"Izinkan Tante menjadi ibumu, mencintai dan menjagamu, walaupun selamanya tidak akan dapat menggantikan kasih sayang bundamu. Ia akan tetap menjadi bunda yang telah melahirkan dan membesarkan Nanda." Kulihat buliran bening membasahi pipi Tante Aisyah.”
Oleh. Umi Adni
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com -Bundaku adalah wanita yang luar biasa. Aku sangat bergantung padanya. Setiap pagi ia sudah berada di kamarku dan berbisik lembut, "Nanda Sayang, ayo, bangun!" sambil mengecup keningku dan menarik selimut dengan pelan.
Dengan manja, kurangkul tubuhnya. Ia balik membelai lembut rambutku dan mengecup keningku lagi. Aku menambah erat rangkulanku dan tak ingin kulepas. Walau aku sudah duduk di kelas XI, aku tetap ingin selalu bermanja dengannya. Tak terbayang jika aku harus kehilangannya.
Cintanya murni untukku, anak tunggalnya. Tak pernah kulihat lelah di wajahnya. Seulas senyum terkulum di bibirnya setiap menemani hariku. Setelah rapi memakai seragam, aku menuju meja makan di mana menu sarapan telah berderet rapi menanti.
"Untuk anak Bunda tersayang," ucapnya sambil menarik lenganku dengan pelan. Pagi yang ceria selalu kulalui indah bersamanya.
Namun, semua tinggal kenangan yang amat kurindukan. Tak ada lagi bisikan lembut, belaian, kasih sayang dan segala yang ia berikan untukku.
Tiada lagi senyum bunda yang menghiasi hari. Ternyata di balik senyumnya, ia menyimpan rasa sakit yang berat, bahkan jauh sebelum aku terlahir. Namun demi anaknya, ia tak pernah mengeluh. Hanya kata-kata motivasi untukku, "Nanda Sayang, pasti bisa."
Kini, satu tahun sudah bunda tiada. Ia pergi meninggalkanku untuk selamanya. Rasa rindu yang tak terperi, tertata di sanubariku. Hidupku seakan hancur dan hari-hariku terasa hampa. Tak ada yang dapat menghapus air mataku saat aku mendapat nyinyiran dari teman-teman.
Alhamdulillah, Bu Evi hadir mengisi hariku. Beliau adalah guru Matematika di sekolahku. Ia mengajarkanku tentang banyak hal, selain pelajaran Matematika. Menurutku, ia lebih cocok mengajar Agama ketimbang Matematika. Meskipun sebenarnya caranya mengajar Matematika juga cepat untuk dipahami. Bu Evi juga menjadi guru BK di sekolah.
Ilmu baru yang kuterima darinya adalah tentang keimanan. Bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan misi beribadah kepada-Nya sehingga harus mengikuti semua aturan-Nya yang termaktub dalam Al-Qur'an dan hadis. Ketundukan ini merupakan pilihan manusia yang harus dipertanggungjawabkannya di akhirat.
Untuk itu, ketika hendak melakukan sesuatu perbuatan, harus dipilah apakah sesuai dengan perintah Allah atau justru melanggar larangan-Nya. Jika mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya, maka akan mendapat balasan pahala. Sekalipun manusia memiliki kelemahan fisik yang berat, ia harus ikhlas menerimanya. Itu karena semua yang menimpa diri manusia merupakan ketetapan Sang Mahakuasa, baik dan buruknya berasal dari Allah. Hal itu disebut qada. Misalnya ada orang yang sejak lahir tidak bisa melihat, tidak bisa bicara, dan tidak bisa berjalan. Bisa juga qada terkait jodoh, rezeki, ajal, serta musibah.
Saat mendapat ilmu itulah aku mulai menerima ketetapan Allah akan nasibku. Semua adalah qada dari Allah yang harus kuterima.
Namun, baru saja aku memberi kepercayaan pada Bu Evi, merasakan kehangatan bersamanya, dan ada yang memahamiku, Bu Evi dan suaminya malah menjadi makcomblang dalam perjodohan ayah dengan seorang wanita. Awalnya, ayah dikenalkan dengan suami Bu Evi, Pak Hari. Sejak itu, ayah sering diajak diskusi dan ikut acara pengajian. Entah mengapa, Bu Evi dan suaminya berinisiatif untuk menjodohkan ayah dengan seorang wanita bernama Tante Aisyah.
Aku tak dapat menerimanya. Apa yang dilakukan Bu Evi seperti sebuah pengkhianatan kepadaku. Hatiku rasanya sakit. Aku mulai merindukan bundaku kembali. Aku merasa sendiri lagi. Bun-da… a-ku rin-du, … lirihku sambil mendekap erat sebingkai foto bunda yang sebelumnya kupajang di meja rias. Kutumpahkan rasa rindu yang dalam. Aku pun mulai sesenggukan, badanku terguncang, dan hanya bisa meratapi nasib yang menimpa diri. Ingin rasanya waktu dahulu bersama bundaku terulang kembali.
"Nanda, dengarkan Ayah! Buka pintunya, Sayang!" teriak ayah dari luar kamar setelah beberapa menit aku mengurung diri di kamar. Tangisku yang tak bersuara makin tak kuasa kubendung setelah mendengar keputusan ayah yang akan menikahi Tante Aisyah.
Ayah jahat! Ayah bohong! Aku merutuk dalam hati sambil menahan sesak di dada. Rasa kagumku pada Bu Evi berubah menjadi benci. Begitu pun rasanya pada ayah.
"Nanda, dengarkan Ayah!" Suara ayah terdengar meninggi. Karena merasa dirinya tidak dihiraukan, ayah mengulangi kalimatnya agar aku membuka pintu kamar. Namun, aku tak bergeming dan hanyut dalam kesenduan.
Sudah dua hari ini ayah tugas ke luar kota. Setelah satu bulan pernikahannya dengan Tante Aisyah, ini adalah tugas perdana ayah ke luar kota. Sebelum berangkat, ayah berpesan, "Pulang sekolah, langsung ke rumah, makan di rumah dan bantu ibu."
Mendengar pesan itu, aku memilih untuk diam. Tebersit di benakku bahwa Tante Aisyahlah yang meminta itu. Terlebih saat ia melarangku dekat dengan Rima. Aku sendiri tak merasa ada yang salah atas kedekatanku dengan Rima. Dahulu, saat ada teman laki-laki mendekatiku, mungkin bisa dipahami jika ayah melarang. Namun, apa yang salah dengan Rima, teman baruku? Entahlah, aku tidak tahu pasti alasan apa yang menjadi pertimbangan mereka.
Padahal, sebenarnya karena Rima, aku mulai menerima pernikahan ayah dan Tante Aisyah. Dia yang memberiku pengertian. Bukan hanya itu, ia juga selalu ada untukku. Setiap aku menceritakan duka, ia hapus air mata di pipiku, memelukku dan selalu menghiburku. Ia yang paling mengerti tentang aku.
Kadang, memang terpikir olehku jika Rima terlalu memberikan perhatian lebih padaku. Namun, aku tak peduli itu. Bagiku yang penting dia adalah teman yang menerima kekuranganku, memahami bahasaku, memberikan ketenangan, bahkan dapat mengembalikan senyumku.
Pagi ini, seperti biasanya sarapan sudah tertata rapi di meja makan. Menurutku memang sudah semestinya seorang ibu melakukan hal itu. Tanpa kupandang itu sesuatu yang spesial. Terlebih masakan Tante Aisyah juga terlalu sederhana dibanding masakan bunda. Kupikir tak ada yang dapat menggantikan bunda untuk semua hal.
Meski begitu, kadang aku melihat jika masakan Tante Aisyah tampak lezat dan menggoda. Hari ini pun mataku liar memandangi sajian yang dibuatnya dan berulang kali aku menelan ludah. Namun, semua kutepis. Hatiku masih terasa sakit. Aku tidak menyukainya. Kebaikan yang ia lakukan tidak ada nilainya di mataku. Bahkan menurutku, yang dilakukannya bukan kebaikan, melainkan sesuatu yang dipaksakan untuk menarik hatiku dan ayah.
Aku lebih memilih menu Mbok Ayu yang ada di kantin sekolah. Lebih menarik bagiku. Walau kadang menunya setiap hari itu-itu saja, tetapi tidak masalah. Terpenting masakannya enak.
"Nanda, sarapan dulu! Tante sudah siapkan makanan kesukaanmu." Lagi-lagi Tante Aisyah mengingatkan. Aku tak memedulikannya. Tak lama kemudian, terdengar suara klakson motor. Rima datang menjemput. Aku pun bergegas keluar dengan setengah berlari.
Dalam kamus Tante Aisyah sepertinya tidak ada kata menyerah. Setengah berlari, ia mengejarku. "Nanda, langsung pulang, ya! Jangan lupa sarapan di sekolah!" teriak Tante Aisyah.
Seperti biasa, Rima menyambut dengan senyum manisnya.
"Hai, Cantik! Yuk, berangkat!" ajak Rima semringah sambil menyodorkan helm. Aku meraih helm itu dan memakainya.
Tanpa basa-basi, aku langsung duduk di jok belakang. Rima segera tancap gas. Motor pun melaju dengan kecepatan 60 km/jam.
Sesampai di sekolah, tiba-tiba seorang siswi kelas XII B datang menghampiri Rima. Aku tidak tahu siapa namanya. Ia langsung menarik tangan kanan Rima dan menyisi di pinggiran taman. Entah apa yang dibicarakan. Ia terlihat marah. Mereka pun berdebat dan saling menyahut.
Selama aku dan Rima berteman, tak pernah ia bercerita tentang keluarga, bahkan sahabat dekatnya. Menurutku, ia terlalu fokus dalam menghiburku, menemaniku, dan memberikan perhatiannya untukku.
Aku terus memperhatikan Rima. Ia bersungut-sungut dan meradang. Aku hanya dapat melihat dari kejauhan. Setelah beberapa lama, mereka membaik. Rima sepertinya memberikan janji pada anak tersebut.
Rima pun datang menghampiriku dan mengajak masuk ke kelas. Saat kulirik ke anak tersebut, ia memberi pesan yang ditulis di selembar tisu agar datang ke gedung belakang setelah pulang sekolah. Aku hanya mengernyitkan kening melihatnya.
"Yuk!" ajak Rima seraya menarik tangan kiriku.
"Si-a-pa di-a?" selidikku seraya menunjuk ke arah anak itu.
Rima gelagapan, "Eh, dia?" Rima balik bertanya. Kujawab dengan anggukan.
"Santi, anak kelas XII IPS 2."
"Ma-u a-pa?" Aku tak dapat menutupi keingintahuanku. Rima tak menjawab hingga kami berpisah untuk masuk ke kelas masing-masing.
Sepulang sekolah, aku pun mengikuti apa yang disampaikan Santi. Di ujung gedung terlihat Rima kembali bersama Santi. Aku pun mengendap-endap mendekati mereka. Jantungku berdetak kencang dan badanku mendadak terasa gemetar.
"Lo cinta sama cewek tunawicara itu?" teriak Santi di seberang gedung.
"Dia bisa bicara!" solot Rima.
"Tapi gagu," nyinyir Santi.
"Udah gue bilang, itu bukan urusan lo!" sinis Rima.
Aku tak paham maksud dari percakapan mereka. Netraku masih mengintai di balik pepohonan.
"Rim, gue dah bilang kalau gue cinta mati sama lo. Gue ga bakalan biarin lo pindah ke lain hati!" Santi meraih tangan Rima dan …
Deg … Astagfirullah, apa maksudnya? batinku merutuk. Tiba-tiba badanku melemas. Dadaku bergemuruh. Terasa sesak. Aku tak percaya apa yang kulihat. Aku ingin lari, tetapi kakiku tak dapat bergerak.
"Nanda, bijaklah dalam bergaul. Ayah dan ibu berpesan agar Nanda dapat memilih teman yang baik." Kata-kata ayah saat melarangku berteman dengan Rima kembali terngiang. Kata-kata yang menurutku bukan semata pendapat ayah, tetapi lebih ke pendapat Tante Aisyah. Sok perhatian! Jangan urusin masalah gue! Begitu rutukku dalam hati kala itu.
Menurutku, ayah dan Tante Aisyah terlalu mengada-ada dengan apa yang disampaikannya tentang Rima. Namun, hari ini aku menyaksikan sendiri kebenarannya. Sebuah drama yang tak pantas kulihat. Tanpa sadar aku menjerit kesal hingga Rima dan Santi menyadari keberadaanku.
Rima menoleh ke arahku dan bergegas lari menghampiri. Aku yang tersadar, mulai merasa ketakutan. Aku pun berlari dengan dipenuhi rasa takut. Aku berlari sekencang-kencangnya. Aku merasa jijik, takut dan khawatir jika Rima menangkapku.
Brakk! Badanku menabrak tubuh seseorang. Saking takutnya, aku memejamkan mata, tak ingin melihat kalau-kalau di depanku ada Rima yang berhasil menangkapku. Aku tak dapat membayangkan apa yang akan ia lakukan. Badanku gemetar dan sangat lemas.
"Nanda … " Sebuah suara lembut terdengar memanggilku. Namun, itu bukan suara Rima. Akhirnya, kuberanikan membuka kedua netraku.
"Tan-te … " lirihku lemas. Tak jauh dari tempat kami, terlihat Bu Evi yang melongo ke kiri dan ke kanan. Kurangkul tubuh Tante Aisyah seraya menangis haru.
"Apa yang terjadi?" tanya Bu Evi menghampiriku.
"Kamu tidak kanapa-kenapa?" Giliran Tante Aisyah bertanya sambil menenangkan diriku.
"Ri-ma … i-a … " ucapku. Aku tak sanggup melanjutkannya. Namun, Tante Aisyah dan Bu Evi seperti sudah tahu apa yang akan aku jelaskan.
"Insyaallah, besok Rima akan dipanggil ke ruang BK. Nanda tidak usah masuk dulu," jelas Bu Evi. Bulir bening di netraku makin deras.
Tante Aisyah mendekapku semakin erat. "Tenang sayang, yang penting Nanda baik-baik saja."
"I-bu … " ucapku lirih, hampir tak terdengar. Tante Aisyah melepas dekapannya dan memandangku haru. Ia hapus air mataku dan mendekapku kembali.
"Nanda sayang," ucap Tante Aisyah lembut.
"Ma-af-kan a-ku," selorohku dengan isyarat anggukan kepala sambil kulepas dekapannya.
"Izinkan Tante menjadi ibumu, mencintai dan menjagamu, walaupun selamanya tidak akan dapat menggantikan kasih sayang bundamu. Ia akan tetap menjadi bunda yang telah melahirkan dan membesarkan Nanda." Kulihat buliran bening membasahi pipi Tante Aisyah.
"I-bu … I-bu … I-bu …." Kudekap kembali tubuhnya.[]