bapak untuk sekian lamanya. Aku memilih diam meski tetap mendoakannya seusai salat.
Aku pernah mendengarkan ceramah seorang ustaz di sebuah pengajian. "Sejelek-jeleknya perilaku orang tua kepada anaknya, seharusnya sebagai anak tetap menghormati orang tua. Bila terjadi perselisihan antara orang tua dan anak, maka jangan sampai memutuskan tali silaturahmi."
Aku teringat firman Allah dalam surah Al-Isra ayat 23 yang artinya: "Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-sekali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.”
Aku pun sadar bahwa aku pernah salah karena tidak berkomunikasi dengan bapak. Aku berusaha memperbaiki hubunganku dengan bapak. Syukurlah, kini hubungan kami kembali normal.[]