"Apakah saya termasuk orang tua toksik? Ya Allah, Ya Rabb, ampunilah hamba-Mu ini. Tanpa disadari, justru yang harus diperbaiki mindset itu adalah saya sendiri, uminya."
Oleh. Ageng Kartika
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kehadiran anak keempat kami, sangat dinantikan setelah sebelumnya punya tiga gadis. Akhirnya, Allah berikan amanah seorang jagoan di dalam keluarga kami. Dari awal kehamilan hingga lahirnya dipersiapkan dengan penuh rasa antusias layaknya kehadiran si sulung.
Putra pertama kami sekaligus anak keempat ini, lahir tepat di tanggal 17 Agustus 2014. Diberi panggilan Umar dengan harapan kelak bisa mengikuti perjuangan Khalifah Umar bin Khattab. Harapan seorang umi untuk putra yang ditunggu kehadirannya di tengah keluarga kecil kami. Dan cucu laki-laki pertama dari pihak keluarga suami. Kalau dari pihak keluarga besarku menjadi cucu laki-laki ketiga.
Alhamdulillah pertumbuhan dan perkembangan fisiknya berjalan dengan baik. Di saat usia prasekolah (4-5 tahun) Umar tidak mau mengikuti sekolah. Baginya belajar cukup di rumah saja bersama umi atau kakak-kakak perempuannya. Akhirnya, Umar hanya belajar dan bermain di rumah saja.
Pada usia 6 tahun, kami ajak Umar untuk ke Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), karena secara akademis untuk usia prasekolah mampu mengikuti. Termasuk sebagai siswa yang terimbas pandemi, maka pembelajarannya lebih banyak via online. Ketika mulai dibuka kelas tatap muka, Umar belum mampu beradaptasi dengan lingkungan sekolah. Lebih nyaman jika uminya ada di sekolah.
Kondisi ini berlanjut hingga akhir kelas 1. Alhamdulillah di kelas 2 semester pertama, Umar mulai bisa lepas dari umminya, mandiri pergi naik jemputan. Sistem pembelajaran masih dua sesi, pagi dan siang untuk jadwal masuk sekolah karena masih dalam masa pandemi tapi sudah mulai kondusif keadaannya. Bersyukur Umar mendapat nilai yang memuaskan ketika pembagian rapor di akhir semester pertama. Liburan sekolah pun menjadi hal yang menyenangkan.
Awal berkurangnya kemandirian dimulai kembali ketika masuk semester dua di kelas 2. Sesi pembelajaran hanya satu, dimulai dari jam 07.30–16.00 selama lima hari (Senin-Jumat). Ternyata keadaan ini membuat Umar merasa tidak nyaman, ditunjukkan dengan setiap pagi berbagai keluhan berdatangan. Dari bersin, pilek, hingga sulit nafas di bagian hidung atau Umar sering bilang ‘eungap'. Otomatis untuk membuat nyaman, Umar pergi sekolah setelah membaik gejala-gejala yang dirasakan.
Tapi seiring waktu, Umar mulai rewel ingin kembali ditemani, harus sampai selesai. Kalau tidak besok harinya mogok tidak mau sekolah. Kerewelan Umar ini berimbas kepada adiknya, harus ikut di bawa ke sekolah dalam waktu yang lama. Sering adiknya kelelahan dan ikut rewel di sekolah. Sementara Umar pun menuntut uminya ada di depan kelasnya, bahkan bisa saja meminta di dalam kelas.
Alhamdulillah pihak sekolah dan wali kelas serta teman-temannya menerima kondisi Umar. Umar tetap bisa bermain dan mengikuti pelajaran dengan baik walaupun dengan berbagai pengecualian dari sekolah, seperti diizinkan ditemani uminya, terkadang mengerjakan di luar kelas, atau membawa adiknya masuk kelas. Kembali kami bersyukur atas pencapaian prestasi akademis Umar. Walaupun sulit mandiri, hasil rapor di semester dua meningkat dibanding sebelumnya, nilainya A semua.
Masuk di kelas 3, awalnya masih belum mandiri tapi setelah satu bulan mulai bisa lepas dari uminya. Di kelas 3 ini, Umar masih sering meminta izin wali kelasnya belajar di luar kelas, dan memilih mata pelajaran yang diikuti. Berulang kali umi dan yang lainnya di rumah memotivasi Umar untuk mengikuti setiap pelajaran, mau itu bisa diikuti ataupun tidak. Karena belajar itu dimulai dari tidak bisa menjadi bisa. Tapi Umar seperti tidak mau tahu, kalau menurut dia sulit dipelajari, ya tidak akan bisa dipelajari.
Support berupa reward pun kami (saya dan abinya) berikan, agar semangat ke sekolah. Umar mulai mengatur jam pergi sekolah setelah pelajaran yang dia tidak mampu yaitu bahasa Arab dan qiroaty selesai. Saya pun berdiskusi dengan wali kelas dan Wakil Kepala Sekolah bagian kesiswaan, mereka mengizinkan Umar untuk sementara tidak mengikutinya yang penting pergi ke sekolah setiap hari. Kebiasaan diantar pun mulai dikurangi bahkan dibiasakan pergi sendiri (menggunakan fasilitas go ride dari aplikasi Gojek).
Alhamdulillah masalah kemandirian sudah mulai teratasi. Tapi ternyata keadaan ini hanya berlangsung dua bulan saja. Di bulan ketiga (September), semester pertama kelas tiga ini, Umar benar-benar hanya mau pergi sekolah ketika ada agenda ekspresi yaitu swimming. Selebihnya di hari lain, banyak alasan, menunda-nunda pergi sekolah akhirnya tidak pergi sama sekali. Karena bingung harus seperti apa memotivasi untuk membuat Umar menyukai dan nyaman belajar di sekolah, saya dan suami berinisiatif mencari alternatif pembelajaran home schooling. Tapi dilakukan di luar rumah. Dengan maksud tetap mengajarkan Umar disiplin terhadap aturan di luar rumah.
Hal ini dilakukan setelah saya meminta Umar memaparkan alasan kenapa tidak mau sekolah lagi. Ia pun menuliskan alasannya di chat WhatsApp.
“Saya tidak suka sekolah lama, gurunya sekarang galak, dan tidak suka qiroaty dua kali,” tulisnya.
Saya coba jelaskan semampunya bahwa guru itu bukan galak tapi tegas, ketika anak didiknya tidak mengikuti aturan belajar di sekolah, memang harus diberi ketegasan agar mengikuti aturan. Untuk qiroaty dua kali, ini adalah pembelajaran membaca Al-Quran maka Umar harus mau belajar, tidak boleh tidak karena wajib hukumnya belajar baca Qur'an dengan baik.
Sedangkan untuk sekolah lama kami antisipasi dengan home schooling tadi, belajar hanya 4 jam saja. Tapi ternyata tidak selesai begitu saja masalah kemandiriannya. Di tempat barunya, Umar masih sesekali datang setelah mood-nya membaik untuk belajar dan harus ditemani di depan kelasnya, bahkan belajar di luar kelas. Sekarang sudah masuk ke minggu ketiga belajar home schooling. Berharap di tempat baru ini, Umar mampu membangun kemandirian dan semangat belajar.
Sering kali ketidakmandirian Umar membuat saya tidak sabar menghadapinya. Ekspektasi saya yang tinggi tentang arti mandiri dan belajar seolah telah membuat jebakan dalam diri saya dan Umar. Umar dituntut untuk cepat memperbaiki kemandiriannya. Saya pun memaksakan kehendak kepada Umar agar mengikuti alur yang saya inginkan.
Apakah saya termasuk orang tua toksik? Ya Allah, Ya Rabb, ampunilah hamba-Mu ini. Tanpa disadari, justru yang harus diperbaiki mindset itu adalah saya sendiri, uminya. Karena ketika saya mampu menurunkan ego, memperbaiki pemahaman tentang karakter anak yang berbeda, dan menambah tsaqofah tentang mendidik anak, dan yang paling penting di atas semua ikhtiar untuk Umar, adalah doa tidak terputus kepada Allah Azza Wa Jalla yang Maha Segalanya, Maha Membolak-balikkan hati hamba-Nya. Maka semua resah, dan toksisitas diri ini akan berubah menjadi kematangan emosional untuk saya dalam mendidik serta mengarahkan Umar, agar memanfaatkan atas apa yang dimilikinya untuk mendapatkan ilmu dan mandiri seiring usianya.
Terlambat mandiri bukan berarti Umar tidak mampu untuk mandiri. Tapi artinya Umar butuh waktu lebih dari yang lain dalam menanamkan kemandirian di dalam dirinya. Kekurangannya bukan untuk membuat saya, uminya sulit mengarahkan. Namun, itu semua menambah pemahaman dan pembelajaran untuk saya terus berbenah dan berusaha membantu Umar menyelesaikan keterlambatannya untuk mandiri.
Saya pun tidak boleh merasa gagal karena waktu masih terus berjalan. Sepanjang perjalanan waktu itu saya berbenah, berusaha menjalankan segala amanah di luar tanggung jawab mengarahkan Umar, itu bisa membantu progres Umar menjadi lebih baik. Saya harus yakin Allah Maha Melembutkan hati sehingga apa yang diharapkan untuk Umar dapat terwujud. Saya hanya ingin Umar menjadi lelaki mandiri yang mampu memimpin, mengemban amanah terutama dakwah Islam, dan menjadi pejuang Islam. Semoga saya dijauhkan dari kata lelah dalam mendidik anak-anak, terutama yang spesial kemandiriannya seperti Umar. Terus berharap seiring pertambahan usianya, pemahamannya, dan pemikirannya, proses kemandirian pun tumbuh dan berkembang dalam diri Umar.[]